ARSIP REFLEKSI

(14)
Tim Sebelas
31 Januari 1999


Arsip Berita:


DUA PEKAN SEBELUM lebaran saya dihubungi Dr Andi A Mallarangeng. Kawan saya ini bercerita bahwa di lingkungan Depdagri sedang berkembang gagasan untuk membentuk Lembaga Pemilihan Umum (LPU) Transisi. Bahkan sedang ada upaya untuk memasukkan klausul mengenai itu ke dalam pembahasan RUU Politik yang sedang gencar dilakukan DPR. Latar belakang pembentukan LPU Transisi itu, menurut Andi, adalah kesadaran bahwa LPU yang ada saat ini -- lantaran struktur organisasi dan mekanisme kerjanya diatur berdasarkan UU dan aturan lama produk Orde Baru -- adalah lembaga yang (akan) bermasalah, setidaknya dari sisi kredibilitas dan legitimasi. Karena itu, sebuah LPU Transisi dibutuhkan untuk "mengambil alih" fungsi-fungsi LPU warisan Orde Baru itu.

Lalu, masuklah Andi ke buntut pembicaraan. Untuk menegaskan dirinya sebagai sebuah institusi transisional yang kredibel dan efektif, maka keanggotaan LPU Transisi itu mesti diisi oleh orang-orang yang relatif independen alias non-partisan dan memiliki kompetensi-minimal untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan LPU sampai terbentuknya Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diatur UU Politik baru. Nama saya, kata Andi, termasuk yang disebut-sebut sebagai nominator anggota lembaga itu.

Jawaban saya waktu itu: Saya menyambut positif gagasan LPU Transisi itu tetapi cenderung menolak untuk duduk di dalamnya. Menurut saya, sebuah LPU Transisi -- yang anggotanya datang dari wakil-wakil masyarakat non-partisan, masih memiliki suara jernih di tengah samudera kerancuan yang tengah menghampar, serta punya komitmen untuk mendesak agar Pemilu 1999 dilakukan sedemokratis mungkin -- memang dibutuhkaan.

Pertama, adanya LPU Transisi mengurangi berfungsi dan bekerjanya LPU sebagai salah satu institusi lama warisan Orde Baru. Sebagaimana kita mafhum, LPU a la Orde Baru adalah lembaga yang amat bermasalah: Diketuai Mendagri; didampingi oleh para menteri lain -- yang nota bene fungsionaris Golkar -- sebagai para ketua; diisi para anggota yang tidak representatif dari sisi kepentingan-kepentingan di luar rezim. Karena itu, menurut hemat saya, daripada menyokong masih bekerjanya lembaga semacam itu, akan lebih baik jika fungsi-fungsi LPU diserahkan saja kepada lembaga yang lebih independen dan tidak memiliki tendensi untuk mendukung rezim yang sedang berkuasa atau membajak proses reformasi ke arah rekonsolidasi otoritarianisme.

Kedua, setelah disahkannya UU Politik baru -- yang masih dipenuhi banyak masalah serta menuai ketidakpuasan dan kritik itu -- masih tersedia satu setengah pekerjaan lagi untuk menyiapkan pemilu yang (se)demokratis (mungkin). Setengah pekerjaan tersisa dalam dimensi hukum pemilu (electoral law), yakni membuat aturan-aturan rinci dalam bentuk petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis penyelenggaraan semua tahapan pemilu. Satu pekerjaan tersisa dalam dimensi proses pemilu (electoral process), yakni menjalani tahap demi tahap pelaksaan pemilu yang demokratis dengan kekerasan seminimal mungkin.

Terus terang saya khawatir bahwa satu setengah pekerjaan ini akan diliputi suasana dan didasari paradigma Orde Baru yang kental sebagaimana halnya pembahasan RUU Politik di DPR. Dalam kerangka ini, sangat diperlukan adanya sebuah LPU Transisi yang sedikitnya bisa memberikan jaminan bahwa sebelum KPU terbentuk pengelolaan persiapan pemilu dilakukan oleh institusi yang kredibel dan memang memihak reformasi total. LPU Transisi mestinya diletakkan dalam konteks ini.

Ketiga, sebelum pelaksanaan kampanye dan pemungutan suara - dua prosesi puncak Pemilu 1999 -- ada sebuah prosesi yang sangat krusial: Pendaftaran dan penetapan partai-partai peserta pemilu. Semenjak Soeharto jatuh, partai-partai politik berdiri bak cendawan di musim hujan. Delapan bulan setelah kejatuhan Soeharto itu, sudah berdiri lebih dari 130 partai politik.

