Halaman 3
Saudara-saudara sekalian,

Aset kita yang ketiga untuk perubahan adalah kemajemukan kita. Alangkah maha pemurahnya Tuhan menjadikan kita sebagai masyarakat majemuk. Dan dalam rentang waktu yang sangat lama, kita telah membiasakan diri hidup dalam kemajemukan itu.

Namun memang celaka. Hampir sepanjang abad ke-20 telah terjadi pembunuhan kemajemukan itu. Bagi kita, abad ke-20 yang baru lewat mesti diingat dengan prihatin sebagai abad sentralisasi dan penyeragaman. Maka menjadi mudah dimafhumi manakala kita hari-hari ini terlihat begitu kikuk, gagap, dan kelihatan frustasi dengan otonomi dan perbedaan.

Interupsi feodalisme, kolonialisme, dan otoritarianisme modern, telah menghilangkan kemajemukan sebagai aset kita. Kita justru dididik untuk toleran sebatas kosmetika tapi tidak pernah toleran pada tingkat keyakinan. Rusuh, konflik, perpecahan antarsaudara sekemanusiaan yang saat ini menggejala di Ambon dan di banyak tempat lainnya, merupakan buah yang mesti kita petik dari cocok tanam feodalisme, kolonialisme, dan otoritarianisme yang sungguh keliru dan menyesatkan itu.

Saya ingin, abad ke-21 adalah abad penataan kembali kemajemukan. Lalu, dari sana kita bangun Indonesia Baru.

Saudara-saudara sekalian,

Aset kita yang keempat yang tidak ternilai harganya adalah hati nurani. Nabi Muhammad SAW pernah merumuskan dengan amat baik: “Di dalam dirimu ada sekerat daging. Jika ia baik maka baiklah seluruh jasadmu. Jika ia buruk maka buruklah jasadmu. Ialah hatimu” (hadits).

Feodalisme, kolonialisme, dan otoritarianisme sepanjang abad ke-20 boleh saja memenjarakan jasad kita. Tetapi, saya berharap, ketika datang abad baru sekarang ini, ada yang tersisa dari proses panjang pemenjaraan itu, yaitu hati kita yang tetap bersih dan tak bisa berkhianat pada kebenaran yang kita rasakan.

Saya ingin, abad ke-21 menjadi abad penggalangan persekutuan hati nurani. Adalah hati nurani yang mesti kita dayakan, misalnya, untuk melawan kleptokrasi. Ditinjau dari penghayatan hati nurani, kita sejatinya adalah korban kleptokrasi. Tetapi pembekuan jasad dan pikiran selama abad ke-20 yang kelabu telah membuat kita tak menyadarinya.

Saya yakin jauh lebih banyak dari kita yang sebetulnya merupakan korban koruptor, korban para kleptokrat, ketimbang koruptor dan kleptokratnya sendiri. Alangkah indahnya abad ke-21 jika kita tandai dengan penggalangan hati nurani kita sebagai korban korupsi dan kleptokrasi secara umum, untuk melawan korupsi dan kleptokrasi untuk melawan prktik-praktik kleptokrasi.
Sekali lagi, di antara reruntuhan jasad kita sebagai korban politik dan ekonomi, kita masih punya aset yang begitu dahsyat untuk perubahan, yakni, hati nurani kita! Marilah kita isi abad ke-21 dengan membangun jaringan hari nurani rakyat. Saya yakin, jaringan ini akan memiliki kekuatan yang jauh lebih besar ketimbang partai manapun.

Saudara-saudara sekemanusiaan,

Terakhir, saya ingin menegaskan aset kita yang terakhir, yang kelima, yaitu anak-anak muda. Dengan menyesal harus saya katakan bahwa dalam banyak waktu di abad ke-20, para orang tua hanya harus menghadapi satu tingkat penindasan, yakni penindasan feodalisme/kolonialisme/otoritarianisme. Tetapi kami, anak-anak muda, mesti menghadapi dua tingkat penindasan. Feodalisme/kolonialisme/ otoritarianisme itu plus penindasan para orang tua atas kami atau gerontokrasi.

