ARSIP REFLEKSI

(23)
Marwah
15 September 1999




Kata "marwah" mengingatkan saya pada dua tempat: Sulawesi Selatan dan Aceh.

Di Sulawesi Selatan ada satu marwah: Marwah Daud Ibrahim. Inilah politisi yang karier politiknya dalam Golkar menanjak cepat di masa ujung Orde Baru. Sebagai salah seorang politisi garda depan Golkar, Marwah yang satu ini sedang sibuk bergelut susah payah bersama Golkar yang terantuk-antuk atmosfir politik baru era reformasi. Kesulitan Marwah berlipat-lipat karena ia sudah memproklamasikan tempatnya secara tegas sebagai pendukung Habibie dengan segenap risikonya.

Marwah adalah satu di antara sangat sedikit orang Golkar yang bersedia adu argumen secara lurus. Marwah yang dulu saya kenal, adalah politisi yang mau menggunakan -- sekalipun untuk itu harus bersusah payah -- cara berpolitik yang elegan. Karena itu, saya yang bukan orang Golkar dan bukan pendukung Habibie, bisa bersahabat secara intelektual dengannya.

Ketika di penghujung Agustus 1999 lalu saya ke Ujung Pandang, saya mendengar kabar yang beredar luas di kalangan aktivis di sana bahwa Marwah sudah mulai menggunakan cara-cara politik yang tidak elegan seperti money politics. Maka hari-hari ini -- sambil mencari kepastian mengenai benar tidaknya kabar itu -- saya sesekali membayangkan Marwah sambil dibalut rasa cemas. Saya cemas kehilangan Marwah yang dulu saya kenal.

"Marwah" satu lagi ada di Aceh. Marwah yang satu ini bukan saja menerbitkan rasa cemas, namun juga sedih, prihatin, bahkan semacam kemarahan. Hari-hari ini orang Aceh bergelut di antara hidup dan mati atas nama "marwah" alias harga diri atau martabat. Dan celakanya, pemerintahan Jakarta atau Indonesia-Jawa -- begitu sekarang orang Aceh kerap menyebutnya -- salah mengerti.

Orang Aceh sedang berjuang untuk mengembalikan marwah mereka yang direnggut lewat senjata, penistaan, dan penghancuran kemanusiaan oleh Orde Baru melalui tentara -- yang celakanya sekarang masih terus dilanjutkan. Mudah dipahami jika orang Aceh tidak mengapresiasi rombongan menteri yang beberapa waktu lalu membawa uang 1,5 trilyun rupiah. Yang orang Aceh butuhkan memang bukan itu.

Saya teringat sebuah adegan di televisi yang menyentuh. Ketika diwawancara oleh reporter sebuah stasiun televisi swasta, seorang pengungsi dari Aceh dengan tegas mengatakan bahwa mereka bukan orang miskin yang kelaparan dan sedang mencari makanan.

"Kami punya ternak dan lahan pertanian. Kami tidak hidup berkekurangan. Kami melarikan diri bukan karena kelaparan tetapi karena jiwa kami terancam," kata sang bapak berusia sekitar 40-an itu setengah berteriak. Ia juga menegaskan bahwa orang Aceh tak takut lapar, orang Aceh tak risau karena susah di pengungsian. Bahkan mereka menolak bantuan pemerintah karena pemerintah bersama tentaranya yang justru membuat jiwa mereka hampir terenggut.

Saya makin memahami kebesaran orang Aceh. Saya melihat mereka sebagai pejuang-pejuang kemanusiaan. Saya tak yakin bahwa separatisme orang Aceh -- jika pun itu ada -- adalah sebab. Saya kira separatisme itu merupakan akibat atau konsekuensi logis dari kekeliruan pendekatan pemerintah dan tentara terhadap Aceh.

Karena itu saya memahami gerakan orang Aceh secara keseluruhan sebagai gerakan kemanusiaan yang universal. Mereka menuntut harga diri atau marwah-nya dikembalikan. Dan dengan itu, mereka menuntut agar keadilan ditegakkan di Aceh.

Tetapi, celakanya, marwah dan keadilan itulah yang justru sampai dengan hari ini belum juga diberikan. Pemerintahan Habibie boleh jadi memang punya niat baik untuk mengatasi masalah Aceh, namun celakanya memakai pendekatan yang keliru secara total.

Masalah Aceh didekati secara simptomatik. Satu dua masalah permukaan berusaha dipecahkan namun tanpa melihatnya dalam konfigurasi masalah secara keseluruhan. Ada kesan, pemerintah berusaha mencari bedak dengan merk baru tanpa berusaha mengenali dulu secara saksama wajah Aceh. Dan tentu saja siapapun tahu bahwa pergantian merk bedak tidak akan mengubah bentuk wajah.

Sakit Aceh diobati dengan menyuntikkan banyak-banyak analgesik. Lalu, jangan salahkan jika sakit itu tak pernah bisa tersembuhkan karena analgesik memang bukan untuk menghilangkan penyakit melainkan sekadar menghilangkan rasa sakit sementara waktu.

Lebih celaka lagi, pendekatan simptomatik dan analgesik itu dilakukan secara tidak kompak. Aparatur militer -- yang dalam pemahaman orang Aceh adalah alat pemerintahan Jakarta atau pemerintahan Indonesia-Jawa -- justru seperti sengaja menciptakan medan peperangan permanen di Aceh. Aceh dipahami tentara sebagai lokasi kerusuhan massa, dan karenanya ke sana dikirim pasukan bersenjata peredam rusuh massa. Aceh dipahami sebagai ceruk di mana musuh negara bersembunyi dan karenanya ke sana dikirim pasukan tempur yang siap menembaki musuh-musuh negara itu.

Pendekatan yang keliru secara total itu tentu saja tidak akan pernah menghasilkan cara penyelesaian masalah yang tepat. Alih-alih menyelesaikan, pemerintah dan tentaranya justru mengembangbiakkan masalah dari waktu ke waktu.

Sekali lagi, cara kerja pemerintah dan tentara melupakan motto pegadaian: menyelesaikan masalah tanpa masalah. Di Aceh, masalah dipecahkan dengan membuat masalah-masalah baru yang lebih besar. Jika proses semacam ini terus berlanjut saya yakin situasi Aceh akan makin mencemaskan.

Dalam pemahaman saya yang serba terbatas, Aceh tidak butuh uang atau infrastruktur-infrastruktur sosial baru. Aceh juga tidak butuh kehadiran seorang Tjut Nyak -- yang dalam bahasa kebudayaan Aceh berkonotasi hierarkis-feodal. Yang Aceh butuhkan adalah keadilan. Dan itu harus dimulai dengan memberi peluang bagi rakyat Aceh untuk mengembalikan martabat atau harga diri mereka yang sudah diinjak-injak. Maka biarkan orang Aceh merebut dan memiliki kembali marwah mereka.