ARSIP REFLEKSI

(13)
Menghindari
Horor Besar                                              
20 Desember 1998


Kematian adalah sebuah rahasia besar. Setiap orang mesti siap dihampirinya tanpa perjanjian atau pemberitahuan sedikitpun  sebelumnya. Peringatan mengenai soal inilah yang saya terima Jumat dua pekan lalu (11/12/1998).

Pukul 00:05 WIB pada dinihari yang lembab di Bukit Tinggi, Sumatera  Barat, Pertemuan Nasional Majelis Sinergi Kalam (Masika) masih  berlangsung. Kami masih berdiskusi tentang agenda-agenda kerja Masika menghadapi berbagai ketidakpastian selama satu atau beberapa tahun ke depan. Hadi Rustanto Fahmi, aktivis Masika dari Tanjung Priok Jakarta Utara, tiba-tiba saja kejang-kejang, menggelosor dari kursi yang didudukinya. Ia sebelumnya sempat sedikit bicara -- hanya sekali inilah ia bicara selama diskusi yang berjalan cukup panjang sejak  pukul 21:30 WIB.                                                      

Beberapa menit setelah itu, ia dibawa ke rumah sakit. Sekitar pukul 00:20 WIB, Hadi telah wafat meninggalkan rasa kaget yang luar biasa   pada kami semua yang datang dari berbagai daerah di Indonesia untuk  mengikuti simposium dan pertemuan nasional Masika. Di tengah diskusi yang belum selesai mengenai berbagai ketidakpastian hukum, sosial, ekonomi, dan politik tanah air, kami dihenyakkan oleh sebuah  ketidakpastian yang tak terdaftar dalam agenda diskusi kami: Tentang kapan kita akan dipanggil kembali oleh Tuhan tanpa bisa membantah.    

Untuk sebagian, wafatnya Hadi -- ia masih sangat muda, baru 25 tahun, tengah aktif-aktifnya sebagai orang muda yang peduli pada  masalah-masalah bangsanya -- menimbulkan rasa iri pada saya. Ia begitu terhormat dipanggil Tuhan ketika sedang berdiskusi serius mengenai beberapa rencana pekerjaan yang hendak kami bikin untuk kepentingan  sebanyak mungkin orang. Ia bahkan baru saja ikut bicara tentang soal  itu. Namun untuk sebagian sisanya, wafatnya Hadi pasti tidak  diinginkan oleh siapa pun, termasuk saya: Ia pergi tidak di tengah  keluarga yang sangat dicintai dan mencintainya.                       

Kepergian almarhum Hadi Rustanto Fahmi segera mengingatkan saya pada almarhum Soedjatmoko, pemikir besar Indonesia yang sempat dikenal sebagai -- meminjam penggambaran Prof R William Liddle -- "bintang paling cemerlang di langit intelektual Jakarta". Nyaris tepat sembilan tahun lampau, tepatnya 22 Desember 1989, dalam usia hampir 78 tahun, Soedjatmoko wafat ketika sedang berbicara dalam diskusi PPSK Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Kepergian mendadak Soedjatmoko tentu mengejutkan rekan-rekan diskusinya serta dunia intelektual  Indonesia bahkan dunia.                                               

Membandingkan Soedjatmoko dan Hadi tentu sangat bermasalah. Namun saya mencatat sejumlah koinsidensi di situ. Keduanya sama-sama dipanggil Tuhan ketika sedang bediskusi di tengah rekan-rekan intelektualnya.  Jika Soedjatmoko adalah orang Jakarta yang ditakdirkan Tuhan wafat di bekas ibu kota Republik, Yogyakarta; maka Hadi menjadi orang Jakarta yang ditakdirkan wafat di bekas ibu kota Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) -- di bawah pimpinan Mr Sjafruddin Perwiranegara --  Bukit Tinggi.                                                         

Di luar itu ada koinsidensi lain yang bisa dibaca secara lebih  substantif. Soedjatmoko, jika tidak salah, wafat ketika ia sedang  berbicara tentang pembangunan pedesaan. Dalam pembicaraan ini, Soedjatmoko antara lain menyesalkan interupsi yang mengganggu dari  kolonialisme terhadap sistem ekonomi desa. Jika tak ada kolonialisme, tutur Soedjatmoko, ekonomi desa akan berkembang secara sehat tanpa distorsi-distorsi yang membuatnya menjadi begitu bermasalah.          

Sementara itu, Hadi wafat setelah beberapa menit sebelumnya berbicara tentang betapa perlunya forum ukhuwah partai-partai. Forum semacam ini, menurut Hadi, sudah ada di Tanjung Priok. Hadi bahkan mengaku  ikut serta dalam forum itu secara cukup aktif. Forum semacam itu diperlukan lantaran partai-partai yang ada saat ini boleh jadi sangat potensial berkompetisi secara tak dewasa. Mesti ada forum yang menjadi fasilitator bagi perbaikan komunikasi di antara partai-partai -- begitu kira-kira pesan implisit yang disampaikan Hadi. Dalam bahasa saya, Hadi tampaknya ingin mengatakan bahwa Orde Baru telah melakukan interupsi yang mengganggu terhadap sistem kepartaian sehingga menjadi begitu distortif dan mengkhawatirkan seperti terlihat sekarang. Karena itu, sebuah forum ukhuwah di antara mereka amat diperlukan.           

