ARSIP REFLEKSI
(5)
Tak Mudah
Menjadi Amien
26 April 1998
Tidak mudah menjadi Amien Rais. Ia mengultimatum pemerintah agar mampu mengatasi krisis ekonomi secara konkret dalam waktu enam bulan dan mengancam akan menggerakkan people power jika pemerintah gagal memenuhinya. Namun pada saat yang sama ia membantu pemerintah secara konkret. Ia misalnya bersedia memenuhi undangan Dewan Gereja Amerika Serikat (AS) untuk menjelaskan pembakaran sejumlah gereja oleh ummat Islam dalam dua tahun terakhir. Ia sadar betul bahwa penjelasannya penting untuk menggagalkan rencana dua anggota Senat AS yang sedang mengkampanyekan embargo AS atas Indonesia. Ia tak mau krisis makin parah lantaran embargo.
Tak mudah menjadi Amien. Ia berusaha memberikan pendidikan politik -- "Untuk memecahkan kebekuan politik," katanya suatu ketika -- dengan bersedia diajukan sebagai calon Presiden Indonesia di tengah arus formal pencalonan kembali Soeharto menjelang SU MPR 1998 lampau. Namun pada saat sama ia ikhlas dan rendah hati mengakui terang-terangan bahwa BJ Habibie adalah calon Wakil Presiden yang kredibel, kapabel, dan layak didukung. Padahal, Habibie ada dalam satu paket dengan Soeharto -- calon Presiden yang jadi seteru Amien.
Memang tak mudah menjadi Amien. Segera setelah pengumuman komposisi Kabinet Pembangunan VII, ia menyatakan bahwa pemerintah sudah tuli dan buta berhadapan dengan kehendak publik. Namun pada saat sama ia bersedia menyisakan energi untuk berdialog -- pekerjaan yang membutuhkan "mata" dan "telinga" -- dengan aparatur pemerintah yang ia kecam.
Menjadi Amien memang tak mudah. Biasanya, kita dengan bersemangat mengeritik dan mencerca sesuatu yang tak kita suka dan setujui, sembari mengumpulkan energi perlawanan sebanyak-banyaknya sehingga tak ada sisa ruang bagi permakluman dan apresiasi untuk hal-hal baik dari sesuatu itu. Biasanya kita mendukung, menyokong, mengagung-agungkan sesuatu yang kita suka dan setujui, sambil mengumpulkan energi pemihakan sebanyak-banyaknya sehingga tak ada sisa ruang bagi kritisisme dan koreksi untuk sesuatu itu.
Ya. Ketika kebanyakan kita terbiasa "membongkar" tanpa merasa berkewajiban "memasang kembali"; menjadi Amien memang terasa susah. Ketika umumnya kita terbiasa menjadi oposan atau penyokong habis-habisan, sungguh sulit mengikuti logika kerja Amien. Mengancam sembari membantu; mencalonkan diri sambil mengakui kehebatan kandidat dari kelompok lain; mengeritik sangat keras sambil bersedia berdialog mengenai substansi kritiknya; adalah hal-hal yang terlihat absurd, tak masuk akal, bagi banyak orang.
Memang sulit menjadi Amien. Bahkan, bagi sebagian orang tetap sulit sekalipun sekadar memahaminya. Ini terbukti dengan terpecahnya publik ke dalam tiga kelompok penyikapan. Kelompok pertama adalah mereka yang sekadar kebingungan menghadapi logika kerja politik Amien. Mereka benar-benar tak habis mengerti. Setelah itu, ya tetap tak habis mengerti. Kelompok ini masih mungkin menjadi pendukung Amien dengan dua cara: mencari daya ikat lain di luar persetujuan pada logika kerja politik Amien (misalnya: kesamaan primordial semacam agama); atau mengikhlaskan diri berendah hati mengakui belum sampai pada maqam untuk bisa memahami Amien secara rasional.
