ARSIP REFLEKSI

(11)
Mengantar
Otoritarianisme Baru?                                
 08 November 1998

Kasihan sekali Aung San Suu Kyi. Pemimpin gerakan menentang demokrasi di Murma (Myanmar), Za Hsaing, sedang rajin-rajinnya mengkampanyekan ''penghancuran'' Suu Kyi hari-hari ini. Putri tokoh kharismatik Burma Aung San ini dihujat Za Hsaing sebagai orang yang  tak mempedulikan kepentingan bangsa dan hanya berminat pada perebutan kekuasaan.     
Bertahun-tahun sejak akhir 1980-an, Suu Kyi memperjuangkan tegaknya demokrasi di negara yang dicintainya itu. Partai yang dipimpinnya, National League for Democracy (NLD) -- Liga Nasional untuk Demokrasi  -- kemudian memetik kemenangan dalam pemilu yang untuk pertama kali diadakan oleh junta militer di penghujung 1980-an. Namun, junta kemudian menunda-nunda dan akhirnya membatalkan penyerahan kekuasaan  sesuai hasil pemilu itu.

Setelah itu, Suu Kyi harus menjalani hari-hari panjang sebagai pejuang demokrasi yang terus direpresi junta dan menanggung banyak sekali penderitaan psikologis, sosial, dan politik. Setelah memenangkan pemilu ia justru jadi tahanan politik junta. Lalu, tiba-tiba datang orang semacam Za Hsaing yang justru menghujatnya sebagai pencari  kekuasaan dan penyengsara bangsa. Sungguh kasihan memang Suu Kyi. Namun, berhenti pada sebuah rasa kasihan tidak akan memberi manfaat  apa pun. Adalah lebih berharga mencari pelajaran dari kasus Suu Kyi itu.                                                                  

Saya pun jadi teringat pada buku yang disunting Larry Diamond, Democratic Revolution. Di buku itu, para pelaku penting gerakan prodemokrasi bercerita tentang pengalaman perjuangan demokrasi di negaranya masing-masing. Di antara banyak keunikan kasuistik, ada sebuah benang merah yang terbaca tegas: Para pejuang demokrasi kerapkali menghadapi persoalan yang makin rumit dan berat, manakala fase transisi yang mesti mereka jalani terkatung-katung dalam rentang waktu yang terlampau lama dan dalam proses politik yang lamban.       

Cerita tentang Suu Kyi dan gerakan prodemokrasi di Myanmar adalah sebuah cerita ekstrim yang sebetulnya bisa dimasukkan ke dalam benang merah itu. Suu Kyi dan partainya sudah memenangkan pemilu yang relatif demokratis -- dan membikin partai bikinan junta militer keok  lantaran surplus percaya diri. Namun cerita setelah itu adalah cerita  kisah penundaan proses transfer kekuasaan dan penutupan pintu bagi transisi menuju demokrasi.                                            

Ketika Suu Kyi sudah memenangkan pemilu, ia sebetulnya sudah menginjakkan kaki di pintu transisi dari otoritarianisme. Namun sejarah -- dan tentu saja, Tuhan -- berkehendak lain rupanya. Pasca-kemenangan NLD, Burma justru mengalami rekonsolidasi otoritarianisme. Cerita Burma pun mirip-mirip dengan penggambaran teoritis Peter Worsley dalam bukunya, The Third World.

Umumnya negara berkembang, tulis Worsley, kerapkali mengalami fase ''musim semi kebebasan'' yang sangat pendek, yang tidak mengantarkan masyarakatnya menuju perubahan demokratis, melainkan membawa mereka ke rekonsolidasi otoritarianisme yang dikelola penguasa baru atau bahkan lama. Worsley menamainya sebagai sebuah proses sirkulasi dari otoritarianisme ke otoritarianisme atau sebuah siklus otoritarian.

Suu Kyi dan masyarakat Burma tampaknya mengalami apa yang digambarkan Worsley itu. Suu Kyi bahkan tidak diberi kesempatan oleh sejarah untuk menjadi aktor transisional. Ia diberi sedikit napas ketika menggalang kekuatan prodemokrasi dalam tahun-tahun menjelang pemilu, namun langsung dicekik kembali justru setelah keluar sebagai pemenang. Lalu apa pelajaran berharga dari Suu Kyi untuk kita yang tengah dilanda demam reformasi berlarut-larut saat ini?

