ARSIP REFLEKSI

(9)
Indonesianis     
23 Agustus 1998



Situs Indonesianis


Jatuhnya Soeharto dan mulai berjalannya transisi dari Otoritarianisme, adakah perangsang baru bagi para pengkaji asing untuk kembali menengok Indonesia. Fakta ini tergambar dengan baik hari-hari ini.

Segera setelah berakhirnya Konferensi Internasional tentang Demokratisasi Indonesia yang disponsori Ford Foundation, 12-14 Agustus 1998 di Jakarta, Indonesia seolah ''diserbu'' oleh para pengkaji asing. Pelbagai diskusi diadakan dengan menjadikan mereka sebagai nara sumber. Pendapat mereka menjadi kutipan populer dalam pemberitaan media massa, cetak, maupun elektronik.

Dan tiba-tiba saja kata ''Indonesianis'' menjadi begitu sering dipakai kembali setelah selama sekitar satu dekade terakhir jarang terdengar di tengah kesenyapan politik Indonesia yang terkendali sepenuhnya di  tangan kekuasaan personal Soeharto. Siapakah sebetulnya mereka? Apakah benar bahwa mereka mengetahui lebih banyak dari para pengkaji  domestik? Bagaimana kita mesti memposisikan mereka? Inilah rentetan   pertanyaan yang kerap saya dengar dari publik awam.

Pengkaji asing tentang Indonesia setidaknya dapat dibedakan ke dalam  empat kelompok. Pertama, para pelaku politik -- umumnya Duta  Besar -- yang lantaran interaksinya dengan Indonesia berkesempatan melakukan pengamatan dan menuliskan hasilnya dalam bentuk buku atau memoar tentang Indonesia. Misalnya: Marshall Green (Indonesia: Crisis and Tranformation 1965-1968), dan Howrad P Jones (Indonesia: The Possible Dream).

Kedua, orang-orang dari kelompok profesi tertentu -- umumnya jurnalis -- yang karena interaksinya dengan Indonesia sempat menulis panjang lebar (belum tentu mendalam) tentang Indonesia. Contoh dari   kalangan jurnalis: Cindy H Adams (Sukarno: An Autobiography as Told to Cindy Adams, dan My a Friend the Dictator), David Jenkins  (Suharto and His Generals), Michael RJ Vatikiotis (Indonesian Politics under Soeharto), dan Adam Schwarz (A Nation in Waiting: Indonesia in 1990s). Contoh dari kalangan aktivis organisasi non-pemerintah: Sidney Jones (''It Can't Happen Here: a Post Khomeini Look at Indonesia Islam'').

Ketiga, orang-orang yang berlatar belakang sebagai akademisi-intelektual, pernah menulis tentang Indonesia, namun tidak secara khusus menjadikan Indonesia sebagai lahan kajiannya. Orang-orang semacam Brian May (The Indonesian Tragedy), John Bresnan (Managing Indonesia: The Modern Political Economy), Clark D Neher (''Democratisation in Southeast Asia''), Yoshihara Kunio (The Rise of Erzats Capitalism in Souteast Asia), atau Donald W  Wilson (The Long Journey: From Turmoil to Self-Sufficiency), termasuk kategori ini -- dengan segenap perbedaan gradasi keseriusan  mereka.

Keempat, orang-orang berlatar belakang akademisi-intelektual yang mengamati Indonesia secara serius dan terus-menerus, menjadikan  Indonesia sebagai lahan kajian akademis mereka. Orang-orang seperti George McTurnan Kahin, Daniel S Lev, Benedict RO'G Anderson, Herbert Feith, R William Liddle, Harold Crouch, Robert W Hefner, Donald K Emmerson, Lance Castles, Jamie AC Mackie, Richard Robison, -- sekadar menyebut sedikit contoh -- termasuk dalam kategori ini.

Sebetulnya hanya jenis pengkaji keempat yang bisa disebut sebagai  Indonesianis. Sebab, hanya merekalah yang memang benar-benar menjadikan Indonesia objek pengamatan permanen serta menuliskannya ke dalam produk-produk kajian serius. Karena itu, hanya mereka sebetulnya yang bisa dilacak jejak teoritisnya.