Ketika sejumlah kecil orang tua sibuk membagi-bagikan jatah jabatan dan kekuasaan ekonomi dan politik, kami umumnya orang muda dijauhkan dari mereka dan diberi ganti berupa fasilitas-fasilitas hedonisme. Maka jadilah kami, anak-anak muda, sebagai korban otoritarianisme sekaligus gerontokrasi.

Saya ingin abad ke-21 menjadi abad pertobatan bukan saja dari dari otoritarianisme melainkan juga dari gerontokrasi. Saatnya sekarang anak-anak muda diberi ruang untuk memainkan peranan menentukan. Adalah kami anak-anak muda yang dipihaki oleh waktu; dan karena itu melawan kebangkitan anak-anak muda berarti mengkhianati proses hidup yang telah ditetapkan Tuhan.

Saudara-saudara sekemanusiaan,

Dalam kesempatan yang menantang ini saya ingin menegaskan keinginan saya - yang tentu saja tidak bisa dan tidak akan pernah bisa menjadi wakil dari anak-anak muda lain di Indonesia - tentang abad ke-21. Abad ke-21 mesti kita rebut sebagai lahan perubahan bagi pemerdekaan kemanusiaan. Jalan kita adalah membangun kembali lima aset itu sehingga menjadi panca daya. Saya ingin mengajak Anda sekalian untuk membangun lima kekuatan atau panca daya itu sebagai agenda kerja abad ke-21.

Di sini, saya tak mau bicara tentang optimisme atau pesimisme. Bagi saya, ketika kita memposisikan diri sebagai pelaku dan bukan penonton, persoalannya bukanlah optimis atau pesimis. Persoalannya adalah, apa yang mesti kita kerjakan dan seberapa besar energi dan amunisi mesti kita siapkan.

Saya percaya dengan akan adanya masa depan Indonesia yang gemilang. Yakni tatkala kita telah meningkatkan kualitas kita dari massa menjadi warga negara.  Dengan itu, maka tak akan ada lagi pihak yang bisa menindas kita secara semena-mena. Dan kita merancang dan menjalani sejarah yang kita bangun sendiri-sendiri. Inilah masa depan Indonesia yang gemilang itu.

Saya juga percaya, proses menuju masa depan Indonesia yang gemilang tak akan pernah menjadi proses yang cepat, mudah, dan murah. Dan pertama-tama, langkah ke arah itu mesti dimulai dengan menanamkan cara berpikir dan berlaku baru tentang politik. Saya membayangkan alangkah indahnya jika setiap orang di Indonesia berpikir dan berlaku tentang politik seperti mereka melakukan segala sesuatu di kamar mandi. Total mengekpresikan diri tanpa merasa ada yang mengancam. Dan di atas segalanya, seperti kita ke kamar mandi, berpikir dan berlaku politik dipahami sebagai pekerjaan biasa yang justru membersihkan badan dan jiwa.

Berpikir dan berlaku politik yang saya maksud adalah mengatahui hak-hak kita sendiri, terpanggil untuk berjuang proaktif untuk memenuhi hak itu, dan tak tinggal diam serta melawan setiap kali hak-hak itu dilanggar. Sekali lagi, alangkah indahnya jika berpikir dan berlaku politik dalam makna ini dilakukan oleh setiap orang di Indonesia seperti mereka bebas lepas total di kamar mandinya sendiri.

Itulah tanda-tanda massa berubah menjadi warga negara. Saya percaya, dengan perubahan inilah segala makna perubahan kekuasaan bisa kita isikan. Sekali lagi, pertama-tama abad ke-21 adalah kerja besar mengubah massa menjadi warga negara. Dan perubahan kekuasaan hanyalah implikasi dari perubahan itu!

Saya ingin mengingatkan bahwa kita, masyarakat, sebetulnya kerapkali tidak mati karena dibunuh oleh rezim yang cerdas dan canggih. Melainkan lantaran terus-menerus menjadi massa. Dan sebagian massa kita melakukan bunuh diri massal sebelum pembunuhan oleh rezim itu berlangsung.

Mari kita songsong abad baru dan alaf baru dengan membangun kembali panca daya dan merebut kembali kemanusiaan.

Solo, 1 Januari 2000