ARSIP REFLEKSI

(22)
Cibarusah
29 Agustus 1999


Setiap kali pulang ke Cibarusah, saya selalu merasa takjub. Semenjak saya tinggalkan 15 tahun yang lalu, tidak banyak hal yang berubah di Cibarusah. Saya selalu menemukan Cibarusah yang 'setia' dengan banyak ketertinggalannya dibanding daerah-daerah di sekitarnya, terlebih-lebih dibanding kota-kota besar di pelbagai pelosok Indonesia.

Cibarusah 15 tahun lalu adalah sebuah kecamatan di pinggiran Kabupaten Bekasi yang tertinggal, dengan desa miskin alias desa (Inpres Desa Tertinggal (IDT)-nya yang berjumlah banyak. Delapan dari 13 desa di Cibarusah sampai saat ini berstatus desa IDT. Cibarusah hari-hari ini tetap seperti itu. Tentu ada satu dua kemajuan, namun rasa-rasanya tidak terlampau berarti dibandingkan ketertinggalannya.

Dalam pandangan saya, Cibarusah pun menjadi semacam sebuah prasasti dari masa lampau, yang terus bertahan hari-hari ini di tengah gedung-jalanan-tempat hiburan modern yang terus bertumbuhan. Kesan ini semakin kuat jika saya membandingkan Cibarusah dengan tetangga kecamatannya di Bekasi dan Bogor.

Cibarusah adalah desa yang terjepit oleh dua pusat --atau bakal pusat-- pertumbuhan: Cikarang-Serang di Bekasi, dan Jonggol di Bogor. Cikarang-Serang menjadi pusat pertumbuhan industri baru setelah dijadikan kawasan pusat industri baru menggantikan Pulogadung di Jakarta Timur. Sementara relokasi pusat industri direalisasikan, Cikarang dan Serang tumbuh menjadi kota baru yang gemerlap. Industrialisasi membawa multiplier effects yang luar biasa pada pertumbuhan sosial-ekonomi Cikarang dan Serang.

Sementara di sisi lain, Jonggol adalah kecamatan di Bogor yang hampir saja berubah gemerlap secara dramatis. Rezim Soeharto sudah menetapkan Jonggol sebagai lokasi sebuah kota mandiri yang luar biasa wah: Bukit Jonggol Asri. Di sini akan dibangun sebuah kota besar beserta perlengkapan atau infrastrukturnya. Dan seperti biasa, salah seorang anak Soeharto sudah ditunjuk sebagai juragan proyek prestisius ini. Namun secara tak dinyana, Soeharto jatuh pada 21 Mei 1998. Maka centang perenanglah rencana pembangunan kota baru itu.

Namun begitu, Jonggol sudah terlanjur tersodok oleh sejumlah kemajuan di dekatnya. Di Cileungsi telah berdiri megah Taman Buah Mekarsari -- milik anak Soeharto lainnya. Di sepanjang jalan Cileungsi-Jonggol telah tumbuh bisnis properti, khususnya pemukiman atau real estate, secara besar-besaran. Maka Jonggol pun tetap tumbuh gemerlap sekalipun lebih redup dibanding rencana yang disusun rezim Soeharto sebelumnya.

Walhasil, Cibarusah menjadi semacam jeda atau sisipan. Siapa pun yang melintasi rute Jonggol-Cibarusah-Cikarang, dengan gampang menemukan Cibarusah sebagai wilayah tertinggal yang terjepit oleh Jonggol, Cikarang, dan Serang yang mengalami kemajuan lebih tegas. Saya, sebagai orang yang dilahirkan dan dibesarkan di Cibarusah, selalu ingin menepis fakta itu. Namun, tentu saja fakta adalah fakta; sesuatu yang tidak berubah sekalipun ditepis.

Banyak hal di Cibarusah -- desa yang amat saya cintai -- yang ingin saya tepis sekalipun pasti sia-sia. Ketika saya kecil, misalnya, saya bangga dengan Kali Cipamingkis, sebuah sungai yang cukup besar yang melintasi Cibarusah. Sungai ini berbatu-batu besar sehingga menimbulkan musik yang sangat indah setiap kali airnya yang jernih menumbuk-numbuk batu dan bercipratan. Kami, kanak-kanak Cibarusah, biasa bermain di sungai itu, meloncat dari satu batu besar ke batu besar lainnya sambil gelak tertawa ria setiap kali celana kami tak bisa diamankan dari cipratan lidah air. Sekarang, Cipamingkis telah mati. Panggalian batu dan pasir di sungai itu membuat Cipamingkis tak lagi berbentuk: Bukan sungai juga bukan danau. Cipamingkis bersama ekosistemnya telah mati menjadi korban keserakahan mengeksplorasi sumber daya alam. Saya ingin menepis fakta ini tapi tentu saja sia-sia.

