ARSIP REFLEKSI

(21)
Newmont: Antara
Berkah dan Musibah
8 Agustus 1999




Sampai dengan tengah Juni 1999, ada rumus baku untuk siapapun yang datang ke Pulau Sumbawa: Jangan bawa telepon selular (ponsel) ke sana. Percuma saja membawa ponsel ke pulau yang kaya teluk itu karena memang tak ada sinyal -- ponsel Anda tak mungkin digunakan. Namun sekarang, Anda sudah bisa mengaktifkan ponsel, sekalipun masih terbatas di Jereweh, terutama di dusun Banete dan Maluk. Pengguna ponsel bisa berhaha-hihi bersama keluarga di tempat lain dari balik   kungkungan bukit-bukit tandus.

Fenomena pengaktifan ponsel di Banete dan Maluk bukanlah sekadar  cerita tentang perluasan jangkauan ponsel di Nusa Tenggara Barat hingga ke balik bukit-bukit tandus. Lebih dari sekadar itu, cerita tersebut mewartakan sebuah perkembangan ekonomi dan politik dahsyat.

Pemasangan antena repeater untuk ponsel hanyalah sebuah 'upacara' kecil untuk melengkapi 'upacara' besar yang tengah berlangsung di Banete, Maluk, dan sekitarnya. Sebuah usaha penambangan emas batu hijau sedang digarap di sana oleh PT Newmont Nusa Tenggara (NTT), patungan Newmont dari Amerika Serikat, Sumitomo dari Jepang, dan perusahaan Kanada, serta Indonesia sebagai pemilik sumber daya  alam yang kaya raya itu -- celakanya -- sebagai junior partner. Newmont sudah melakukan uji coba produksi September 1999 lalu, dan akan memulai produksi sesungguhnya awal tahun 2000 besok.

Saya merasa amat beruntung bisa datang ke lokasi penambangan besar itu di tengah-tengah kegiatan penelitian tentang pemilu, akhir Juni lalu. Yang saya temukan adalah lokasi penambangan yang luas dengan infrastrukturnya yang terlihat mentereng di tengah perbukitan tandus. Saya seperti menemukan calon kota besar yang tersembunyi di tengah kepungan ketertinggalan Indonesia Timur. Saya seperti masuk ke sebuah gua di hutan rimba dan dengan terkejut menemukan istana gemerlap di kedalaman yang becek dan gelap.

Saya pun makin percaya pada 'Teori Laron'. Laron akan selalu datang ke sekitar lampu yang terang benderang tanpa diundang. Laron menjauhi gelap dan berkerubung di sekitar lampu. Begitulah. Dusun Banete dan Maluk yang saya saksikan adalah lampu. Begitu juga tempat-tempat lain yang sebetulnya cukup jauh dari lokasi Newmont, seperti Taliwang. Laron-laron datang bergelombang ke sana tanpa tercegah.

Di tempat-tempat itu saya menemukan kehidupan tumbuh secara gegap gempita. Dusun Maluk misalnya, mirip kota di film-film koboi lama. Ada sebuah kota kecil -- dibatasi alam luas dan belum tergarap -- dengan segenap fasilitasnya. Bahkan Pasar Maluk terlalu ramai untuk ukuran tempat itu. Anda bisa menemukan apapun di situ, termasuk panti pijat. Saya juga mendengar bahwa beberapa kilometer dari sana sudah ada tempat pelacuran.

Banete, Maluk, dan sekitarnya memang sedang tumbuh dengan sangat cepat menjadi sebuah kota baru dengan populasi yang makin membengkak. Pembengkakan populasi tidak terjadi hanya lantaran tumbuhya sektor informal dan gelombang kedatangan para pekerja tambang, namun juga kembalinya para transmigran yang sebelumnya meninggalkan tanah mereka yang tak berprospek. Selain itu, bisnis penyewaan kamar dan rumah ikut menarik inverstor dari luar. Mereka yang pandai mengendus peluang  usaha, beramai-ramai membeli tanah di sekitar Newmont dan mulai mendirikan beragam jenis usaha.

Di tengah kepungan pertumbuhan Banete, Maluk, dan sekitarnya itulah Newmont sibuk dengan urusannya. Newmont tengah bersiap untuk  menambang, menambang, dan menambang untuk menghasilkan tiga jenis komoditas: uang, duit, dan fulus. Sejarah membuktikan bahwa tak ada yang bisa menghentikan kesibukan semacam ini. Ingat saja Freeport di Irian Jaya atau Kaltim Prima Coal (KPC) di Kalimantan Timur.

Freeport dan KPC telah menjadi mesin penghasil uang dengan segenap logika ekonomi-bisnisnya. Lokasi penambangan lalu menjadi tempat yang terpisah dari lingkungan sekitarnya. Sementara para investor asing meraup untung besar-besaran, penduduk di sekitar mengais-ais sisa rezeki yang tak berarti, dan ternyata terus-menerus mengalami marjinalisasi. Lalu, Indonesia, sang negara yang kaya potensi alam itu, pun hanya meraih sedikit saja. Pada saat yang sama, kerusakan lingkungan terjadi dalam skala amat besar. Freeport dan KPC pun  menjadi cerita suka bagi investor asing dan cerita duka-lara bagi Indonesia.

Baik Freeport maupun KPC akhirnya mewartakan sebuah ironi: hiruk-pikuk kegiatan ekonomi yang menguntungkan asing hanya menghasilkan kerugian bertumpuk-tumpuk bagi Indonesia. Uang masuk namun dalam jumlah tak seberapa dan sangat tak bernilai dibandingkan dengan marjinalisasi dan kerusakan komunitas yang harus dialami Indonesia.

Ironi itulah yang saya lihat mengancam Jereweh. Newmont telah membuat sebuah pelabuhan modern yang terlihat canggih. Di atas dermaga, menjulur belalai besi yang langsung memuntahkan lumpur hasil tambang ke kapal-kapal yang siap berlayar ke Kanada membawa lumpur segenap isinya dari bumi Indonesia itu ke sana. Di Kanadalah proses pemisahan lumpur dengan barang mulia akan dilakukan. Dan Indonesia tampaknya mesti menanti kabar dari sana dengan sabar.

Dalam kunjungan yang singkat itu, saya tak berhasil memperoleh data persentase pembagian beban dan hasil di antara Indonesia, Amerika, Kadana, dan Jepang. Namun menurut kabar yang tersiar di antara  orang-orang di sana, Indonesia jelas memperoleh sedikit. Saya membayangkan bahwa betapa tak cukupnya perolehan material bagi Indonesia itu dibandingkan dengan kerusakan komunitas yang jelas sedang mengancam Jereweh.

Di Jereweh, di seputar Newmont, saya menemukan garis batas yang sangat tipis antara berkah dan musibah. Kehadiran Newmont adalah berkah karena bisa membuat Sumbawa, NTB, dan Indonesia seolah lebih kaya. Namun di baliknya, tersembul ancaman musibah. Newmont sangat potensial mendatangkan ketidakadilan, marjinalisasi, kerusakan lingkungan, dan kehancuran komunitas. Mumpung belum terlambat, mesti ada yang kita lakukan di sana, bukan atas nama apa-apa tetapi atas nama keadilan dan kemanusiaan.