ARSIP REFLEKSI

(16)
Luka Ambon,
Luka Kita
14 Maret 1999


Hati saya tersayat melihat sebuah adegan di televisi pekan lampau. Setelah menyorot kota Ambon yang luluh lantak, kamera menyorot seorang gadis kecil -- sekitar sembilan atau sepuluh tahun -- dengan  wajah agak berkeringat dan lelah. Mata dan ekspresi wajahnya memancarkan ketakutan, bahkan semacam luka, yang sulit disembunyikan. Dengan agak parau gadis kecil itu berkata lirih: "Saya ingin kembali seperti dulu dan bisa sekolah lagi."                                  
Siapa pun tahu, gadis kecil itu tak sendirian. Ada banyak orang -- dewasa dan anak-anak, laki-laki dan perempuan, Islam maupun Kristen atau Katolik, pendatang atau penduduk asli -- yang telah kehilangan hari-hari indahnya di Ambon. Namun penampilan dan harapan gadis kecil di layar televisi itu terasa jauh lebih menyayat.                     
Gadis kecil itu adalah satu dari ribuan kanak-kanak yang tidak bisa lagi bermain dengan teman-teman sebaya mereka. Mereka kehilangan kesempatan bersekolah. Ketika sedang dalam tahap pertumbuhan yang membutuhkan ruang sosial yang lapang, mereka kehilangan semua yang mereka butuhkan itu, bahkan hanya sekadar untuk hidup dengan tenang.  Mereka bahkan kehilangan ruang masa depan dan mimpi-mimpi mereka. Dan alangkah sangat menyedihkan membayangkan betapa hari-hari ini mereka tengah ditempa sebagai generasi pengidap luka, trauma, dan  jangan-jangan dendam yang boleh jadi berkepanjangan.                  
Semua gambaran kelam di atas adalah semacam penggarisbawahan bahwa Ambon sebetulnya bukan sekadar monumen kerukunan beragama yang roboh luluh lantak. Lebih dari itu, Ambon hari-hari ini adalah cerita tentang monumen kemanusiaan yang sekarat, menjelang binasa.                   
Semenjak bulan Ramadhan, Ambon telah mulai diganggu oleh potensi letupan-letupan kerusuhan. Dalam bentuk ledakan besar, kerusuhan meletup pertama pada Idul Fitri Berdarah, 19 Januari 1999. Semenjak itu, Ambon menjadi kota yang dikoyak-koyak rusuh demi rusuh. Kerusuhan bahkan meluas ke beberapa wilayah lain di propinsi Maluku seperti Pulau Seram (3/2/99), Pulau Haruku (18/2/99), dan Saparua (22/2/99).  
Sampai dengan hari ini, 45 hari setelah Idul Fitri Berdarah, kota Ambon masih terus bergolak. Daftar statistik tentang jumlah rusuh, bentrokan, kerusakan bangunan, puing-puing, rumah-ruman ibadah yang dibakar, korban luka, dan korban jiwa, terus bertambah panjang. Di  balik itu, ada satu jenis korban yang tingkat kegawatannya tidak banyak tergantung pada angka statistik tadi: korban kemanusiaan.      
Korban kemanusiaan adalah jenis korban yang tak cukup dideteksi melalui gejala fisik: nyawa, tubuh, bangunan, atau sejenisnya. Korban kemanusiaan adalah sayatan luka yang tertanam di hati, perasaan, dan  dan mental. Inilah jenis korban terbesar yang terus berguguran dari setiap kerusuhan.                                                     
Ketika korban-korban kemanusiaan di satu tempat, semacam Ambon, dijumlah maka yang muncul adalah cerita tentang rusaknya sebuah tatanan sosial. Yang hancur bukan hanya kerukunan lintaskelompok melainkan juga sekadar tertib hidup sehari-hari, rutin, yang sangat biasa.                                                                
Jika mesti mengingat soal korban kemanusiaan dan kerusakan tatanan sosial itu, saya menjadi teringat seorang kawan di Banyuwangi, Aguk Wahyu Nuryadi. Kawan ini adalah koordinator Bagiak, sebuah organisasi non-pemerintah yang didirikan Aguk dan kawan-kawan untuk mengelola persoalan korban kemanusiaan dan kerusakan tatanan sosial di Banyuwangi selama dan setelah geger pembunuhan "dukun santet" beberapa waktu lalu.
Dalam sebuah pertemuan di Surabaya, ketika kasus Banyuwangi masih sedang panas-panasnya, saya memperoleh banyak cerita dari Aguk. Lantaran geger pembunuhan "dukun santet", kata Aguk, Banyuwangi telah menjadi sebuah komunitas yang sangat berbeda. Kerukunan, rasa aman, saling percaya, saling hormat, yang dulu menjadi salah satu identitas Banyuwangi, sekarang sudah hampir tak bersisa.                        
