ARSIP REFLEKSI

(3)
Kehormatan Pers,
Kehormatan Pemerintah                                
8 Maret 1998


Rabu sore, 4 Maret 1998, saya sempat menyaksikan Khofifah Indar Parawansa, juru bicara Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP), membacakan tanggapan fraksinya atas pidato pertanggungjawaban presiden. Dari sedikit cuplikan pidato yang sempat saya ikuti, saya dengar FPP  menggugat Peraturan Menteri Penerangan (Permenpen) No 01/Kep/Menpen/1984 tentang SIUPP yang melegalisasi pembredelan pers. FPP meminta agar model pengendalian pers dikembalikan kepada semangat UU Pokok Pers No 21/1984 yang tak memperkenankan pembredelan.

Malam harinya, sekitar pukul 21:30 WIB, di layar TV saya melihat  Menpen (demisioner) Jenderal TNI (purn) R Hartono mempersoalkan sampul depan majalah D&R. Sampul yang menggambarkan Pak Harto dalam bingkai kartu remi itu, dinilai menghina Kepala Negara. Saya mendengar nada gusar yang tegas pada pernyataan Jenderal Hartono.

Hingga menjelang tengah malam di hari itu, saya keluar rumah mencari-cari D&R yang bikin heboh itu. Ternyata stok   majalah itu di toko-toko 24 jam dan di kios-kios majalah beberapa pusat keramaian sudah habis diserbu ''pembeli kagetan'' semacam saya. Seorang penjaga sebuah toko 24 jam bahkan bercerita, ada seseorang yang memborong habis majalah itu.                                     

Saya kembali dengan tangan hampa dan penuh kerisauan. Bukan kegagalan memperoleh D&R itu yang merisaukan. Saya merisaukan sebuah pembredelan. Saya masih ingat benar betapa saya -- sebagaimana para konsumen informasi lain -- tersengat oleh rasa kaget dan sedih  ketika Tempo, Editor, dan Detik dibredel, Juni 1994. Trauma Juni 1994 masih menghantui saya.                               

Kamis pagi, 5 Maret 1998, pemberitaan kasus D&R sudah terpampang di koran-koran. Saya bersyukur ketika membaca bahwa Menpen (demisioner) tak akan membredelnya, melainkan membawanya ke meja  hijau. Saya kira memang langkah semacam inilah yang mestinya  dilakukan. Kasus-kasus pers mestinya diselesaikan di pengadilan, tidak dengan langsung memvonis bersalah bagi pekerja pers dan memberangus  usaha penerbitannya.                                   
Saya percaya, pembredelan D&R adalah tindakan keliru dan kontraproduktif. Pembredelan hanya akan semakin menurunkan  kredibilitas pemerintah di mata publik (terlebih-lebih publik  internasional).                          
Pembredelan di tengah krisis ekonomi dan hajat besar politik, SU MPR  1998, juga bakal menurunkan kepercayaan publik kepada pemerintah.  Lebih jauh, pembredelan niscaya bakal memperburuk ekses krisis ekonomi dengan tertutupnya lahan usaha bagi kawan-kawan pekerja pers di D&R. Saya pun percaya, pembredelan bakal memancing gelombang protes yang seharusnya tidak terjadi . Dalam konteks ini,  pilihan pada jalur hukum adalah langkah tepat, baik dilihat dari  keperluan penegakan hukum maupun dari sisi situasional.               

Di antara pelbagai agenda pembaruan politik dan hukum, pembenahan dunia pers dengan memfungsikan jalur hukum adalah salah satu agenda mendesak dan prioritas. Dalam kerangka inilah langkah yang diambil  Jenderal Hartono dalam kasus D&R patut disambut positif.