Ada beberapa hal penting yang layak diberi garis bawah dari cerita sedih Suu Kyi. Pertama, militer Burma dengan perlengkapan  ekonomi dan politik paling lengkap -- yang memang tidak pernah membiarkan para kompetitornya bisa tumbuh membesar -- ternyata dengan gampang muncul sebagai pembajak proses transisi. Militer mati-matian mempertahankan segala kenikmatan ekonomi-politik yang bisa diraihnya situasi status quo. Kasus Burma mengkonfirmasikan bahwa militer adalah calon pembajak demokrasi yang paling potensial.

Bercermin pada kasus Burma memunculkan kebutuhan mencermati orientasi dan reorientasi politik militer Indonesia pasca-Soeharto. Bahwa terlepas dari ada atau tidaknya keinginan perubahan dari dalam tubuh militer sendiri, harus terus dihidupkan agenda untuk mendesak -- tanpa lelah -- militer kita  agar tidak berpeluang menjadi pembajak transisi menuju demokrasi.

Kedua, kasus transisi yang abortif di Burma juga menjelaskan  rapuhnya proses politisasi dan radikalisasi rakyat yang tak memiliki  basis politik dan ideologi yang cukup. Menjelang pemilu, Burma dilanda semacam euphoria rakyat. Munculnya ratusan partai politik menjelang pemilu adalah salah satu bentuknya yang tegas. Pada saat yang sama, agenda pembenahan infrastruktur ideologi dan politik gerakan rakyat terabaikan. Masyarakat Burma -- yang sistem politiknya memang tidak memiliki tradisi sistem kepartaian yang kuat - akhirnya mendapati dirinya sebagai, tak lebih dan tak kurang, semacam cheer leaders (pemandu sorak) bagi kekuasaan junta.

Politisasi dan radikalisasi tiban a la Burma itulah yang sejatinya terjadi di tengah kita pasca-kejatuhan Soeharto. Maka bercermin pada Burma berarti membangun sebuah kesadaran kolektif bahwa masyarakat Indonesia tak boleh terjebak di dalam suasana reformasi  tanpa ketersediaan infrastruktur untuk melakukan reformasi. Bahwa kita tak boleh terjebak dalam suasana revolusioner di tengah ketiadaan infrastruktur revolusi. Bahwa sepeninggal Soeharto bisa saja  masyarakat terjerembab menjadi sekadar pemandu sorak; sementara proses rekonsolidasi otoritarianisme sebenarnya tengah berjalan diam-diam,  bahkan terang-terangan.

Ketiga, aborsi transisi demokrasi di Burma tersokong oleh tersedianya karakter masyarakat warisan Jenderal Ne Win yang tak punya daya kritis yang cukup berhadapan dengan manipulasi dan represi yang dikelola secara canggih maupun primitif. Junta militer bisa mensubversi atau mengkudeta transisi menuju demokrasi lantaran sebetulnya masyarakat Burma warisan Ne Win adalah masyarakat pragmatis yang telah dipotong urat-urat kepekaan politiknya.

Masyarakat semacam inilah yang dimanfaatkan oleh Za Hsaing untuk membuat hujatannya pada Suu Kyi seolah-olah atas nama dan untuk kepentingan rakyat Burma. Diakui atau tidak, masyarakat semacam itulah yang diwariskan Soeharto. Adalah sangat mudah membayangkan bahwa dii tengah masyarakat semacam itu, bisa saja muncul semacam kerinduan pada pengendali keadaan, pahlawan penghancur krisis, pemersatu bangsa, perekat kesatuan, atau  peran-peran heroik sejenisnya. Dan jika kerinduan semacam ini yang ternyata mengemuka, maka proses transisi menuju demokrasi pasti menjadi sangat dipersulit dan diperlamban.                            

Tiga pelajaran Suu Kyi itulah yang segera teringat oleh saya ketika akhir pekan ini mengikuti proses hujatan terhadap Suu Kyi yang makin bergulir. Menurut hemat saya, membaca dan mendengar cerita Suu Kyi  dengan baik berarti membentuk kesiagaan pada perkembangan politik kita akhir-akhir yang makin mencemaskan.                                   

Jangan-jangan, euphoria reformasi sepeninggal Soeharto sebetulnya merupakan sebuah upacara yang diam-diam kita selenggarakan untuk mengantar munculnya otoritarianisme baru. Saya malah yakin bahwa jika kita gagal membangun publik dan oposisi yang kuat, maka  memang upacara semacam itulah yang sedang kita jalani hari-hari ini.