ARSIP REFLEKSI

(15)
Tentang Premanisme
21 Februari 1999


Apa kiranya yang tersisa dari ingar-bingar perkembangan politik  kita sejak awal tahun lampau? Salah satu jawabannya adalah premanisme. Terhitung sejak gelombang demonstrasi mahasiswa Januari-Februari 1998 hingga ke saat-saat menjelang pemilu saat ini, politik kita mengalami sirkulasi pelaku utama secara dramatis: Dari daulat negara ke daulat massa dan belakangan menggejala ke daulat para preman. Boleh jadi penggambaran sirkulasi pelaku utama politik itu terkesan terlampau didramatisasi. Namun sebetulnya, tidak juga. Setidaknya, kemunculan preman sebagai faktor dan aktor politik baru dikonfirmasikan oleh naik pangkatnya kosa kata preman dalam diskusi publik. Dulu, preman hanya menjadi bahan diskusi kriminalitas. Saat ini, di tengah zaman yang berubah cepat, preman menjadi bahan diskusi politik.                                                              

Maka layaklah sebuah pertanyaan krusial diajukan: Seberapa penting dan gentingkah sebetulnya kemunculan politik preman yang menjadikan para preman sebagai faktor dan aktor politik baru itu? Adakah ini benar-benar sebuah gejala baru ataukah kelanjutan atau penegasan ulang saja dari gejala masa lampau?                                         

Arti penting dan genting dari politik preman dapat dilihat dari dua level berbeda: preman sebagai aktor atau preman sebagai sebuah cara. Jika level pertama menunjuk pada komunitas para preman, maka level kedua menunjuk pada premanisme.                                       

Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke-2 yang diterbitkan Balai Pustaka (1993) memberi arti preman dalam level pertama. Kamus ini menaruh "preman" dalam dua entri: (1) preman dalam arti partikelir, bukan tentara atau sipil, kepunyaan sendiri; dan (2) preman sebagai sebutan kepada orang jahat (penodong, perampok, dan lain-lain). Dalam level kedua, yakni sebagai cara kerja, preman sebetulnya bisa menjadi identitas siapapun. Seseorang atau sekelompok orang bisa diberi label preman ketika ia melakukan kejahatan (politik, ekonomi, sosial) tanpa beban. Di sini, preman merupakan sebuah tendensi tindakan amoral yang dijalani tanpa beban moral. Maka premanisme di sini merupakan tendensi untuk merebut hak orang lain bahkan hak publik sambil mempertontonkan kegagahan yang menakutkan.                     

Baik dalam level pertama maupun kedua, preman sebetulnya bukan pendatang baru. Para penodong, perampok, penjahat, telah lama menjadi variabel politik penting. Terlebih-lebih, premanisme yang dibungkus dengan kegagahan.                                                     

Dalam konteks itu, Orde Baru bahkan dapat disebut sebagai sistem politik yang memanjakan premanisme. Praktik penjarahan hak-hak rakyat kerapkali dilakukan atas nama pembangunan dengan gagah dan menakutkan. Karena itu, premanisme yang berkembang belakangan ini dalam banyak kasus kerusuhan dan kriminalitas sebetulnya merupakan bayi yang lahir dari ibu kandungnya sendiri.                                          

Maka, secara sosiologi politik, premanisme itu bukanlah anak haram dari Orde Baru. Karena itulah, menjadi mudah dimengerti jika para preman -- yang merasa anak kandung sejarah itu -- memiliki nyali yang besar seperti mereka tunjukkan belakangan ini. Bahkan dalam Pemilu 1997 yang lampau di beberapa tempat di Jakarta ditemukan poster-poster yang mulai mempertontonkan nyali politik besar para preman. Di Jakarta Selatan, di dekat Ciputat, misalnya, sebuah poster menantang merepresentasikan penegasan diri para preman. "Siapa yang mendengar   aspirasi kami para preman, gali, bromocorah?" begitu bunyi lantang poster itu.                                                           

Pengaitan premanisme Orde Baru dan maraknya premanisme saat ini pun bisa dilakukan sambil mengingat Ronggowarsito. Dalam salah satu bait Zaman Edan, Ronggowarsito menggambarkan:                        

    Di saat zaman terkena bencana                                  
    kerendahan budi merajalela                                        
    kekacauan di berbagai tempat                                      
    niat menyimpang dan berbuat jahat                                 
    kelurusan hati tak lagi terlihat.


Satu bait Zaman Edan-nya Ronggowarsito itu merupakan cermin yang sangat jernih tentang Indonesia hari-hari ini. Kekacauan merebak di mana-mana; dan kerendahan budi dengan gampang kita temukan di baliknya.                                                             
Lalu, di manakah premanisme semacam itu berakar? Pertama, premanisme bersumber dari naluri hewaniah manusia. Seperti pernah diingatkan Thomas Hobes, seorang filsuf politik, setiap manusia pada  hakikatnya memiliki naluri memangsa manusia lain dengan rasa gagah, tanpa perasaan berdosa.                                               
Kedua, di berbagai tempat premanisme juga ditumbuhkan oleh kepengapan sosial. Dalam suasana pengap ini, manusia akan kehilangan pengendalian diri dan terjebak pada kerendahan budi. Sebuah studi antropologi yang dilakukan Lola Romanucci-Ross menggambarkan gejala itu. Dalam Conflict, Violence, and Morality in A Mexican Village (1973), Lola menggambarkan bahwa dalam komunitas yang pengap secara sosial, moralitas kerapkali menjadi tumpul dan perilaku kekerasan yang terkendali menjadi seolah-olah absah.                                 
Ketiga, dengan --lagi-lagi -- mengingat Lola, premanisme akan makin tumbuh subur dalam iklim permisivitas moral. Ketika moralitas dianggap tidak relevan secara sosial; dan orang seolah dibolehkan untuk melakukan apapun atas nama apapun; maka premanisme akan menjadi candu dalam masyarakat. Ia seolah sebuah kenikmatan yang rutin namun sebetulnya merupakan penimbunan sumber-sumber kehancuran sosial.
Keempat, ketika institusi yang bisa menjamin kepastian telah kehilangan kredibilitasnya, maka premanisme akan menjadi jamur yang menemukan musim hujan. Dalam kasus-kasus  di sejumlah negara Amerika Latin dan Afrika pun, premanisme menjadi gejala di tengah ketidakpastian yang terlampau panjang dan tak berujung.               
Adalah celaka bahwa keempat akar premanisme itulah yang justru dipupuk dan ditumbuhkan sepanjang Orde Baru. Dari atas tumbuh-tumbuhan semacam itulah lalu bermunculan praktik-praktik premanisme belakangan ini sebagai buahnya. Maka dalam jangka pendek, premanisme sepertinya akan  mirip seperti pelacuran: Musuh retorik masyarakat, namun sulit dimatikan lantaran masyarakat sendiri ikut memeliharanya diam-diam.   
Dalam konteks itu, pemberantasan premanisme jelas merupakan program jangka panjang yang tidak gampang. Dan realisasi program ini akan semakin alot manakala pasca-Soeharto kita justru asyik dengan retorika-retorika politik baru namun abai pada penciptaan sistem baru yang berpihak pada moralitas dan pembentukan ruang sosial yang lapang. Premanisme tak akan bisa dibabat habis dengan premanisme. Premanisme hanya akan terbabat oleh moralitas baru yang menyejahterakan.