Kelompok kedua menyimpulkan bahwa Amien plin-plan dan tak konsisten. Kelompok ini memandang sikap "mengancam sambil membantu" atau "mencalonkan diri sambil mengakui kehebatan calon lain" atau "mengeritik sambil tetap mau berdialog" sebagai semacam oxymoron: dua hal yang mustahil disatukan. Bagi mereka pasangan "mengancam" adalah "merecoki", pasangan "mencalonkan diri" adalah "menjelekkan seteru", pasangan "mengeritik" adalah "menutup dialog". Setelah menyaksikan gaya politik Amien, Kelompok ini boleh jadi akan menjauhi Amien dan mencari figur lain yang dianggapnya "konsisten".
Kelompok ketiga justru melihat logika kerja Amien sebagai gaya seorang demokrat. Sikap Amien yang mengancam sambil membantu, mencalonkan diri sambil mengakui kredibilitas lawan, dan mengeritik keras sambil tetap menyediakan ruang bagi dialog, adalah sikap-sikap yang justru dewasa dan layak ditiru. Kelompok ini bakal menyemati Amien dengan penghargaan tinggi dan bersikukuh menjadi pendukung setia.
Gaya Amien sendiri sebetulnya tak sukar dicarikan paralelismenya dengan kekayaan sejarah politik kita. Mohammad Hatta pernah memegang teguh sikap semacam itu di masa-masa akhir dwitunggal. Waktu itu, Hatta sudah banyak tak bersetuju dengan Soekarno, namun atas nama kepentingan yang lebih besar -- bangsa dan negara -- ia bersedia terus mendampingi Sukarno. Sampai akhirnya keadaan memang sudah tak memungkinkan lagi bagi Hatta untuk memaklumi Sukarno, tanggallah dwitunggal.
Hatta memang punya batas toleransi yang ia pegang dengan teguh. Sehingga ia tak memaksakan dwitunggalnya menjadi abadi. Apakah Amien sudah memiliki batas toleransi serupa itu? Biar waktu yang nanti bicara.
Bagaimanapun -- ini yang penting -- cercaan atas sikap Amien sebetulnya merefleksikan sebuah soal besar di tengah kita: jangan-jangan kita memang belum memiliki infrastruktur yang cukup untuk berdemokrasi. Kita tampaknya baru memiliki kesiapan kultural untuk menjadi oposan yang habis-habisan, atau pendukung yang sama habis-habisannya. Kita tampaknya baru memiliki kesiapan untuk menjadi pemenang yang buruk atau pecundang yang sama buruknya.
Ketika menjadi pemenang, kita habiskan energi untuk merayakan kemenangan dan tak menyisakan ruang untuk mengakomodasi aspirasi konstruktif para pecundang. Ketika menjadi pecundang, kita habiskan energi untuk mengeroposkan para pemenang sambil menghabiskan suara untuk meneriaki bahwa kemenangan mereka tak sah.
Potret semacam itulah yang kita temukan dalam perseteruan Abdurrahman Wahid dan Abu Hassan di tubuh Nahdatul Ulama, beberapa waktu lampau. Abu Hassan, dengan mendirikan KPPNU, terbukti tak bisa menjadi pecundang yang baik. Sebaliknya, Abdurrahman Wahid pun, dengan abai pada aspirasi kelompok Abu, terbukti gagal menjadi pemenang yang baik. Potret itu pula -- dalam warna yang lebih buram -- yang kita temukan dalam perseteruan kelompok Soerjadi dan kelompok Megawati.
Akhirnya, ketika tulisan ini diturunkan, Amien Rais boleh jadi masih berusaha keras untuk meyakinkan Dewan Gereja AS dan sejumlah anggota Senat AS bahwa orang Islam di Indonesia bukannya tak memiliki toleransi atau gemar melanggar hak asasi umat agama lain. Mereka hanya lapar, termiskinkan, terpinggir, lalu karena itu sesekali marah dan (sebagaimana umumnya orang marah) kehilangan rasionalitas. Selamat bekerja Mas Amien. Saya termasuk orang yang percaya bahwa apa yang Anda lakukan tidak termasuk ke dalam kategori "usaha yang sia-sia".
|