ARSIP REFLEKSI

(20)
Bahaya Mitos
11 Juli 1999



Berbahayakah  sebuah mitos? Jika pertanyaan ini diajukan kepada Nelson Mandela yang baru saja lengser dari jabatan Presiden Afrika Selatan, boleh jadi jawabannya adalah ''Ya''.                         

Nelson adalah legenda hidup bagi rakyat Afrika Selatan. Ia pejuang anti apartheid yang amat gigih sejak usia muda. Perjuangannya itu kemudian membawanya ke penjara selama 27 tahun. Nelson mendekam di penjara rezim apartheid dengan perlakuan yang sangat tak manusiawi.   
Penjara, selain membuat Nelson harus mengidap sejumlah penyakit, membuat Nelson mengalami mitologisasi. Mandela terkurung jauh dari realitas. Ia tak bisa berbuat apa-apa. Namun, semakin hari namanya justru semakin membesar. Ketiadaan persentuhan Mandela dengan alam nyata justru membuat sosoknya makin menggelembung. Nelson pun kemudian dipahami banyak orang bukan sebagai sosok historis tapi sosok mitologis.                                                            
Media massa -- terutama media massa internasional yang terus menyoroti pemenjaraannya sebagai kasus antidemokrasi dan penginjak-injakan hak  asasi -- makin menyuburkan mitologisasi ini. Walhasil Nelson lebih dikenali orang banyak dalam sosok mitologisnya sebagai seorang lelaki pahlawan yang melebihi manusia biasa; jiwa-raganya semata-mata hanya dipenuhi oleh semangat perlawanan terhadap politik apartheid; tak pernah mengeluh; tahan teruji dalam segala cuaca.                     
Mandela mengalami mitologisasi di mata orang banyak, tak terkecuali juga di mata Winnie Mandela, istrinya yang senantiasa setia ''menemani'' Mandela dari luar tembok penjara, di alam nyata. Winnie mamahami Mandela persis sama seperti pemahaman umumnya orang kulit hitam Afrika Selatan: Tidak dalam sosok historisnya melainkan sosok mitologisnya sebagai sang laki-laki pahlawan besar yang kehebatannya melewati batas-batas yang bisa dicapai manusia biasa.    
Ketika Mandela akhirnya keluar dari penjara, bertemulah Mandela dan Winnie dengan bahaya sebuah mitos. Tak begitu lama setelah Mandela menghirup udara bebas di rumahnya dan Winnie tak lagi bersusah payah untuk bertemu Mandela seperti 27 tahun sebelumnya, sosok Mandela justru mengalami perubahan. Mandela semakin historis sebagai laki-laki biasa. Mandela ternyata laki-laki yang sensitif, cepat marah, kerapkali memberantakan meja makan secara ''tak bertanggung jawab''. Winnie yang terlanjur memahami Mandela dalam sosok mitologisnya sebagai pahlawan besar mengalami keterkejutan yang luar biasa, semacam shock. Baju-baju mitologis yang menyelimuti Mandela perlahan tapi pasti tanggal dan makin hari yang ditemukan Winnie di rumahnya adalah laki-laki biasa; bukan pahlawan besar tanpa cela yang sesekali dibesuknya di penjara. Menurut penuturan Mandela dalam otobiografinya, Long Walk to Freedom (1995), itulah yang akhirnya membawanya ke perceraian dengan Winnie. Pasangan yang paling banyak disorot dengan puja-puji di seluruh dunia di paruh kedua abad ke-20, akhirnya bercerai justru tak lama setelah Mandela tak lagi dipenjarakan.       
Mandela dan Winnie bertemu dengan bahaya sebuah mitos, yakni  keterkejutan dan lunturnya ikatan emosional setelah sosok mitos makin lama makin menjadi historis. Begitulah pula sebetulnya cerita tentang Pangeran Charles dan Putri Diana dari Inggris. Ketika dipahami sebagai ''pasangan dari negeri dongeng'' Charles-Diana dipuja-puji sebagai pasangan paling serasi abad ini. Namun makin lama mitos ini luntur dan berganti dengan cerita-cerita historis tentang mereka. Setelah mereka bercerai dan baik Charles maupun Diana mulai membuat  pengakuan-pengakuan terbuka, tahulah kita bahwa perkawinan mereka mestinya bubar lebih cepat. Yang membuatnya lebih lama hanyalah kemauan Charles dan Diana untuk memahami dan mengenali satu sama lain dalam sosok mitologis dan bukan historis.                             
Pelajaran berharga dari Mandela, Charles, dan Diana adalah bahwa betapa nikmat memang hidup di alam mitologis. Namun celakanya, alam mitologis adalah alam yang amat sementara. Ketika ia berganti menjadi alam historis, maka kenikmatan itu ternyata hanyalah semacam gejala mabuk. Di situ tak ada rasionalitas, yang ada hanya emosi.            
Maka dilihat dari sisi itu, boleh jadi benarlah anggapan yang dikenal umumnya orang Indonesia ''Orang baik selalu mati lebih awal''. Benar, bukan lantaran hubungan sebab akibatnya memang teruji - bahwa karena orang itu baik maka mati cepat --, tetapi lantaran orang yang cepat mati tidak sempat dikenali sosok historisnya secara luas dan dalam. Keburukan -- atau sosok historis -- orang-orang yang mati muda tak sempat dikenali orang. Begitulah, tokoh-tokoh yang mati muda akhirnya aman tertidur dalam banyak mitos. Tengok saja RA Kartini, Panglima Besar Soedirman, atau tokoh intelektual-aktivis Angkatan 66 Soe Hok Gie. Tokoh-tokoh itu terasa bersih -- antara lain -- karena kurang  historis. Selimut mitologisnya belum tersingkap banyak sejalan dengan waktu.                                                         
Pendeknya, setiap orang yang mengamankan diri dalam penjara mitologis memang cenderung mudah dipuja-puji sebagai orang besar. Namun ketika  ia menjadi semakin historis, maka makin mengerdillah sosoknya.