Dibandingkan dengan umumnya pengkaji domestik, umumnya para Indonesianis itu lebih terdukung aktualisasi akademis-keilmuannya oleh beberapa hal. Pertama, mereka disokong oleh infrastruktur riset yang lebih baik. Mereka datang dari negeri-negeri yang menempatkan  riset dalam posisi penting; setidaknya dalam posisi yang lebih baik   ketimbang di Indonesia. Sokongan infrastruktur riset ini terutama berwujud kekayaan sumber daya finansial dan institusional.

Kedua, tradisi riset yang membesarkan umumnya para Indonesianis adalah ''tradisi riset yang benar''. Yakni tradisi riset yang tak saja memberi perhatian pada riset kebijakan melainkan juga riset-riset mendasar bagi pengembangan teori (theory building). Sebuah tradisi riset yang menantang dan kemudian membiasakan umumnya Indonesianis bekerja secara serius dan tekun. Tradisi riset serupa  belum ditemukan di Indonesia, begitu pula keseriusan dan ketekunan para penelitinya. Sulit membayangkan para pengkaji domestik bisa  menyeriusi dan menekuni riset sebagaimana tekunnya Hefner meneliti Tengger, van Bruinessen meneliti sebuah kampung di Bandung, Jelinek meneliti komunitas Kebon Kacang, atau Liddle meneliti Simalungun.

Ketiga, di tengah tradisi riset yang benar, umumnya para Indonesianis memiliki kemampuan teoritisasi yang baik. Perumusan teoritis mereka kerapkali terasa imajinatif. Dari kemampuan inilah kemudian lahir berbagai penjelasan teoritis tentang Indonesia.

Keempat, dalam banyak kasus, sejumlah Indonesianis juga memiliki stok kasus-kasus-komparatif yang lebih kaya. Ketika umumnya para pengkaji domestik lebih terdorong oleh ''kesetiaan luar biasa'' pada studi Indonesia dan terpuruk dalam kemiskinan komparasi; beberapa Indonesianis menjelajah negara-negara di luar Indonesia dan memanfaatkan  hasil  penjelajahannya  sebagai  bahan komparasi. Setidaknya, pada Feith, Anderson, Crouch -- sekadar menyebut beberapa contoh -- kita dapat menemukan fakta itu.

Kelima, umumnya para Indonesianis memiliki keberanian menyimpulkan yang lebih besar ketimbang pengkaji domestik. Ini tentu  saja tidak bisa sekadar dijelaskan dengan teori ''kepercayaan diri  yang lebih besar'' melainkan juga lantaran mereka tidak memiliki  kendala politik untuk melakukannya.

Lalu, dengan demikian, apakah dapat kita katakan bahwa para Indonesianis memang jauh lebih tahu Indonesia -- termasuk soal perkembangan politik belakangan ini -- ketimbang pengamat domestik? Jawabnya: Belum tentu.

Ketika saat ini Indonesia mengalami perubahan yang sangat cepat, sebetulnya mereka sangat potensial mengalami ''gegar intelektual'' atau ''gegar akademik''. Umumnya penjelasan mereka tentang Orde Baru  adalah penjelasan lama yang sudah mapan; dan karena itu tiba-tiba tidak relevan bersamaan dengan hilangnya variabel Soeharto sebagai pengendali Indonesia. Ketika dalam keadaan ini, mereka tergopoh-gopoh membuat kesimpulan, bisa saja mereka kehilangan identitasnya sebagai ''Indonesianis'' dan menjadi sekadar komentator.

Dalam keadaan itu, kita mesti memposisikan para Indonesianis itu secara proporsional. Di satu sisi, kita mesti menolak mitologisasi -- yang sudah telanjur terbentuk, tanpa diminta oleh para Indonesianis sendiri -- bahwa mereka adalah penafsir Indonesia yang paling mumpuni, objektif dan sahih. Di sisi lain, kita mesti tetap memanfaatkan hasil pengamatan mereka untuk makin memahami fase transisi yang sangat membingunkan yang tengah berlangsung saat ini.