ARSIP REFLEKSI

(10)
Berkhianat pada Kata                                                  
20 September 1998


Sebuah siang yang terik di tengah Agustus 1998. Saya berhenti di lampu merah Warung Buncit-Pasar Minggu. Di pembatas tengah jalan ada sebuah patung tangan yang memakai jam -- benar-benar sebuah jam yang  berfungsi sebagai penunjuk waktu. Menggantung di patung itu dua baris tulisan yang terbaca jelas: ''Tepat waktu adalah cermin kepribadian bangsaku.'' Namun ketika saya cocokkan dengan jam di tangan saya, jam di patung itu ternyata terlambat 35 menit.                            

Saya tiba-tiba saja teringat pada mantan Presiden Soeharto. Hanya beberapa bulan setelah secara tidak fair memberi fasilitas monopoli niaga cengkeh kepada anaknya, Soeharto berpidato tentang perlunya bangsa Indonesia membentuk tata ekonomi nasional yang berkeadilan. Lalu, di tengah hujan kritik atas kebijakan-kebijakan politik dan ekonominya yang menyengsarakan rakyat banyak, tiba-tiba   saja, melalui sebuah pidato, Soeharto menyerukan: Jangan sakiti hati  rakyat.                                                               

Patung Warung Buncit-Pasar Minggu dan pidato-pidato Soeharto memang dua hal yang tak berkaitan. Namun sebetulnya keduanya mewakili sesuatu yang telah menggejala begitu lama di tengah kehidupan kita: Betapa telah terbiasanya kita untuk berkhianat, tak bersetia, pada kata-kata. Kerapkali, kata-kata dikhianati justru oleh sang pengucapnya sendiri. Celakanya, pengkhianatan itu dilakukan seolah tanpa perasaan berdosa dan diulang-ulang sebagai kebiasaan yang berpola. Dan kata-kata pun menjadi tak lagi punya makna. Meminjam salah satu bait sajak Sapardi Djoko Damono: Begitu cepat kata demi kata menjadi abu dan mulai beterbangan dan menyesakkan udara.   

Dalam konteks Orde Baru, pengkhianatan terhadap kata-kata bahkan telah mengalami pelembagaan; diberi dasar-dasar jutsifikasi hukum. Dan pengkhiatan terhadap kata-kata yang telah terlembagakan ini kemudian -- sebagaimana digambarkan dalam beberapa studi Benedict RO'G Anderson, seorang ahli Indonesia terkemuka -- telah diperlakukan sebagai salah satu senjata otoritarianisme.                           

Kita dapat menemukan setidaknya dua modus penggunaan kata-kata sebagai senjata otoritarianisme Orde Baru. Pertama, manipulasi dan eufimisme. Kata-kata dipakai sebagai bagian dari politik kebohongan. Menteri energi mengumumkan bahwa pemerintah tidak akan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Beberapa pekan setelah itu harga BBM pun naik. Aparat keamanan menenangkan masyarakat bahwa keadaan kota aman. Tak lama kemudian terjadi kerusuhan besar. Menteri ekonomi mengumumkan bahwa fundamental ekonomi kuat. Beberapa bulan kemudian perekonomian ambruk hingga ke dasar-dasarnya hanya lantaran terpaan satu gelombang krisis.                                                 

Dalam bentuk yang lebih halus, modus manipulasi lewat kata-kata dilakukan melalui eufimisme. Hal-hal buruk dikaburkan sehingga tampak  sebagai sesuatu yang tak terlampau buruk, bahkan berubah menjadi bagus. Kekasaran dipermak lewat kata-kata sehingga kita menjadi terasa lembut. Eufimisme bahkan begitu sukses dimassalkan sehingga tanpa kita sadari -- meminjam jingle iklan majalah Ummat -- ia telah menjadi tiran yang ditanam di kepala kita.