Begitulah halnya Sukarno. Mereka yang sezaman dengan Sukarno dengan mudah bisa mengenali Sukarno dari dimensi historisnya. Bagi mereka, Sukarno -- selain orang besar yang punya jasa sangat besar bagi pendirian Republik -- juga adalah Bapak Otoritarianisme. Bagi mereka, Sukarno adalah sosok historis dengan segala puja dan celanya. Dan Adnan Buyung Nasution perlu dicatat karena melalui disertasi doktornya mendokumentasikan dengan baik sosok historis Sukarno sebagai pemotong demokrasi konstitusional dan pendiri otoritarianisme bermerk Demokrasi Terpimpin.                                                            
Namun di depan anak-anak bangsa yang baru lahir atau melek politik setelah zaman Sukarno lewat, Sukarno hanya bisa dikenali dari sosok mitologisnya. Inilah yang kemudian bisa menjelaskan mengapa anak-anak muda yang mengaku prodemokrasi secara ironis mengenakan kaos oblong bergambar Sukarno. Seolah-olah Sukarno adalah Bapak Demokrasi. Sukarno kembali membesar setelah ia kembali dipanggil pulang oleh Tuhan dan meninggalkan selimut mitos yang membungkusnya abadi.                  
Begitulah. Mitos bisa sangat berbahaya bagi kesehatan masyarakat.  Mitos boleh jadi diperlukan -- misalnya untuk memanfaatkan kepahlawanan mitologis sebagai energi pembangkit semangat kebangsaan  -- namun sejatinya masyarakat yang sehat adalah yang bisa meminimalisasi mitos sebagai instrumen rekayasa sosial.               
Pada titik itulah kecemasan patut dilayangkan pada fenomena kemunculan pemimpin mitologis semacam Abdurrahman Wahid dan terutama Megawati Sukarnoputri. Wahid dan Mega lebih banyak tampil dan dikenali sebagai sosok mitologis, dan bukan historis oleh pendukung mereka. Wahid teramankan dalam baju-baju mitos yang dirajut dari primordialisme ke-NU-an. Mega teramankan dalam selimut mitos yang dijalin dari simbolisasi emosional-irrasional yang sangat personal. Jika  patron-klienisme dalam NU mengamankan proses mitologisasi pada Wahid, maka berdiam seribu bahasa mengamankan proses mitologisasi pada Mega.
Dalam konteks itu, selama Mega tidak dipaksa tampil ke depan untuk berbicara dan melakukan kerja-kerja politik riil sebagai pemimpin bangsa, maka selimut mitosnya akan semakin tebal. Mega menjadi sosok yang lebih besar dari postur sesungguhnya. Sebaliknya, manakala Mega diberi peluang untuk tampil sebagai pemimpin yang sesungguhnya, saya yakin baju-baju mitosnya akan tanggal satu per satu dan berganti dengan sosok historisnya yang sejati.                                 
Pada titik itulah Mega akan benar-benar dapat diukur. Bernarkah ia pemecah segala soal seperti yang dipahami pendukung fanatiknya?  Benarkah ia lokomotif demokrasi seperti yang dipercaya para intelektual pendukungnya? Benarkah ia antistatus quo seperti yang ditulis pengamat yang loyal padanya? Benarkah ia punya pikiran-pikiran jauh ke depan? Benarkah ia bisa berfungsi efektif sebagai pemimpin yang bisa membawa Indonesia keluar dari krisis?                       
Saya terprovokasi oleh pertanyaan-pertanyaan genting itu. Mungkin boleh jadi karena sebab itu, saya sangat ikhlas jika orang seperti Mega (atau Wahid) menjadi pemimpin bangsa ini -- tentu saja sejauh melalui proses yang sehat demokratis dan dengan catatan ada oposisi yang kuat dan berwibawa terhadap mereka. Dan boleh jadi, pada saat itulah kita akan melihat bagaimana berbahayanya mitos yang dipelihara menjadi aset politik. Mungkin saja akan ada keterkejutan dan rasa sakit pada banyak orang, terutama pada pendukung mereka. Tapi, pernahkah ada transisi demokrasi tanpa keterkejutan, kegagapan, dan  rasa sakit?