ARSIP REFLEKSI


(2)
Matinya Pemerintah                                               
15 Februari 1998


Pada sebuah sore di bulan Ramadhan lalu, saya menyaksikan ''kematian pemerintah'' di toko buku “Deklamasi”-nya Jose Rizal Manua di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Di sini saya  temukan banyak sekali -- saya kira hampir semua -- buku-buku yang dilarang pemerintah dipajang di rak, berjejal, berdesak-desakan dengan buku-buku lain. Pemerintah mengalami kematian di sana.

Kematian pemerintah juga saya saksikan di bungkus rokok, benda yang tak terlalu familiar buat saya. Tertulis di sana: ''Peringatan pemerintah: Merokok dapat merugikan kesehatan''. Peringatan yang positif ini dengan enteng dilanggar oleh banyak sekali orang, bahkan  orang sekaliber Sarwono Kusumaatmadja atau Farid Gaban. Pemerintah -- bahkan ketika ia menawarkan kebaikan hati -- ternyata tak berdaya.    

Menurut hemat saya, kematian pemerintah sejenis itulah sebetulnya yang ikut memicu radikalisasi massa yang kerap terjadi dua tahun terakhir ini. Pada peristiwa 27 Juli 1996 misalnya, massa yang berkumpul di  sekitar Kantor DPP PDI dan Megaria, akhirnya punya keberanian mengartikulasikan kemarahan setelah mereka melihat polisi dan tentara -- personifikasi pemerintah -- tak berdaya dilempari batu dan cemoohan oleh beberapa orang di antara mereka. Kematian pemerintah (sesaat) akhirnya membuat letupan kerusuhan tak bisa dibendung.                

Kenyataan serupa itulah yang segera saya ingat ketika hari Jumat  kemarin saya menerima telepon seorang kawan di Sukamandi, Subang. Ia menceritakan kerusuhan yang sedang terjadi di pasar Sukamandi. Pada pukul 13:00 siang massa tidak dapat dibendung lagi, merusak toko-toko nonpribumi dan menjarah barang-barang dagangan. Salah satu sebabnya: sejak pukul 09:00 pagi aparatur keamanan tak berbuat sesuatu apapun   menghadapi massa yang terkonsentrasi, meneriakkan sentimen rasial dan memprovokasi satu sama lain untuk melakukan pengrusakan. Massa menyaksikan kematian pemerintah pada saat itu dan keberanian-anarkis mereka dengan cepat terkumpul.                                        

Saya menduga dengan keras bahwa kenyataan serupa itulah yang membuka peluang bagi terletupkannya banyak kerusuhan sosial belakangan ini, mulai dari Situbondo (1996) hingga ke Pamanukan (1998). Jika benar  demikian, maka mau tak mau, kita harus membenarkan konstatasi Seymour Martin Lipset dalam buku klasiknya, Political Man: Social Bases of Politics (1963).                                                   

Lipset menulis bahwa kekuasaan pemerintah bisa terdesak secara efektif karena rendahnya legitimasi sekaligus efektivitas pemerintahan. Soal kesenjangan dan krisis ekonomi yang tak juga berhasil diselesaikan  oleh pemerintah, misalnya, sangat potensial memelorotkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Legitimasi terganggu. Ketika aparatur atau institusi -- semacam polisi, tentara, hukum, bank sentral, atau  bahkan kebinet -- dianggap tak lagi gagah dan pandai mencari siasat, maka efektivitas pemerintah di mata publik pun merosot. Dalam keadaan ini, pemerintah sebetulnya mengalami kematian. Anarkisme pun  tersuburkan.                                                          

Membaca Lipset hari-hari ini sebetulnya mengingat sebuah adagium politik usang: pemerintah yang terlampau kuat adalah bahaya, namun pemerintah yang terlampau lemah bisa lebih berbahaya. Sekalipun usang, adagium itu menohok persis ke salah satu pokok soal politik kita saat ini. Setelah mengetatkan regulasi politik selama lebih dari tiga  dekade, Orde Baru memang berhasil membangun pemerintah yang kuat,  namun pada saat yang sama terlampau lemah ketika menghadapi soal-soal darurat (emergency).                                            

Dalam konteks itu, pemerintah memang gemar melakukan penataan, namun pada saat yang sama juga mengembangbiakkan ketidaktertataan  (ungovernability). Bahayakah ini? Jika pertanyaan ini diajukan kepada Mancur Olson, seorang sarjana ekonomi politik terkemuka,   jawabannya tegas: Ya. Ketidaktertataan, tulis Olson dalam bukunya The Rise and Decline of Nations: Economic Growth, Stagflation, and Social Rigidities (1982), adalah sumber terpenting kebangkrutan sebuah bangsa. Bukankah kita tak mau menjadi bangsa yang bangkrut?    

Adalah sangat bermanfaat menjadikan persoalan yang terpapar di atas sebagai bahan refleksi kita hari-hari ini. Kita tengah dilanda oleh krisis ketersediaan stok dan keterjangkauan harga sembilan bahan  kebutuhan pokok (sembako) yang paling serius sepanjang sejarah Orde  Baru. Krisis logistik ini sangat serius karena telah menjadi keprihatinan dan bahan kemarahan semua orang, tanpa kecuali. Jika  dalam keadaan ini, masyarakat melihat pemerintahnya tak bisa berbuat apa-apa, maka kita bakal menyaksikan penggerogotan bangsa yang fatal.

Ketika hari-hari ini kita mendengar kerusuhan akibat krisis sembako -- dibungkus sentimen rasial -- telah terjadi secara sporadis di mana-mana, tampaknya sungguh tak bertanggung jawab jika kita masih berkata: Biarlah waktu yang bicara. Kitalah yang harus ''bicara''. Kita harus mencegah berlanjutnya penggerogotan bangsa ini. Mari!