Kedua, melarikan diri dari pokok soal. Kata-kata dipakai untuk menjawab atau menenggelamkan kritik dan gugatan terhadap kekeliruan. Ketika orang dibikin pusing dengan kenaikan harga terus-menerus, rezim bukannya melakukan stabilisasi harga melainkan menghapus kata ''kenaikan harga'' dari kamus dan menggantinya dengan ''penyesuaian harga''. Ketika orang dicekam rasa takut karena tingginya ancaman penggarukan dan penahanan bagi aktivis oposisi politik, rezim bukannya mengakhiri praktik represif itu melainkan mengganti kata ''digaruk'' dan ''ditahan'' dengan ''diamankan''.                                 

Memperlakukan kata-kata sebagai senjata bagi sistem otoritarian atau  totalirarian tentu bukan tanpa risiko. Risiko inilah antara lain yang digambarkan dengan baik oleh sebuah buku yang ditulis Zbigniew Brzezinski (aisten Presiden AS Jimmy Carter untuk urusan keamanan): The Grand Failure: The Birth and Death of Communism in the  Twentieth Century (1989). Salah satu sumber kegagalan sistem komunis yang totalitarian, tulis Brzezinski, adalah dipraktikkan penyederhanaan berlebihan besar-besaran (grand oversimplification). Praktik ini disokong oleh proyek-proyek manipulasi makna, manipulasi melalui kata-kata, yang berpola dan sistemik. Lantaran sebab itulah, antara lain, komunisme mengeropos lalu hancur, kata Brzezinski.                                         

Brzezinski telah menunjukkan sebuah risiko dari pengkhiatan terhadap  kata-kata: hancurnya sebuah sistem melalui pengeroposan internal. Brzezinski sebetulnya menggarisbawahi bahwa berkhianat pada kata-kata sebetulnya bisa berubah diam-diam menjadi upaya menggali lubang kubur sendiri

Kita -- setidaknya sampai hari ini -- tampaknya belum menanggung  risiko separah itu. Tapi, pengkhianatan pada kata-kata telah menjadi warisan Orde Baru yang mencemaskan. Ia telah menyebarkan sejenis virus berbahaya di tengah masyarakat kita dan menciptakan sebuah penyakit kronis: sindroma ketidakpercayaan pada kata-kata. Diam-diam atau terang-terangan, hampir semua kita jangan-jangan telah mengidap sindroma ini beserta segenap konsekuensinya.                          

Maka ketika Soeharto muncul di televisi, lengkap dengan wajah dan bahasa tubuhnya yang sepuh, mengatakan bahwa ia tak punya uang  sesenpun yang tersimpan di luar negeri, dengan cepat kita terkekeh atau mengulum senyum dan memandangi wajah tua itu seraya bergumam: kebohongan macam apa lagi yang sedang ditebarkan. Maka ketika Habibie mengatakan bahwa ia tak takut memeriksa Soeharto, umumnya koran justru segera menampilkan Habibie sebagai seorang Presiden yang tak mungkin  punya keberanian semacam itu sambil memasang gambar wajahnya yang mengekspresikan kegetiran dan rasa takut.

Sindroma ketidakpercayaan bahkan tak hanya menjangkau wilayah Soeharto-Habibie macam itu, melainkan diidap oleh siapapun terhadap kata-kata siapapun. Boleh jadi, banyak orang yang membaca berita koran setiap hari sambil tak mempercayai isinya. Boleh jadi, terhadap ucapan siapapun -- terlebih-lebih jika ia mewakili institusi formal-negara -- kebanyakan orang menyambutnya dengan ungkapan ketidakpercayaan.

Soal ini adalah sebuah soal besar yang tak saja sangat layak  diprihatini namun juga dijadikan agenda masa depan. Bahwa di pundak kita terbeban sebuah tugas sejarah untuk mengeluarkan bangsa ini dari sindroma ketidakpercayaan pada kata-kata. Dan hanya dengan membangun karakter sistem politik yang kredibel, responsif, kompeten, dan representatif -- dengan aparatur yang berkarakter serupa -- kita bisa keluar dari sindroma semacam itu dan tidak bernasib buruk seperti gambaran Brzezinski.