APRESIASI

Menularkan Kesadaran
Demokrasi Melalui Catatan
Oleh 'Aliya Amaranggana

Inilah pengakuan Eep Saefulloh Fatah di dalam "buku harian"-nya, Menuntaskan Perubahan: Catatan Politik 1998-1999,

… kolom sejumlah itu saya tulis sambil ikut serta secara cukup aktif dalam arus gemuruh perubahan itu. … Saya ingat, rumah kontrakan saya di Depok menjadi salah satu tempat para mahasiswa sesekali berkumpul dari larut malam hingga pagi untuk mendiskusikan perkembangan keadaan. Saya ikut larut dalam gemuruh itu dengan memberikan sumbangan-sumbangan kecil dari perspektif kampus, intelektualitas, dan moralitas politik. Semampunya.

Setelah Ahmad Wahib dan Soe Hok Gie, baru Eep Saefulloh Fatah yang mengaku menerbitkan "catatan" tentang keadaan sosial-politik masyarakat. Memang ini bukan sepenuhnya catatan harian (diary), tetapi Eep sendiri memperlakukan karya tulisnya sebagai catatan pribadi. Yang terjadi kemudian ialah dia begitu bebas dan bersahaja menuliskan seluruh yang dirasakan hatinya. Orang bilang, Eep menulis dengan sentuhan human interest.

Namun ada perbedaan mencolok di antara ketiganya. Catatan Ahmad Wahib terlihat betul ditulis untuk dirinya sendiri, bahkan tidak boleh dibaca orang lain. Kesan seperti itu bahkan masih terasa ketika buku itu sudah diterbitkan dan menjadi "milik" umum. Kita bisa memahami, andai kata Wahib hidup, dia tentu tidak akan rela catatannya dibaca orang, sebagus apa pun catatan itu, dengan dalih apa pun orang memohon ingin membacanya.

Catatan Soe Hok Gie lebih terbuka. Dia tidak akan sungkan memberikan catatannya agar orang lain memahami keinginannya, memahami maksud politiknya. Maka dia menulis dengan gaya setengah makalah, argumentasinya panjang dan sangat bernalar. Di dalam catatannya dia memperlihatkan pemikiran rasional umum, sesuatu yang nyaris jarang dipergunakan oleh pelaku catatan harian pada umumnya.

Eep sebaliknya dari yang dilakukan Hok Gie, dia menuliskan cita-cita, kegelisahan, dan kegusaran untuk kembali disosialisasikan kepada masyarakat. Maka setiap kali menulis, yang keluar tidak semata fenomena sosial, gagasan tentang demokratisasi, atau usahanya membangun posisi politik umat Islam, melainkan juga kekesalan, keterharuan, juga kegemasan pada peristiwa di sekelilingnya, yang dia anggap perlu diperbaiki, tidak sesuai dengan kemanusiaan, janggal, dan terasa direkayasa.

Memang jelas yang diinginkan Eep; dia ingin membereskan persoalan yang mampu ditanganinya. Bagi Eep, persoalan terbesar bangsa ini adalah lemahnya posisi masyarakat di hadapan negara. Maka yang dia lakukan menjadi semacam suluh kepada masyarakat: gagasan bahwa setiap orang--seperti dirinya juga--mampu dan harus tidak sungkan melakukan peran aktif. Tidak heran, jika di seluruh tulisannya, Eep tidak pernah menghilangkan subjek "saya," karena yang dia maksudkan memang jelas--keinginan untuk perbaikan itu bukan hanya datang dari keadaan sosial, melainkan tuntutan nurani seorang individu (rakyat).

Tentang peran individu di dalam masyarakat agar terus menerus menjadi pengendali kebijakan pemerintah, Eep menulis demikian:

Adalah tugas sejarah kita untuk menghindari terulangnya kekeliruan sejarah: menghindari "siklus autoritarianisme yang berdekatan." Karenanya, ada kebutuhan pada gerakan sosial--yang masih teguh menyuarakan protes dan perlawanan politik hari-hari ini--untuk menyusun prioritas ulang.

Catatan-catatan Eep sangat gamblang dan terbuka. Apakah dia akan tetap segamblang dan seterbuka itu apabila sudah kembali dari Amerika nanti? Ini dapat kita bandingkan dengan kecenderungan cendekiawan lain di negeri ini, Nurcholish Madjid misalnya. Ketika baru tiba dari Amerika, Cak Nur malah dicurigai banyak kalangan karena melontarkan penyataan yang dianggap menyesatkan. Tetapi toh akhirnya dia tetap disegani karena integritas keislamannya tidak pudar, bahkan dengan strateginya sendiri dia mampu membangkitkan kesadaran politik Muslim Indonesia, terutama yang berasal dari kelas menengah.

Dari sini--setelah merantau untuk semakin mendewasakan dan mematangkan pemikirannya--kita boleh menunggu kiprah Eep beberapa tahun ke depan di dalam pendewasaan demokrasi Indonesia. Semoga.

(Copyright 2000 P.T. Mizan Pustaka)