ARSIP REFLEKSI

(6)
Menuju
Daulat Rakyat                                                  
24 Mei  1998


Selasa sore, 19 Mei 1998. Saya hadir di tengah ribuan mahasiswa yang memadati halaman gedung DPR-MPR Senayan. Saya menyaksikan sebuah pesta rakyat yang sesungguhnya.                                       

Hari-hari setelah itu kemudian menjadi hari yang amat menakjubkan. Perkembangan politik berjalan sangat cepat. Dua hari setelah itu, 21 Mei, terjadi suksesi. Soeharto menyatakan berhenti. Habibie menjadi  Presiden baru. Kini, gedung DPR telah kembali ''sepi''; dan kabinet Habibie -- Kabinet Reformasi Pembangunan -- telah dilantik dan mulai  bekerja.                                                              

''Gerakan mahasiswa'' memang merupakan fenomena yang paling menakjubkan di hari-hari yang berjalan cepat itu. Membalik hampir seluruh ramalan standar, gerakan mahasiswa memainkan peranan penting, menjadi barisan terdepan, dalam menjatuhkan Soeharto. Sejak minggu ketiga Februari 1998 gerakan mahasiswa meneriakkan tanpa takut, jera, dan bosan, tuntutan suksesi sebagai prasyarat reformasi total. Dan terbukti mereka sukses secara luar biasa.                             

Hari-hari ''pendudukan'' DPR oleh mahasiswa merupakan hari-hari yang pasti akan dikenang dengan sangat manis oleh masyarakat luas, apalagi oleh para mahasiswa yang menjadi pelakunya. Mahasiswa ternyata bisa membuat gerakan besar yang sangat rapih, terkoordinasi, konsisten, penuh perhitungan, matang, dan simpatik. Dari lubuk hati yang paling dalam, saya ingin menyatakan salut untuk semua itu.                   

Saya menyaksikan betapa para mahasiswa telah berhasil memenangkan alam pikiran rakyat. Bersama dengan M Amien Rais dan tokoh-tokoh oposisi lain, mereka memenangkan pertarungan moral menghadapi kekuasaan. Pengibaran bendera setengah tiang di mana-mana setelah Insiden Trisakti (12 Mei), dan terus mengalirnya bantuan logistik dari  masyarakat untuk para mahasiswa yang bermalam di DPR, merupakan bukti kemenangan moral itu. Untuk pertama kali dalam 32 tahun terakhir kita menyaksikan bersatunya mahasiswa dan rakyat. Mahasiswa menjadi representasi rakyat.                                                  

Gerakan mahasiswa memang tidak akan sespektakuler itu bila tak ada krisis ekonomi luar biasa parah, kesadaran kolektif rakyat tentang kesulitan hidup, kiprah tokoh-tokoh oposan dengan M Amien Rais sebagai representasi terbaiknya, serta dukungan internasional. Namun bagaimanapun, mahasiswa adalah salah satu aktor utama. Mereka layak disemati gelar para pejuang reformasi.                                

Ketika ingar-bingar teriakan reformasi melalui lautan massa tampaknya sekarang mengalami penyurutan sekarang ini, menjadi relevan mengajukan pertanyaan kontemplatif: Apa yang sebetulnya telah dicapai oleh gerakan reformasi yang menumbangkan Soeharto?                         

Pencapaian terbesar Gerakan Reformasi 1998 adalah terjadinya desakralisasi kekuasaan. Selama lebih dari 30 tahun kita dipaksa untuk memahami kekuasaan sebagai sesuatu yang sakral, tidak bisa  dipersalahkan, suci, tak tersentuh. Gerakan Reformasi 1998 membalik   semua itu; menjadikan kekuasaan sebagai sesuatu yang manusiawi: bisa  khilaf, serakah, mengekang, lupa diri, dan karenanya layak digugat bahkan ditumbangkan rakyat.                                           

