ARSIP REFLEKSI

(4)
Musim Semi
Salah Garuk                                         
05 April 1998


Seorang petani yang risau mendatangi kepala dusunnya dan  mengeluhkan lumbung padinya yang diganggu tikus. ''Bakar lumbungmu!'' saran kepala dusun dengan cepat dan tegas. Adegan ini segera terbayang di kepala saya ketika di tengah hiruk pikuk Pemilu lalu, Dr Amir Santoso menyarankan agar di masa depan kampanye dihapuskan saja karena kampanye Pemilu 1997 tak terkendali alias brutal.                     

Menghapus kampanye karena adanya brutalisme massa sama dengan membakar lumbung padi untuk mengatasi gangguan tikus. Ditilik dari rumus metode penyimpulan yang paling sederhana pun, cara berpikir seperti itu jelas sesat. Pemecahan dicari di tempat yang bukan lokasi akar masalah. Bisa dipastikan, masalah pun takkan terpecahkan.                           

Dr Amir tak sendirian. Cukup banyak yang menganut cara berpikir serupa itu. Menperindag Mohamad (Bob) Hasan misalnya. Dalam konferensi pers sesuai menerima jabatan dari Menperindag lama, Ir Tunky Ariwibowo, Bob Hasan ditanya wartawan soal harga kertas yang membumbung tinggi sehingga mengancam kelangsungan hidup pers. Ketika para wartawan meminta solusi atas soal itu, Bob Hasan -- salah seorang pemilik industri dan distribusi kertas -- dengan cepat memberi jawaban. ''Makanya bikin pabrik kertas sendiri,'' katanya.                                     

Jawaban Bob Hasan jelas musykil dan melarikan diri dari akar masalah sesungguhnya. Bukankah musykil meminta para aktivis Suara Ibu Peduli (SIP) yang memprotes harga susu yang melambung tinggi, agar mereka membikin pabrik susu sendiri-sendiri? Bukankah musykil meminta masyarakat yang memprotes harga beras yang tinggi-mencekik, agar mereka mencetak dan mengelola sawah sendiri-sendiri? Bukankah musykil meminta penduduk desa yang memprotes tingginya harga gula agar mereka masing-masing bikin pabrik gula?                                      

Selain musykil, cara berpikir di atas melarikan diri dari akar masalah. Cara berpikir seperti itu bisa diibaratkan sebagai ''menggaruk pantat ketika kening gatal''. Untuk sementara mari kita namai itu sebagai ''paradigma salah garuk''.                          

Celakanya, hari-hari ini kita justru harus menyaksikan dengan prihatin betapa ''paradigma salah garuk'' itu dianut oleh cukup banyak menteri Kabinet Pembangunan VII. Tak hanya Bob Hasan. Bukti paling dramatis mengenai hal itu dapat kita temukan dalam rapat koordinasi penanggulangan dampak sosial krisis moneter oleh Mensos, Siti Hardiyanti Indra Rukmana.

Rakor sepakat membuat program penyediaan kupon makan siang gratis untuk lima belas ribu orang di lima wilayah kota Jakarta serta penyediaan 300 Warung Tegal versi Warsena (warung sehat sederhana) yang ditunjuk untuk melayani para korban krisis moneter, untuk mengatasi krisis moneter. Setelah itu, adegan pasca-rakor, sudah sama-sama kita ketahui. Sejumlah menteri, menjajal penggunaan kupon   gratis itu di sebuah Warsena. Secara demonstratif -- disaksikan para  juru warta media cetak dan elektronik -- para menteri pun makan di Warsena itu.                     

Yang dipertontonkan oleh para menteri itu bukan bagaimana cara makan di warteg, melainkan beroperasinya ''paradigma salah garuk''. Para menteri itu telah membuat simplikasi yang luar biasa tak proporsionalnya dalam memandang krisis moneter sebagai masalah sosial. Mereka tak  hanya memberi ikan tanpa kail melainkan juga menggiring publik untuk  memahami akar masalah krisis moneter secara salah. Krisis moneter -- beserta dampak sosialnya -- yang memiliki akar sangat sistemik dan struktural dipecahkan dengan pemacahan a la kupon dan warteg.   