Apalagi, ia - langkah itu -- sebetulnya bukan langkah pertama. Seingat saya, Seminar Angkatan Darat V di Bandung, 18-19 Juni 1996 -- kala itu Jenderal R Hartono masih menjabat Kepala Staf TNI AD (KSAD) -- sudah  mengagendakan fungsionalisasi hukum dalam pengelolaan pers. Seminar itu antara lain menyarankan agar pembenahan dunia pers dilakukan melalui penegakan hukum. Tertulis di rumusan hasil seminar  itu: ''Untuk mewujudkan pers yang bebas dan bertanggung jawab, lembaga peradilan pers perlu dibentuk dan difungsikan, agar lebih menjamin  adanya kepastian hukum'' (hlm 83). Seminar AD V bahkan lebih maju lagi dengan mengajukan saran pembentukan peradilan pers. Saran ini mudah   dipahami mengingat aspek-aspek yang terkait dalam delik pers memang sangat khas. Mengikuti preseden pembentukan pradilan anak, peradilan agama, atau peradilan tata usaha negara, pers seyogianya memiliki  institusi peradilan khusus.                                           

Jumat sore, 6 Maret 1988, ketika kerisauan saya terhadap kasus  D&R belum usai, saya mendengar dari Marwah Daud Ibrahim, anggota FKP DPR, bahwa dua wartawan asing bersama beberapa kru lokal peliput SU MPR 1998 dibawah ke  Polda Metro Jaya. Belakangan saya tahu bahwa penahanan dilakukan karena mereka tak punya kartu identitas peliput. Dikabarkan juga bahwa para wartawan asing lain melakukan aksi solidaritas dengan mendatangi Markas Polda dan meminta agar rekan mereka dibebaskan. Kabarnya, wartawan TV kabel CNN juga ada di sana, lengkap dengan peralatannya dalam sekejap mata bisa membuat ''peristiwa Polda'' itu jadi ''peristiwa dunia''.                     

Peristiwa Polda, dilihat dari jendela teknis-administrasi pengamanan bisa saja dipahami. Namun jika yang dipakai adalah jendela lebih besar -- kepentingan pembangunan citra dan nama baik nasional di mata dunia -- peristiwa itu sungguh tak layak diberi permakluman.                     

Saya ingin menggarisbawahi kasus D&R dan penahanan  wartawan asing di atas sebagai sebuah ambiguitas. Di satu sisi, tengah tumbuh kesadaran untuk mempersehat hubungan antara negara, pers, dan  publik, melalui fungsionalisasi pengadilan. Namun di sisi lain, masih tersisa praktik negatif dalam mengelola hubungan negara, pers, dan publik itu melalui penggunaan instrumen pengamanan.
Ambiguitas semacam itu boleh jadi merefleksikan sebuah fakta yang lebih besar dan mendasar. Jangan-jangan, di tengah kuatnya kehendak merevitalisasi sistem sosial, ekonomi, dan politik, kita sebetulnya belum berpikir matang dan seksama tentang perlunya menjadikan pers sebagai mitra pemerintah dan rakyat dalam rangka revitalisasi itu.   Jika benar demikian, ini memprihatinkan.                              

Di tengah terbangunnya publik nasional dan semakin tegasnya atmosfer global -- jangan lupa, kita sudah punya PP 20/1994 yang membolehkan  investasi asing di bidang pers -- kemitraan pers dan pemerintah adalah penting . Ini tak saja lantaran pers merupakan ''pilar keempat bagi demokrasi” (the fourth estate of democracy), melainkan juga karena pers saat ini sudah semakin penting peranannya dalam membangun kepercayaan, kredibilitas, bahkan legitimasi pemerintah.

Dalam kerangka itu, meminjam penggambaran Adaham Hasibuan -- dalam  ''Genesis of a Press: Economic Aspects of the National Press in Indonesia,” artikel yang ditulisnya 41 tahun lampau -- pers mestinya dijadikan bagian terhormat dari kerja sebuah pemerintah. Jika tidak, kehormatan pemerintah itulah yang bakal terlucuti.