ARSIP REFLEKSI

(19)
Otonomi
27 Juni 1999



Menikmati matahari terbit ketika kapal ferry kami merapat di Pelabuhan Pototano (Sumbawa) setelah berlayar selama satu setengah jam dari Pelabuhan Kayangan (Lombok), adalah saat yang benar-benar indah  bagi saya. Di tengah langit cerah yang teduh, kapal merapat makin  mendekat ke gundukan pulau yang dikepung bukit. Di sana-sini terlihat gundukan dalam jarak yang berdekatan dipisah-pisah oleh lekukan teluk. Saya cepat berpikir bahwa Tuhan itu ada-ada saja. Mbok ya bikin pantai yang lurus saja, eh malah membuat pantai yang lekuk-likunya melebihi keindahan ukiran Bali.                       
Selebihnya, menyusuri Lombok dan Sumbawa dengan berkendaraan darat  memang betul-betul pengalaman yang amat mengesankan buat saya. Saya pikir keterlaluan jika orang-orang di Pulau Lombok dan pulau Sumbawa  tak bersyukur. Mereka mesti bersyukur pada Tuhan yang telah memberi mereka alam yang indah  yang dengan sedikit polesan tangan manusia saja bisa disulap menjadi  surga wisata yang bikin betah.                                        
Pulau Sumbawa misalnya, ternyata begitu kaya dengan teluk. Banyak pantai di sana -- yang dengan gampang bisa ditemui siapa pun yang berkendaraan darat sambil melek -- yang terkurung oleh bukit berhutan lebat sehingga teramankan dari ombak laut yang besar. Pantai-pantai  itu hampir tak berombak sama sekali, seolah-olah sebuah danau besar, bahkan semacam kolam renang mahaluas.                
Tetapi di mana-mana saya juga menemukan kontras yang menyakitkan. Di sekitar Senggigi, Lombok, misalnya, wisata berkembang bergemuruh   menggemerincingkan dolar di kantong-kantong keramaian yang makin mirip  Kuta, Bali. Namun saya temukan di pinggiran jalan rumah-rumah penduduk yang amat memprihatinkan. Benar mereka tinggal di sekitar lokasi   wisata yang mulai terkenal di dunia, terkenal di mana-mana, tapi harkat hidup mereka sama sekali tak sepadan. Maka dengan jejeran perkampungan kotor dan miskin di pinggir-pinggirnya, jalanan sepanjang Mataram-Senggigi-Pelabuhan Bangsal - Gili Trawangan, menjadi rute yang penuh ironi.                  
Secara umum, keindahan Lombok, Sumbawa dan juga Kupang (yang saya datangi belakangan) juga mewartakan kontras yang lain. Wilayah timur  Indonesia jelas sangat tertinggal dibanding barat. Sulit menemukan fasilitas publik yang memadai apalagi berlebih seperti halnya di Indonesia Barat, terutama di Jawa, dan lebih terutama di Jakarta. Mahasiswa di Universitas Nusa Cendana, Kupang, misalnya, harus membangun kualitas akademik-intelektual mereka di bawah keterbatasan dan ketertinggalan fasilitas pendidikan dibanding kawan-kawannya di  Jawa.                                                                 
Saya jadi teringat safari yang cukup panjang yang tanpa sengaja sempat saya lakukan dalam beberapa bulan terakhir. Kota dan desa di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara (entah Irian Jaya, Maluku dan  Timor Timur, karena saya belum pernah ke sana), selalu mewartakan  kesenjangan yang tak bisa ditutupi. Selalu saja kekaguman saya pada daya jangkau pembangunan Orde Baru tertutupi oleh keprihatinan tentang kesenjangan yang selalu dibawanya serta.                              
Dan saya makin yakin bahwa tanpa perubahan-perubahan struktural dan  sistemik yang mendasar dalam sistem sosial-ekonomi-politik, siapa pun akan sulit untuk memperbaiki tatanan masyarakat Indonesia warisan Orde Baru ini. Siapa pun akan kerepotan mereparasi realitas kesenjangan   yang sudah begitu akut. Pertanyaannya, dari mana kita mesti memulai?  Siapa yang layak melakukannya?                                        
Menurut hemat saya biang dari segala kontras kesenjangan  memprihatinkan itu adalah sentralisasi dan penyeragaman. Orde Baru datang dengan cara kerja yang sangat sentralistik, sebagaimana orde pendahulunya. Otonomi tidak diberi tempat untuk berkembang, tidak saja pada tingkat lokal atau regional tapi juga individual. Pembangunan yang dikerjakan dalam prinsip sentralisasi kemudian justru menghambat kemungkinan kemajuan lokal, regional, dan individual. Meminjam kata   kunci WS Rendra, pembangunan telah menjadi proyek dehumanisasi yang  luar biasa luas dan dalam.                                            
Penyeragaman adalah salah satu mekanisme baku yang bekerja atas nama  sentralisasi untuk dehumanisasi itu. Masih lekat betul dalam ingatan saya, ketika di awal 1998 sejumlah tokoh Irian Jaya dikumpulkan di Republika untuk berdiskusi soal pembangunan Irian, yang mereka suarakan secara koor adalah tuntutan agar penyeragaman pembangunan  yang dilakukan di mana saja tanpa kecuali segera dihentikan. Mereka bilang bahwa ''orang-orang Papua'' -- mereka lebih senang menyebut diri begitu ketimbang sebuatan ''orang Irian'' -- memiliki kearifan lokal yang luar biasa sejalan dengan kebutuhan kemajuan. Namun sentralisasi dan penyeragaman pembangunan telah membuat kearifan lokal itu  terpenjarakan. Jadilah Irian yang merana, begitu kata mereka  kira-kira.                                                            
Dalam konteks itu, pekerjaan besar pertama yang semestinya dikerjakan oleh penguasa baru -- siapa pun dia -- pasca-Orde Baru adalah menumbuhkan otonomi lokal, regional, dan individual. Untuk itu tentu saja perangkat infrastrukturnya -- seperti perundang-undangan,  pembentukan institusi-institusi sosial, dan bahkan reformasi  konstitusi (dalam rangka perubahan bentuk negara yang sentralistik  menjadi federalistik jika perlu) harus disiapkan.                     
Pendeknya, Jawa dan Jakarta tidak lagi boleh merasa paling tahu apa yang harus dilakukan oleh orang di tempat lain. Harus ada perubahan paradigma hubungan pusat-daerah dengan menjadikan daerah bukan sekadar sapi perahan pusat melainkan pusat-pusat perkembangan  sosial-ekonomi-politik yang relatif mandiri. Harus ada kearifan untuk membiarkan setiap unsur lokalitas berkembang tanpa hambatan.          
Karena itu, yang layak memimpin Indonesia pasca-Orde baru adalah pemilik kearifan semacam itu. Megawati, Habibie, Amien Rais, Wiranto, atau siapapun yang berniat memimpin Indonesia pertama-tama mesti diuji seberapa besar mereka menyimpan kearifan semacam itu. Jika mereka  tidak memilikinya, sebaiknya mereka berhenti berniat menjadi pemimpin Indonesia. Jika mereka memaksakan diri, mereka akan terus mengganggu  banyak orang yang ingin menikmati keindahan alam di timur tanpa  terganggu oleh kesenjangan sosial di sekitar alam itu serta oleh bekas-bekas eksploitasi yang baunya menyengat hidung.