Dengan bobot dan kedalaman yang berbeda, baik Soedjatmoko maupun Hadi wafat setelah sempat meninggalkan pesan penting untuk konteks waktu  kematiannya. Saya ingin menghormati almarhum Hadi -- semoga diterima  amal ibadahnya serta diampuni segala dosanya; dan ditabahkan keluarga yang ditinggalkannya (Amien) -- dengan melanjutkan pesan yang disampaikan Hadi secara lebih rinci dan operasional.                  

Dalam paruh akhir tahun 1998, Indonesia telah menjadi bangsa yang gagap dan kikuk menghadapi perubahan politik besar, tiba-tiba, dan dramatis sepeninggal Soeharto. Dari balik kegagapan dan kekikukan itulah muncul partai-partai politik bak cendawan di musim hujan. Sampai dengan minggu ketiga Desember, telah ada 119 partai politik. Artinya, selama Juni-Desember telah muncul 4-5 partai politik baru setiap pekannya.                                                      

Untuk sebagian, tumbuhnya partai politik adalah berita baik. Telah terlampau lama memang masyarakat tidak diberi keleluasaan berpolitik melalui partai. Jumlah partai dipasung pada angka tiga semenjak kebijakan fusi partai 1973. Kehidupan partai politik di masa Orde Baru pun dikontekstualisasikan ke dalam "politik penyeragaman" yang  dijalankan Soeharto.                                                  

Konsekuensi terpenting dari politik penyeragaman dalam kehidupan kepartaian adalah tidak terbangunnya tradisi untuk berbeda,  berkompetisi secara dewasa, serta menjadi pemenang atau pecundang yang baik. Para pelaku politik Orde Baru telah dibikin untuk terus-menerus berkarakter kanak-kanak. Pemilu 1999 akan kita jalani di tengah sistem kepartaian yang kanak-kanak itu. Maka sulit membayangkan Pemilu 1999  akan berjalan seelegan Pemilu 1955.                                   

Menurut laporan almarhum Dr Alfian, Pemilu 1955 diikuti oleh 172 gambar di seluruh Indonesia. Jumlah tanda gambar terbanyak antara lain ada di Jawa Tengah sebanyak 58. Sementara jumlah terkecil antara lain ada di Kalimantan Timur sebanyak 12. Tak pelak lagi, Pemilu 1955 diadakan dalam iklim multipartai yang amat hiruk pikuk.

Namun sejarah mencatat bahwa Pemilu 1955 tidak dikotori oleh kerusuhan maupun korban jiwa. Mengapa demikian? Jawabannya, menurut hemat saya, adalah lantaran Pemilu 1955 dilaksanakan setelah selama sepuluh tahun  sebelumnya -- antara November 1945 ketika Wakil Presiden Mohammad Hatta mengeluarkan Maklumat No X yang membolehkan pendirian partai-partai sampai dengan September 1955 ketika Pemilu 1955 dilaksanakan -- masyarakat telah dibiasakan hidup dengan tradisi berbeda secara sehat, berkompetisi secara dewasa, serta belajar menjadi pemenang dan pecundang yang baik.                                     

Dalam konteks itu, wajarlah jika R William Liddle -- guru besar dari Ohio State University -- terpesona. Bill Liddle mencatat betapa Pemilu 1955 di Simalungun ditandai oleh kompetisi antarpartai yang sengit. Namun semuanya berjalan baik. Bahkan Bill Liddle menemukan  parlemen lokal hasil Pemilu 1955 itu diisi oleh orang-orang dari beragam partai yang pandai membangun kompromi dan konsensus.

Pemilu 1999 sulit dibayangkan bisa berjalan seelegan itu. Semenjak Soekarno mulai membangun Demokrasi Terpimpin (1957), tradisi untuk  berbeda, berkompetisi, serta menjadi pemenang dan pecundang yang baik telah dibunuh oleh sistem politik. Pemilu 1999 diadakan di tengah suasana ketiadaan tradisi-tradisi demokratis itu.                     

Karena itulah, ajakan almarhum Hadi menjadi sangat relevan. Di tengah kesibukan banyak orang berlomba mendirikan partai-partai perlu ada  orang yang melakukan penyadaran politik terhadap partai-partai serta  penyadaran politik terhadap pemilih. Perlu ada orang - bahkan institusi-institusi khusus -- yang mengingatkan betapa berbahayanya  memanjakan karakter-karakter politik yang kanak-kanak dalam Pemilu 1999.                                                                 

Saya setuju dengan almarhum Hadi bahwa perlu ada forum ukhuwah partai-partai politik. Dengan forum inilah kita menghindarkan kemungkinan Pemilu 1999 berubah menjadi horor besar buat bangsa ini.