ARSIP REFLEKSI

(8)
Republik
Para Bandit                                                  
26 Juli 1998


Hari-hari ini adalah hari-hari yang sangat menguras cadangan energi prihatin kita. Pelbagai bencana yang susul-menyusul, ancaman banjir lantaran musim hujan yang datang lebih cepat, perilaku elite politik yang ternyata masih juga kanak-kanak, krisis yang memakan  korban-korban kemanusiaan yang makin hari makin banyak, adalah beberapa soal yang layak diprihatini.                                 

Di luar itu, ada sebuah soal yang mestinya sangat menguras energi prihatin kita: Penjarahan terjadi di mana-mana. Tambak udang di sejumlah tempat dijarah oleh ratusan bahkan ribuan penduduk.  Perkebunan kopi yang siap panen dijarah massa tanpa bisa dicegah. Sejumlah lahan dipatok dan diperlakukan sebagai milik ratusan penduduk. Kasus penyerobotan lahan yang boleh jadi saat ini menjadi bahan perbincangan publik adalah pematokan dan penggarapan lahan  Peternakan "Tri S" alias Tapos di Cibedug, Ciawi, Bogor.              

Bagaimana semestinya kita memahami semua itu? Apakah kita harus melihatnya semata-mata sebagai kriminalitas an sich atau harus memperlakukannya sebagai sebentuk protes sosial?   
Pertanyaan-pertanyaan yang memerlukan jawaban segera itu sebetulnya pertanyaan klasik. Telah sejak lama para ahli ilmu sosial dan khususnya ahli sejarah mengajukan pertanyaan serupa itu. EJ Hobsbawm (1959) menjawab pertanyaan itu dengan memunculkan teori tentang bandit sosial (social banditry). Hobsbawm mencari akar-akar ekonomi, sosial, dan politik di balik praktek penjarahan semacam itu. Kesimpulan Hobsbawm: Para penjarah dan penyerobot lahan usaha yang sebetulnya bukan miliknya itu tak bisa hanya dipahami semata-mata sebagai para kriminal. Mereka melakukan tindakan penyerobotan atau penjarahan itu dengan alasan sosial yang cukup; mereka sedang melakukan protes sosial. Memahami mereka dari dimensi kriminalitas belaka, menurut Hobsbawm, niscaya hanya menghasilkan  pemahaman parsial dan keliru.        
Studi-studi yang dilakukan belakangan membenarkan penggambaran teoretis Hobsbawm itu. Penelitian Donald Crumney -- Banditry, Rebellion and Social Protest in Africa (1975) -- misalnya, sampai pada penggambaran serupa di balik maraknya praktek perbanditan sosial di sejumlah negara Afrika. Louis A Perez Jr dalam karyanya Lords of the Mountain: Social Banditry and Peasant Protes in Cuba (1989) menunjukkan bahwa di negara-negara Amerika Latin, khususnya Kuba, bandit sosial memang merupakan agen-agen protes sosial.    
Indonesia tampaknya bukan pengecualian. Sebuah penelitian serius yang  dilakukan ahli sejarah dari Universitas Gadjah Mada, Dr Suhartono, menunjukkan bahwa praktek perbanditan sosial adalah salah satu ciri penting dinamika sosial-ekonomi-politik pedesaan di Jawa. Penelitian  -- yang dibukukan menjadi bandit-bandit Pedesaan di Jawa (1995) -- itu memberi ilustrasi yang sangat kaya tentang perbanditan pedesaan di Batavia dan Banten, kecu (perampokan yang memiliki motif  sosial) di Yogyakarta dan Surakarta, pembakaran tebu di Pasuruan dan  Probolinggo, antara 1850-1942.                                        