Tidakkah pendekatan kupon-warteg itu justru menabung bahan peledak sosial baru di kemudian hari? Sampai berapa lama pendekatan semacam itu dapat bertahan di tengah kesulitan likuiditas yang dihadapi negara sekarang ini? Tidakkah pendekatan kupon-warteg itu justru merupakan  fenomena pelarian dari masalah (escapism)?                      

Pertanyaan-pertanyaan itu dalam beberapa hari ini sebetulnya sudah  digaungkan cukup keras oleh pelbagai kalangan. Namun tampaknya, anjing boleh menggonggong sementara kafilah tetap berlalu. Jika gejala memprihatinkan ini terus berlanjut maka boleh jadi sebenarnya kita memang sedang menghadapi sebuah ''musim semi salah garuk''. Orang-orang yang gatal pantat justru terus berlomba-lomba untuk menggaruk kening sambil merasa sudah menyelesaikan masalah.

Bagaimana fenomena itu harus kita jelaskan? Peter Worsley dalam  bukunya, The Third World yang terbit tahun 1970-an, seingat saya, sudah mencoba menjelaskannya. Umumnya penguasa di Dunia Ketiga, tulis Worsley, selalu berusaha lari dari masalah-masalah sosial yang secara konkret  mereka hadapi. Alih-alih menghadapi masalah, mereka -- para penguasa  itu -- justru lebih sibuk melakukan simplifikasi masalah. Maka para penguasa pun seolah-olah dengan gagah bisa mengatasi masalah. Padahal, tulis Worsley, masalah tetap ada dan tertimbun di bawah permukaan.                           
Peter L Berger dalam Pyramids of Sacrifice: Political Ethics and Social Change (1974) memahami fenomena ''musim semi salah garuk'' dengan cara berbeda. Kebijaksanaan-kebijaksanaan politik, tulis Berger, pada hakikatnya memang sering alpa untuk membuat ''perhitungan kesengsaraan'' secara cermat dan saksama. Kebijaksanaan politik tidak dibuat dengan memahami akar-akar masalah yang sesungguhnya lantaran para pengambil kebijakan memang tak mengenali ''sosiologi masalah'', yakni peta-peta sosial di seputar masalah. Ketidakpahaman pada sosilogi masalah itulah yang akhirnya membuat ''masalah'' dan ''pemecahan masalah'' menjadi dua hal yang berjauhan, bahkan tak      berkaitan sama sekali.

Dalam konteks yang baru kita sebutkan, ada kemungkinan ketiga yang luput dari perhatian Worsley maupun Berger. Musim semi salah garuk  memang diberi ruang yang lapang untuk berkembang biak oleh model kerja sistem politik. Sistem politik yang ada sekarang, ditandai secara kentara oleh terjadinya monopoli pamaknaan oleh kekuasaan. Makna  didefinisikan secara monolitik oleh penguasa. Masyarakat tinggal menelan makna yang sudah dikemas rapi. Maka kekuasaan sebetulnya tidak melakukan simplifikasi masalah atau tak memahami sosiologi masalah, melainkan memang punya kehendak sendiri yang tak bisa dilawan untuk  menetapkan masalah dan pemecahannya.                                  

Dengan karakter semacam itu, maka operasi pemerintah pun jauh dari motto Pegadaian: ''Mengatasi Masalah tanpa Masalah''. Dari hari ke hari, masalah justru diatasi dengan membuat masalah baru. Dan krisis ekonomi dan politik yang berkepanjangan sejak tengah tahun lalu hingga sekarang, membuktikan bahwa cara kerja macam itu makin lama makin  sia-sia.