Sejauh ini hanya Partai Seni dan Dagelan Indonesia (Persendi) yang sudah membuat pernyataan -- dalam pertemuan partai-partai di UGM Yogyakarta beberapa bulan lampau -- tidak memikirkan pemilu. Umumnya partai-partai itu diliputi oleh suasana kerinduan berpartai dan semangat meluap-luap untuk ikut pemilu. Ketika partai-partai ini menemukan dirinya tidak masuk kualifikasi partai politik yang boleh ikut serta pemilu, maka niscaya mereka akan sangat kecewa dan boleh jadi marah.

Karena itu ada kebutuhan untuk mengelola kekecewaan dan kemaraahan itu menjadi energi positif bagi transisi menuju demokrasi. Setelah UU Politik tersusun, kebutuhan tersebut hanya mungkin terpenuhi jika ada proses penelitian yang cermat dan kredibel untuk menetapkan partai-partai mana saja yang memenuhi kualifikasi. LPU Transisi -- sejauh keanggotaannya bersih dari tendensi pro-otoritarianisme atau status quo -- mestinya lebih bisa diharapkan untuk melakukan penelitian semacam itu ketimbang LPU.

Berdasarkan alasan-alasan itulah saya mendukung gagasan LPU Transisi. Tetapi, terus terang saya merasa lebih senang tidak berada di dalamnya lantaran beberapa alasan. Saya lebih senang melanjutkan kegiatan diskusi keliling ke berbagai kota untuk ikut merealisasikan agenda membangun publik dan oposisi di sebanyak mungkin kantong politik. Saya tidak sependapat dengan banyak isi UU Politik baru. Saya khawatir bahwa dalam pelaksanaannya LPU Transisi hanya dijadikan semacam tim asistensi yang instrumental atau menjadi bumper bagi pemerintah Habibie.

Ketika tulisan ini dibuat, LPU Transisi tengah menjadi bahan perbincangan publik yang luas. Nama LPU Transisi sangat jarang disebut dan publik diskusi lebih senang menyebutnya dengan "Tim Sebelas" karena anggotanya sebelas orang: Prof Nurcholish Madjid, Prof Miriam Budiardjo, Adnan Buyung Nasution, Afan Gaffar, Adi Andojo, Kastorius  Sinaga, Mulyana W Kusumah, Andi A Mallarangeng, Anas Urbaningrum, Rama Pratama, plus saya sendiri.

Saya sendiri akhirnya telah menyatakan kesediaan untuk bergabung ke dalam Tim Sebelas itu. Ada tiga pertimbangan di balik kesediaan ini. Pertama, pada akhirnya siapapun yang mengaku warga negara Indonesia tidak bisa memakai logika penonton menghadapi agenda Pemilu 1999 yang sangat menentukan masa depan Indonesia. Kedua, menjadi anggota Tim Sebelas berarti ikut serta mempersiapkan pembuatan draf aturan-aturan operasional untuk pemilu -- berbentuk juklak dan juknis -- yang akan dijadikan produk hukum KPU. Di sini terbuka peluang untuk ikut mengkondisikan Pemilu 1999 yang sedemokratis mungkin dengan peluang bagi praktik kekerasan yang seminimal mungkin. Ketiga, ada komitmen Depdagri bahwa jika Tim Sebelas tidak diterima publik yang luas dengan argumentasi rasional dan non-emosional, maka ia boleh membubarkan diri.

Saya tahu, selain daftar pekerjaan yang sangat banyak dan waktu kerja yang sangat terbatas -- satu hingga satu setengah bulan -- tantangan terbesar bagi Tim Sebelas adalah kepercayaan publik. Dan saya tahu, tidak ada kekuatan yang bisa memaksakan tumbuh atau hancurnya kepercayaan publik ini. Namun demikian, alangkah indahnya jika seluruh prosesi menuju Pemilu 1999 kita lewati dengan diskusi publik yang jernih, rasional, dan tanggap pada aspirasi orang banyak. Pembahasan RUU Politik di DPR telah berjalan di tengah kurangnya suasana diskusi publik semacam itu. Wacana Tim Sebelas seyogianya tidak mengulang kekeliruan serupa.