Saya juga ingin menepis fakta bahwa orang-orang Cibarusah, setelah puluhan tahun menjalani pembangunan a la Orde Baru, ternyata jalan di tempat. Pembangunan tak menghasilkan transformasi dan mobilitas vertikal di bidang sosial, ekonomi, budaya yang cukup berarti. Pembangunan tak banyak mengubah wajah Cibarusah. Memang benar bahwa sejumlah fasilitas fisik -- semacam sekolah, pasar, rumah ibadah - bertambah namun secara umum tidak ada yang berubah dalam kehidupan sosial orang Cibarusah.

Maka Cibarusah sebetulnya bisa menjadi sebuah monumen tentang gagalnya pembangunan Orde Baru mengangkat harkat martabat manusia. Pembangunan memang sukses memacu kemajuan-kemajuan artifisial atau kosmetik, namun gagal membela humanisasi. Pembangunan justru menjadi ajang dan sarana dehumanisasi. Dari konteks ini, Cibarusah menjadi sebuah replika dari fenomena gagalnya pembangunan di Dunia Ketiga atau negara-negara berkembang sebagaimana diceritakan oleh Robert P Clark (1991) atau Dieter Senghaas (1989).

Berhenti pada penjelasan besar a la Clark dan Senghaas saja tentu tak cukup. Tetap perlu dicari jawaban atas pertanyaan yang lebih tajam: Mengapa Cibarusah dan orang-orang Cibarusah tertinggal? Di manakah fenomena ketertinggalan itu berakar?

Ada dua kemungkinan jawaban yang bisa diberikan: Jawaban yang bersumber pada JH Boeke atau bersumber pada Clifford Geertz.

Dengan teori dualisme ekonominya, Boeke menjelaskan bahwa satu daerah bisa tertinggal karena masyarakt di tempat itu masih menggunakan kebudayaan ekonomi tradisional dalam hidup mereka. Kebudayaan ekonomi tradisional ini menekankan pentingnya kegotongroyongan dan kebersamaan komunal ketimbang kompetisi rasional dan orientasi pada kemajuan individual. Mereka tertinggal karena tidak menggunakan kebudayaan ekonomi modern yang berorientasikan kemajuan atau akselerasi.

Sementara Geertz dengan teori involusi (pertanian)-nya, menjelaskan bahwa ketertinggalan sebuah komunitas terjadi karena tersedianya kendala-kendala struktural yang menghambat orang untuk maju. Ketertinggalan tidak berakar pada fakta kultural melainkan pada sumbatan-sumbatan struktural yang dilembagakan oleh sistem.

Baik Boeke maupun Geertz secara sendiri-sendiri, saya kira, tidak bisa menjelaskan ketertinggalan Cibarusah dengan baik. Saya tak menemukan adanya kultur khusus yang menghambat kemajuan di sana. Saya juga tak menemukan adanya sumbatan struktural yang bekerja sendirian untuk membentuk ketertinggalan orang Cibarusah.

Yang saya temukan adalah kemanjaan dan rasa cepat puas yang menyebar sebagai sikap kultural yang bertemu dengan ketiadaan tekanan struktural yang kurang menekan. Dalam konteks ini memacu kemajuan Cibarusah bukanlah perkara mudah -- sama sulitnya memacu kemajuan banyak daerah senasib di seluruh Indonesia.

Namun ada satu kunci yang perlu ditegaskan: Upaya keluar dari ketertinggalan hanya mungkin memperoleh hasil manakala ada upaya serius dalam tiga hal sekaligus. Pertama, upaya menumbuhkan kesadaran bahwa mereka tertinggal. Kedua, upaya memperbaiki kemampuan pengorganisasian sosial di tengah masyarakat sehingga mereka mampu menjadi penentu atau subjek dalam menentukan kemajuan atau ketertinggalan mereka sendiri. Ketiga, upaya membangun ruang publik dan daya tawar sosial ekonomi masyarakat berhadapan dengan sistem yang menekan. Wallahu a'lam bish-shawab.