Suhartono sampai pada kesimpulan menarik: Dalam kasus-kasus di Jawa,  perbanditan sosial berkembang lantaran berakar pada konjungtur ekonomi dan konjungtur politik. Di satu sisi, ada konjungtur ekonomi - berupa krisis dan paceklik mencekik leher rakyat kecil -- yang menjadi lahan bagi pengembangbiakan penderitaan dan kekecewaan orang banyak. Di sisi lain, konjungtur politik -- berupa tak adanya wadah politik yang bisa menampung penderitaan rakyat kecil -- membuat rakyat tak punya pilihan lain selain bertindak sendiri dengan perolehan hasil secepat mungkin, sambil mengabaikan hukum. Maka, perbanditan sosial berkembang tanpa bisa dicegah dan dicegat.                                             

Studi Hobsbawm, Crumney, Perez, dan Suhartono itu sangat relevan kita tengok hari-hari ini, ketika praktek penjarahan berkembang di mana-mana tanpa bisa dicegah bahkan oleh laras bedil dan senapan sekalipun -- para penjarah tambak udang di Tangerang tertawa-tawa geli mendengar tembakan peringatan aparat keamanan. Pelajaran terpenting dari studi mereka adalah: Setiap penjarahan yang melibatkan orang banyak ternyata selalu memiliki alasan sosial yang sangat memadai.    

Setidaknya ada tiga alasan sosial yang selalu bisa kita temukan. Pertama, penjarahan selalu tumbuh di tengah struktur eksploitasi atas rakyat yang tegas. Kedua, penjarahan selalu merupakan respons rakyat kecil terhadap perampasan hak-hak mereka yang dilakukan oleh kekuasaan secara sistematis. Ketiga, penjarahan selalu merebak di tengah tumbangnya kewibawaan hukum dan kekuasaan lantaran  hukum selalu menjadi sarana kekalahan rakyat sekaligus media arogansi kekuasaan.                                          
Bahwa, rakyat menjarah sebetulnya karena mereka sudah terlampau lama tak bisa berbuat apa-apa menghadapi kekuasaan yang menjarah hak-hak mereka. Bahwa rakyat menjarah karena mereka sudah terlampau lama  dipermainkan dan dibikin menderita oleh kekuasaan yang menggunakan  hukum sebagai alatnya. Bahwa rakyat menjarah karena mereka tidak menemukan jalan keluar yang lebih elegan dan bermartabat untuk melawan kekuasaan dan hukum yang melecehkan mereka secara sistematis.         

Pendeknya, para penjarah hanya mungkin ditumbuhkan di sebuah ''republik penjarah'', tidak di ''republik yang bermartabat''. Ketika ada struktur eksploitasi, hak-hak rakyat dirampas, dan kekuasaan serta hukum tak lagi punya wibawa, maka penjarahan dan kemunculan bandit sosial memang tinggal tunggu waktu saja. Dalam kerangka itu, penjarahan dan perbanditan sosial -- meminjam istilah James C Scott -- adalah ''senjata kaum yang lemah'' (weapons of the weak).                                                             

Lalu, apakah kita harus bersetuju dengan penjarahan? Apakah kita mesti sepakat dengan (konon) seloroh Menteri Negara Pangan, AM Saefuddin, bahwa penjarahan senilai lima persen, bisa ditolerir? Jawabannya tegas: Tidak! Namun, untuk membuat jawaban tegas ini  menjadi jawaban yang bertanggung jawab, maka kita tak boleh berhenti  hanya pada kata ''tidak''. Penjarah akan tetap mengintip kita setiap  waktu sekalipun Pangdam Jawa Timur sudah menyatakan perang terhadap mereka. Selama akar-akar sosialnya belum kita habisi, penjarahan akan tetap menjadi ancaman permanen sekalipun petinggi militer sudah memerintahkan penembakan dan pengeroyokan terhadap para penjarah.     

Karena itu, hanya ada satu pilihan untuk menghindari penjarahan dan perbanditan sosial di masa depan: hentikan ekploitasi rakyat; kembalikan hak-hak -- termasuk hak-hak politik -- rakyat yang sudah dirampas selama puluhan tahun; tegakkan hukum dan kekuasaaan yang berwibawa. Itulah yang mesti kita lakukan sebelum negeri ini benar-benar menjadi Republik Para Bandit.