Yang dihasilkan oleh rusuh Banyuwangi, tutur Aguk dengan getir, bukan hanya hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap aparatur keamanan dan pemerintah, melainkan juga semua karakter sosial yang dulu pernah ada di Banyuwangi dan dibanggakan warganya. Rusuh Banyuwangi telah menjadikan masyarakat Banyuwangi sebagai warga dari sebuah kota yang mengalami proses pembinasaan kemanusiaan.                             
Dengan kesedihan mendalam, saya membayangkan Ambon sebagai kota yang tengah mengalami proses serupa. Korban kemanusiaan yang terus bertambah tanpa terkendali telah mengakibatkan Ambon mengalami pengrusakan tatanan sosial yang sistematis, sebagaimana Banyuwangi telah mengalaminya. Dan pada titik inilah keprihatinan dan perhatian tertinggi mestinya kita berikan kepada Ambon.                         
Berbeda dengan kasus Banyuwangi, kasus Ambon tampaknya akan melibatkan faktor lain yang juga menguras energi prihatin dan membetot perhatian. Rusuh demi rusuh di Ambon saat ini makin berkembang secara tegas ke arah konflik antaragama. Kita sangat sulit memahami kasus Ambon sekarang ini hanya dengan menghitung variabel politik atau sosial yang umumnya ada di belakang kerusuhan di Indonesia. Dalam kasus Ambon --  diakui atau tidak -- faktor agama makin menguat sebagai faktor utama, tak sekadar sekunder atau pelapis permukaan.                          
Bagi saya, itu sungguh mencemaskan. Agama adalah sentimen primordial yang paling kuat di Indonesia. Fakta tentang ini tak hanya ada di Ambon melainkan juga di seluruh pelosok Indonesia lainnya hampir tanpa kecuali. Karena itu, ketika agama telah menjadi variabel primer, maka konflik Ambon bisa menjadi konflik yang meluas dengan cepat.          
Faktor agama bisa menjadikan "ketampakan konflik" (yakni postur  konflik di mata publik) menjadi jelas dan konkret bagi semua orang -- khsusunya umat yang seagama dengan orang-orang yang terlibat konflik secara langsung di Ambon. Faktor agama bisa menjadikan "intensitas konflik" (yakni perasaan terlibat publik di luar masyarakat yang berkonflik) dengan cepat meninggi. Faktor agama akhirnya membuat "luas konflik" (yakni cakupan wilayah konflik) dengan segera membesar tanpa terkendali.                                                           
Menyadari hal-hal di atas -- korban kemanusiaan, kerusakan tatanan sosial, dan potensi pembesaran-pendalaman konflik - mestinya ditindaklanjuti dengan pengambilan langkah-langkah amat serius untuk menangani Ambon. Menyangkut Ambon, saya kira sudah saatnya kita berhenti membuat "analisis peristiwa" atau mencari "teori kerusuhan".
Perhatian kita mestinya ditujukan langsung ke upaya menghindari  jatuhnya korban kemanusiaan yang makin banyak, menghentikan makin seriusnya kerusakan tatanan sosial, serta menghentikan laju perluasan konflik. Dalam konteks ini, ada satu soal besar yang hingga hari-hari ini masih kita lupakan: mengintegrasikan semua pihak yang terlibat dalam upaya pemecahan masalah Ambon ke dalam sebuah "jaringan kemanusiaan".                                                         

Selama ini, masing-masing pihak mempertahankan egoismenya atau kepentingan kelompoknya. Tokoh-tokoh berbicara saling berbalas pantun tanpa perasaan berdosa. Mereka semua hendaknya mulai menyatukan langkah dengan saling berpegang tangan di bawah satu alasan: penyelamatan kemanusiaan.                                     
Tanpa upaya itu, saya khawatir, soal Ambon akan makin berlarut-larut. Dan jika ini yang terjadi, betapa berdosa kita semua. Kita tidak bisa  membiarkan setiap hari luka-luka sejarah, trauma, dan dendam ditumbuh-suburkan di Ambon -- dan di manapun di bumi ini.