RESENSI

Gamma, 2000
Cegah Otoritarianisme

Duet Gus Dur-Megawati tak ubahnya kontinuitas Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru. Indonesia menjadi negara hukum demokratis atau otoriter?

Buku 1: Eep Saefulloh Fatah, Zaman Kesempatan
(Mizan, Bandung, Februari 2000, 340 halaman)

Buku 2: Eep Saefulloh Fatah, Menuntaskan Perubahan
(Mizan, Bandung, Februari 2000, 454 halaman)


DEMOKRATISASI di Indonesia terjadi sebagai sebuah peristiwa mendadak karena paksaan keadaan. Ia dijalankan tanpa ada kesiapan dari para pelaku politik untuk membangun sikap saling percaya. Kata demokratisasi pun menjadi mencemaskan. Perubahan memang berjalan sangat cepat. Namun, kearifan setiap pelaku yang terlibat di dalamnya tidak terbangun secepat jalannya perubahan. Tak heran bila akhirnya yang muncul adalah ancaman disintegrasi, baik vertikal maupun horisontal.

Kedua buku ini mendudukkan demokratisasi dalam makna sebenarnya, seraya mencatat sejumlah bahaya yang bisa membelokkan masa transisi ke arah rekonsolidasi otoriterisme.

Proses demokratisasi, menurut Eep, dengan dasar elaborasi teori Samuel Huntington (1991) serta Guillermo o'Donnel dan Phillip Schmitter (1993), berjalan melalui empat tahap. Pertama, yang disebut pratransisi, berjalan sebelum rezim otoriter runtuh. Tahap ini ditandai varian resistensi rakyat terhadap rezim semakin kuat, rezim mengalami perpecahan internal, militer mengalami disorientasi politik, dan terakhir rezim menghadapi krisis ekonomi dan politik yang makin tak terkelola.

Kedua disebut liberalisasi politik awal. Ini ditandai dengan jatuhnya rezim lama, redefinisi hak-hak politik rakyat, terjadinya ketidaktertataan pemerintahan, ketidakpastian berkesinambungan di pelbagai bidang kehidupan, dan terjadinya ledakan partisipasi politik rakyat. Tahap ini biasanya ditutup dengan pemilu yang relatif demokratis dan pergantian pemerintahan.

Tahap ketiga adalah transisi. Ini berlangsung setelah muncul pemerintahan baru yang bekerja dengan legitimasi memadai. Pemerintahan baru inilah yang menata kembali seluruh infrastruktur dan suprastruktur penyokong sistem politik, ekonomi, sosial, dan budaya guna menutup peluang siapa pun untuk menjadi diktator. Pemerintahan baru juga berusaha menjadi preseden moral bagi perbaikan mentalitas dan tabiat masyarakat yang menyeleweng dan korup.

Keempat, konsolidasi demokrasi. Tahp ini ditandai dengan tampilnya orang-orang baru yang bersih dalam pemerintahan, amandemen konstitusi, partai politik, dan parlemen yang bekerja relatif demokratis. Selain itu, pemilu berikutnya terselenggara secara demokratis, sehingga menghasilkan pemerintahan yang basis legitimasinya makin kukuh. Tahap ini biasanya berlangsung lama karena harus menghasilkan pembenahan pola pikir (paradigma) dan perilaku menyimpang masyarakat.

Pada pertengahan tahun 90-an, Indonesia sudah memasuki tahap pratransisi. Puncaknya saat Soeharto lengser pada 21 Mei 1998. Indonesia mengalami tahap liberalisasi politik awal pada masa pemerinta~han Habibie. Pada pemerintahan Habibie, kekuasaan mengalami desakralisasi dan degradasi kredibilitas, pembangunan mengalami demitologisasi, hak-hak politik rakyat diredefinisi, sejarah direinterpretasi, dan informasi mengalami pluralisasi. Tahap ini ditutup dengan Pemilu 1999 dan Sidang Umum MPR 1999. Tampilnya Gus Dur dan Megawati sebagai pengendali pemerintahan menandakan masuknya Indonesia ke tahap transisi menuju demokrasi.

Sayangnya, belum ada jaminan transisi demokrasi bergerak secara otomatis ke arah instalasi demokrasi, apalagi masuk ke tahap konsolidasi demokrasi. Indonesia pasca-Soeharto- lazimnya berbagai negara yang mengalami kegagalan sistem otoriterisme-tengah memasuki episode negosiasi demokrasi di antara berbagai kekuatan politik militer, mahasiswa, mosleem politics, dan grassroot politics.

Episode ini bisa berakhir dengan berjayanya kembali sistem otoriter. Tapi, bisa pula melangkah ke arah instalasi demokrasi - untuk kemudian berproses menuju konsolidasi demokrasi. Harapannya, Indonesia menjadi the world 's third largest democracy, setelah India dan Amerika Serikat.

Kini, pemerintahan Gus Dur ibarat mendayung sampan di antara dua karang kecenderungan: menjadi negara hukum yang demokratis atau malah terperosok kembali ke dalam kubangan kekuasaan otoriter. Duet Gus Dur - Mega dalam mewujudkan demokrasi, penegakan hak asasi manusia, supremasi hukum, good governance, dan stabilitas politik justru terganjal diri mereka sendiri. Mereka berdua tak ubahnya kontinuitas Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru karena punya kecenderungan otoriter dan patrimonial.

[Arief Fauzi Marzuki, mahasiswa Pascasarjana, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) ]