ARSIP REFLEKSI

(18)
Demokrasi
di Tangan Anda
6 Juni 1999


Beberapa kali saya ''terjebak'' di tengah massa dalam hari-hari terakhir kampanye Pemilu 1999 yang baru usai, selalu saja saya disergap semacam rasa haru. Begitu banyak orang yang ternyata antusias ikut serta kampanye, mengisi pemilu demokratis pertama setelah Pemilu 1955.                                                                 
Saya memang tak tahu persis berapa banyak di antara mereka yang sebetulnya peserta kampanye bayaran. Tapi saya yakin bahwa jauh lebih besar jumlah orang yang turut berkampanye secara tulus ikhlas ketimbang yang tergerak oleh upah puluhan ribu. Jauh lebih banyak orang ikut berkampanye lantaran dukungannya untuk partai ketimbang mencari nafkah.                                                       
Berkali-kali saya terharu melihat banyak pasangan muda membawa motor mereka, ''menjepit'' anaknya yang masih kecil di tengah-tengah, berkampanye dengan penuh semangat. Benar bahwa pengikutsertaan anak-anak di situ bisa dipersoalkan sebagai bentuk pendidikan politik yang keliru, namun saya maklum bahwa boleh jadi keluarga muda itu tak punya pilihan lain selain membawa anaknya serta. Mereka boleh jadi tak berpembantu dan tak mungkin meninggalkan anaknya yang masih kecil di rumah sendirian -- atau pasti ada situasi-situasi lain semacam itu. Melihat kesungguhan pasangan-pasangan muda itu, saya lebih percaya bahwa mereka berkampanye dengan ikhlas.                               
Saya juga terharu karena di tengah massa, saya tak lagi merasa  terancam. Bahkan ketika di daerah Warung Jati Pasar Minggu Jakarta Selatan saya dicegat secara sengaja oleh sebuah sepeda motor peserta kampanye dan dengan jelas saya melihat sang pemuda yang berwajah garang itu ternyata menyelipkan minuman keras di sela-sela ikat pinggangnya, saya tetap merasa aman dan tak terancam. Berkali-kali saya tidak membalas teriakan atau acungan tangan para peserta kampanye, dan saya tidak terkena risiko apapun.                       
Saya ''menikmati'' suasana kampanye di tengah massa partai-partai yang sama sekali lain dengan suasana kampanye-kampanye sebelum ini. Masih lekat dalam ingatan saya betapa ketar-ketir, was-was, tak nyaman, dan merasa terancamnya saya di tengah massa serupa itu dalam kampanye Pemilu 1997 dan 1992. Dalam Pemilu 1992, setiap orang yang terjebak dalam kepungan massa akan terkena teror standar: dimintai uang dan dipaksa menjawab yel yang diteriakkan massa. Dalam Pemilu 1997, situasi semacam itu pula yang lagi-lagi dihadapi siapapun di tengah massa.                                                                
Dalam Pemilu 1992 dan 1997, kampanye berubah menjadi sebuah prosesi teror terhadap publik yang dilegalkan. Selama kampanye, orang seolah-olah dibiarkan menjadi teroris secara gagah. Jalanan lalu  menjadi sepi. Suasana hiruk-pikuk di jalanan identik dengan ketidakdamaian di hati banyak sekali orang yang ''bersembunyi'' di rumah dan perkantoran. Keterkecaman dan kecemasan menjadi isi lubuk hati publik yang sesungguhnya di tengah suasana ingar-bingar penuh teriakan, deruman kendaraan, dan terompet.                            
Sisa-sisa ketercekaman dan kecemasan publik semacam itu memang belum hilang di tengah prosesi kampanye Pemilu 1999. Namun saya sendiri merasakan sesuatu yang sangat berbeda. Ada ketulusan dan keikhlasan yang saya saksikan pada wajah-wajah umumnya peserta kampanye.                                                             
Saya terharu karena ledakan kekerasan berbasis massa yang menurut para peramal -- baik yang berlabel paranormal maupun pengamat politik -- akan meledak di mana-mana ternyata sangat terkendali. Memang ada beberapa ledakan, namun jumlah dan kualitasnya jauh di bawah ramalan. Bahkan banyak partai yang mengadakan kampanye bersama atau saling sapa tanpa permusuhan di jalanan. Berkali-kali saya menemukan kejadian saling sapa dan pertukaran yel yang akrab antarpendukung partai.      
Di tengah massa kampanye saya menemukan Indonesia yang kelihatannya  bersiap-siap menuju masa depan. Indonesia yang sangat bersemangat. Indonesia yang bergemuruh dengan harapan-harapan baru. Indonesia yang menjanjikan. Indonesia -- tanah tumpah darah yang sangat saya cintai -- yang sangat antusias dengan perubahan dari gelap menuju benderang.
Terus terang saja, di depan setir, di tengah jalanan Jakarta, beberapa kali saya hampir menangis terharu menyaksikan Indonesia yang sangat bersemangat itu. Saya sangat ingin meneriakkan: Selamat datang demokrasi.                                             
Namun segera saya simpan dalam hati teriakan itu. Saya tahu demokrasi tak akan diraih dengan mudah. Tak ada jalan lempang dan mulus menuju demokrasi. Demokrasi pasti harus dicapai dengan keringat. Tidak ada yang cepat, mudah, dan pasti dengan proses demokratisasi. Masih sangat banyak kemungkinan penelikungan, pembajakan, dan pembelokan arah.     
Dan menurut hemat saya, selamat atau tidaknya proses demokratisasi itu tergantung pada para pelaku utamanya. Dia bukan Amien Rais. Bukan Gus Dur. Bukan Megawati. Bukan tokoh-tokoh elite yang namanya selalu menghias media massa. Pelaku utama demokrasi adalah rakyat yang tak bernama, orang per orang yang tak pernah dikutip koran, penduduk yang setiap hari bergelut dengan keseharian mereka dengan segenap kesederhanaannya.                                                     
Pelaku utama demokrasi adalah kita semua, setiap orang yang selalu diatasnamakan namun tak pernah ikut menentukan. Menjaga proses demokratisasi adalah memahami secara benar hak-hak yang kita miliki, menjaga hak-hak itu agar siapapun menghormatinya, melawan siapapun yang berusaha melanggar hak-hak itu. Menjaga proses demokratisasi adalah menyatakan sikap secara rasional dan matang sambil ikhlas menerima orang dengan sikap yang berbeda. Pemilu adalah salah satu wahana saja untuk melakukan penjagaan proses demokratisasi itu.       
Kita mesti mengakhiri kekeliruan anggapan bahwa pelaku utama demokrasi adalah segelintir orang di istana, di gedung parlemen, di kantor-kantor tentara, dan di tempat-tempat terbatas dan sempit lainnya. Kita mesti mulai membentuk cara berpikir baru bahwa pelaku utama demokrasi adalah kita sendiri. Anda. Semua orang.               
Hanya dengan cara berpikir itu Indonesia yang gemilang bakal kita raih. Dan saya yakin tak ada satupun orang Indonesia yang merindukan  kegelapan. Semua kita menggapai hari-hari terang benderang. Seberapa berhasil itu? Sepenuhnya di tangan Anda.