Halaman 2
Saudara-saudara sekemanusiaan,

Maka yang saya inginkan di abad baru ini adalah berubahnya kita sebagai massa menjadi warga negara. Perubahan inilah yang menjadi pekerjaan besar kita sepanjang abad baru ini. Pertama-tama, ini adalah pekerjaan kita sendiri-sendiri. Baru kemudian, ia menjadi pekerjaan kelompok, dan pekerjaan bangsa.
Karena itu, saya ingin agar di abad baru ini kita meneguhkan komitmen untuk membongkar tirani di kepala kita masing-masing. Mari kita merdekakan diri kita sendiri. Pemerdekaan diri sendiri inilah yang kelak akan menjadi modal sungguh besar untuk memerdekakan kita sebagai masyarakat dan sebagai bangsa.

Pendeknya, saya ingin kita bisa memulai hari ini hingga ke masa-masa panjang di depan kita dengan bergiat mengubah karakteristik massa yang kita miliki menjadi warga negara. Mari kita canangkan perubahan besar dari kerumunan menjadi barisan, kemarahan menjadi perlawanan, dan teror menjadi desakan.

Saudara-saudara sekalian,

Tentu saja kerja itu bukanlah kerja sebentar, mudah, dan murah. Karena, hari-hari ini persis di depan kita ada dan tersisa sebuah sistem kekuasaan keliru yang telah dibentuk begitu lama. Sebuah sistem kekuasaan sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan yang justru lebih banyak bekerja atas nama dehumanisasi, pembunuhan kemanusiaan, bukannya humanisasi atau peningkatan martabat manusia.

Pekerjaan menjadi makin terasa berat ketika kita ingat bahwa sistem kekuasaan itu semakin hari berhasil mengubah dirinya dari sistem berwujud dominasi menjadi hegemoni. Dominasi adalah membunuh di siang hari bolong yang benderang sambil mengacungkan-acungkan pedang panjang dan meneriakkan nama calon korban. Hegemoni adalah membunuh di malam gelap yang gulita dengan mengajak bersalaman dan merangkul menepuk-nepuk pundak sambil sebelah tangannya mengambil belati dari balik kaos kaki.

Menghadapi dominasi tentu saja mudah. Korban-korban pembunuhan yang tak kuasa melawan, bisa melarikan diri segera setelah melihat sosok sang calon pembunuh atau mendengar si calon pembunuh meneriakkan namanya. Tapi menghadapi hegemoni tak semudah itu.

Dominasi adalah kezaliman manual. Hegemoni adalah kezaliman digital. Banyak perlawanan yang gagal karena abai pada fakta bahwa kekuasaan telah meningkat dari kezaliman manual ke digital, sementara perlawanan itu hanya dilakukan terus-menerus secara manual. Saya ingin menyebut PRD dengan Manifestonya sebagai contoh.

PRD dan Manifestonya menurut saya gagal mendefinisikan masalah otoritarianisme secara digital. Manifesto ini hanya menggambarkan rakyat hanya tak berdaya secara struktural, tanpa bersedia secara rendah hati mengakui bahwa rakyat pun tak berdaya secara kognitif dan sosial. Akhirnya, perlawanan PRD bagi saya meloncat langsung ke dalam bentuk perlawanan struktural dengan sedikit banyak abai pada keharusan pemberdayaan kognitif dan sosial.

Bagi saya, PRD - dengan tetap mengingat segala bentuk jasa dan heroismenya yang tetap saya apresiasi -- lebih banyak ingin mengorganisir massa dan bukan membangun warga negara. Dengan kata lain, jika tak diadakan perubahan radikal di dalamnya, PRD bisa terjebak menjadi musuh manual bagi kekuasaan yang bekerja secara digital.

Dan pasti, menurut saya, massa akan gagal melawan hegemoni. Hanya warga negara yang bisa melawannya. Maka efektivitas pengawasan dan perlawanan terhadap kezaliman penguasa sebetulnya akan semakin efektif sejalan dengan keberhasilan kita mengubah diri dari massa menjadi warga negara.

Saudara-saudara sekemanusiaan,

Memandang masa depan berarti menempatkan kita masing-masing sebagai subjek perubahan. Memandang masa depan jangan lagi dilakukan dengan menumpukan harapan pada elite, sekelompok kecil orang yang kebetulan saja memiliki aset kekuasaan lebih besar dari kita sehingga seolah-olah berhak mengatur kita. Jangan biarkan mereka terus-menerus mengatur kita seenaknya. Kita mesti mengatur diri sendiri dan merumuskan manifesto sendiri berhadapan dengan siapapun.

Untuk itu, saudara-saudara sekalian, kita sebetulnya memiliki sejumlah aset besar.

Aset pertama adalah spritualisme yang berbasiskan agama. Dalam banyak pidato bangsa-bangsa lain, kita dihormati sebagai bangsa yang penuh spritualitas. Namun hakikatnya, makin hari kita makin menjauh dari spiritualisme agama itu. Umat Islam sebagai bagian terbesar masyarakat Indonesia, bisa menjadi contohnya yang baik untuk gejala yang mengkhawatirkan ini.

Ketika spiritualisme Islam mengajarkan umatnya untuk berbaris rapat bak bangunan kokoh (Ash-Shaf: ayat 4), dan sejak lama mengingatkan bahwa “Kerumunan kebenaran bisa dikalahkan barisan kebatilan” (kata mutiara Sayyidina Ali), umat Islam di Indonesia justru begitu gemar membangun kerumunan besar. Akhirnya umat Islam terus-menerus dikalahkan oleh barisan kebatilan yang diisi sedikit orang. Inilah konsekuensi yang getir dari ditinggalkannya spiritualisme Islam.

Abad baru, abad ke-21, hendaknya dijadikan abad untuk kembali ke spiritualisme agama sebagai aset bagi perubahan.

Aset kedua adalah sejarah. Sejarah kita sebagai bangsa adalah sejarah yang sangat kaya dengan pelajaran-pelajaran kemenangan dan kekalahan. Di atas segalanya, sejarah kita mengajarkan bahwa tak pernah ada perbaikan berarti dalam sebuah kaum manakala kaum itu terjajah, entah secara jasmani ataupun secara rohani.

Sayangnya, perumusan sejarah kita sangat kaya ketidakjujuran.  Sangat banyak halaman penting yang hilang atau sengaja dihilangkan . Banyak fakta yang penuh makna yang telah diselewengkan dalam penceritaanya dan direvisi untuk kebutuhan syahwat kekuasaan.

Abad ke-21 adalah abad perumusan kembali sejarah kita secara jujur. Sejarah jernih yang telah dibersihkan dari ludah dan dahak kekuasaan inilah yang mesti kita jadikan aset bagi perubahan kita sepanjang abad baru ini. Pendeknya, di satu sisi kita mesti mendiskoneksi masa lampau yang suram; namun justru di sisin lain menjadikan sejarah kita yang jernih sebagai aset perubahan yang dahsyat.

[Bersambung...]