Pencapaian penting lainnya adalah pembentukan dasar-dasar moral bagi praktik pertanggungjawaban publik (public accountability).  Gerakan Reformasi 1998 mengajarkan bahwa model daulat tuanku adalah sesuatu yang mesti dilawan. Sebaliknya, daulat rakyat harus ditegakkan. Di atas prinsip daulat rakyat itu, pertanggungjawaban publik menjadi moralitas politik yang niscaya. Mengabaikan moralitas ini berarti sebuah pengkhianatan atas prinsip ''suara rakyat adalah suara tuhan''.                                 
Pencapaian berikutnya adalah terbangunnya kepercayaan diri rakyat. Runtuhnya kekuasaan Soeharto ketika ia masih dipahami sebagai sangat kuat, menakutkan, dan tidak terlawan, telah menumbuhkan kembali kepercayaan diri rakyat. Bahwa manakala mereka menggalang kekuatan dengan saksama, maka kekuasaan besar pun bisa saja keropos dan tumbang.                                                              

Terbentuknya embrio oposisi politik rakyat adalah pencapaian berikutnya. Sistem politik tanpa oposisi yang menjadi salah satu  azimat Orde Baru, terbukti menjadi salah satu sumber krisis politik.  Kekuasaan bekerja tanpa pengawasan sehingga dengan mudah terjebak ke  dalam despotisme: hanya melayani kepentingan sendiri dengan menutup   telinga dari teriakan rakyat. Gerakan Reformasi 1998 membangunkan kesadaran kita mengenai jebakan despotisme itu dan menghasilkan embrio oposisi politik rakyat, baik di dalam maupun di luar kampus.          

Pencapaian Gerakan Reformasi 1998 itu merupakan hasil terbesar yang pernah dipetik oleh gerakan perlawanan rakyat sepanjang Orde Baru. Sekalipun begitu, pencapaian itu bisa saja mengalami aborsi. Proses aborsi bisa terlihat manakala kebebasan politik yang saat ini  kita rasakan ternyata kemudian hanya menjadi ''musim semi kebebasan''. Terasa indah dan romantis namun hanya sependek satu musim. Gejala Aborsi juga bisa kita temukan manakala nanti kekuasaan ternyata membangunkan kembali karakter-karakter primitifnya: cenderung mengendalikan, mengancam, dan tuli.                                   

Dalam kerangka mencegah aborsi itu, apa yang diproklamasikan oleh Nurcholish Madjid, Emha Ainun Najib, Utomo Dananjaya, dan Sugeng Sarjadi, di Hotel Regent Jakarta, Sabtu 22 Mei 1998, menjadi signifikan. Cak Nur dan kawan-kawan menyerukan agar rakyat secara pribadi maupun kolektif membangun budaya oposisi; menjadi pengawas kekuasaan yang aktif dan artikulatif.                                 

Namun bagaimanapun seruan itu berkaitan dengan satu soal yang berjangka panjang, yakni bagaimana membangun sebuah kebudayan baru. Dalam jangka pendek, seruan itu harus ditindaklanjuti oleh penguasa dengan menyediakan saluran-saluran struktural-legal bagi praktik oposisi. Jika tidak, ''rakyat'' dan ''Tuanku'' akan selalu berseteru tanpa pemenang. ''Rakyat'' kalah karena selalu terampas haknya, sementara ''Tuanku'' menjadi pecundang karena masih terus-menerus kanak-kanak, tak juga dewasa.                                                               

Jika gerakan budaya oposisi dan penyediaan saluran struktural praktik oposisi bisa terwujud maka boleh jadi kita sedang berjalan secara  tegas menuju pembentukan civil society. Kantong-kantong oposisi politik terbentuk di kalangan rakyat dengan pusat-pusat yang banyak dan terpencar, tanpa kepemimpinan tunggal, di tengah ruang publik yang leluasa.                                               
Pada titik itulah mahasiswa dan rakyat bisa merayakan sebuah kemenangan sejati sementara kekuasaan dipaksa rendah hati. Untuk sampai ke sana, masih banyak langkah yang mesti diayun.