ARSIP REFLEKSI

(25)
Berkaca
di Jalan Raya
14 November 1999



Di jalan raya kerapkali saya bergelut dengan pertanyaan-pertanyaan remeh-temeh yang jawabannya terkadang tak seremeh-temeh yang saya bayangkan sebelumnya. Inilah salah satu contohnya.

Di ruas Jalan Raya Tanah Baru dan Jalan Mohammad Kahfi II yang membentang dari Depok ke Jagakarsa, saya kerap bertemu dengan sejumlah pemuda yang mengacung-acungkan ember atau tempat menadah lain, sambil menunjuk-nunjuk bopeng jalan yang telah mereka tutup seadanya dengan bongkaran batubata, tanah, atau batu. Mereka mengklaim diri sebagai pemberi jasa bagi pengguna jalan raya dengan menutup bopeng-bopeng jalan secara alakadarnya itu. Dan mereka meminta kita, pemakai jalan, untuk menyisihkan seratus atau beberapa ratus rupiah untuk 'membayar' jasa mereka.

Saya terkadang tak memberi mereka uang. Atau, jikapun saya tergerak untuk memberinya, biasanya dalam keadaan seolah-olah terpaksa. Ada semacam ketidakikhlasan. Padahal, saya tahu bahwa anak-anak muda itu adalah bagian dari para penganggur yang hidupnya pasti semakin terpuruk akibat krisis ekonomi berkepanjangan. Mereka boleh jadi, meminjam istilah Karl Marx, adalah kaum lumpen proletariat, yakni kelas bawah yang tak punya pekerjaan, tak tertampung oleh lapangan kerja yang makin terbatas, yang kualitas hidupnya lebih buruk dibanding kaum pekerja atau proletariat yang ditindas di pabrik-pabrik dan di lapangan kerja lainnya.

Dan begelutlah saya dengan pertanyaan remeh-temeh seperti yang saya katakan di awal tulisan: Mengapa terasa berat memberi anak-anak muda itu uang sekadarnya? Mengapa saya --dan mungkin juga banyak orang lain-- tidak ikhlas mengeluarkan sedikit uang untuk mereka yang berpanas-panas, kadangkala berhujan-hujan, di jalanan hampir sepanjang siang itu?

Ternyata, kemungkinan-kemungkinan jawaban yang saya temukan tak seremeh-temeh yang saya bayangkan sebelumnya. Bisa jadi, sebagaimana banyak orang lain, saya tidak menemukan layanan jasa apa pun dari anak-anak muda itu. Saya atau kami tidak rela menyaksikan anak-anak muda itu berpura-pura telah bekerja memberikan jasanya untuk kami, padahal faktanya tidak. Ketidakikhlasan memberi anak-anak muda itu uang adalah refleksi dari sikap kami untuk menolak kepura-puraan yang belakangan semakin marak di sekitar kita. Coba saja hitung, berapa banyak orang yang mengais uang di perempatan-perempatan jalan Jakarta dengan berpura-pura mengerjakan sesuatu: mengamen tanpa mengeluarkan suara nyanyian, memetik gitar tanpa menimbulkan melodi yang paling sederhana sekalipun, mengelap kaca kendaraan tanpa membersihkan kaca itu, mengemis meminta belas kasihan sementara badannya segar bugar penuh tenaga.

Saya sendiri punya kemungkinan jawaban lain. Saya melihat anak-anak muda itu melakukan kesia-siaan yang nyata, dan saya tak bersedia terlibat di dalamnya. Mereka mencontek cara penyelesaian masalah yang sia-sia yang dipertontonkan lama oleh elite-elite politik negeri ini, yakni mengatasi masalah secara simptomatik, permukaan, parsial alias sepotong-potong dengan mengabaikan akar masalahnya. Mereka menutup lobang jalan dengan bongkahan batubata, tanah, dan batu, yang sebentar saja akan kembali tergerus ban mobil dan akhirnya membuka kembali bopeng jalan itu. Setiap kali terjadi terus seperti itu, sambil bopeng-bopeng baru bertambah dari waktu ke waktu. Alangkah celakanya kita mesti ikut membayar --sekalipun dalam jumlah yang sangat kecil -- proses simptomatik yang ujungnya jelas kesia-siaan itu.

Kemungkinan jawaban lain ternyata lebih serius. Perbaikan jalanan umum adalah kewajiban pemerintah melalui Departemen Pekerjaan Umum. Saya, sebagaimana kita semua sebagai warga negara, telah ikut menanggung pembiayaan negara dengan beragam cara. Adalah Departemen PU yang mestinya bertanggung jawab dan dituntut untuk mengatasi bopeng-bopeng jalan itu. Ketika ada anak-anak muda menutupi sementara waktu bopeng-bopeng itu alakadarnya, mereka sebetulnya mengaburkan mekanisme pertanggungjawaban yang semestinya berjalan itu. Mereka diam-diam mengalihkan tanggung jawab yang semestinya dipikul pemerintah ke tangan rakyat. Anak-anak muda yang menutup bopeng jalan dan pengguna jalan raya adalah dua 'wakil' rakyat yang menjadi pemikul tanggung jawab itu. Saya tentu menolak mengambil posisi yang sangat keliru ini.  Saya tak bersedia menjadi bagian dari mafia diam-diam tanpa sadar untuk mengaburkan keharusan pertanggungjawaban publik pada pemerintah.  

Begitulah, dari sekadar menemukan anak-anak muda yang mengacungkan ember kotor, saya dipaksa bergelut dengan soal remeh-temeh yang tatkala ditelusuri ternyata bisa sampai ke penjelasan yang tak remeh-temeh. Kadang kala, setelah bergelut dengan soal semacam ini, terbit kekhawatiran pada saya. Apakah jawaban-jawaban serius itu menunjukkan bahwa saya --bersama banyak orang lain-- merupakan representasi dari publik kritis yang sekarang sedang tumbuh dalam masyarakat kita; ataukah itu justru menandaskan bahwa saya sebagaimana banyak orang lain sudah semakin tidak bisa berempati pada penderitaan orang lain.

Sampai hari ini, kekhawatiran terakhir itu masih menghantui saya. Namun, yang penting sekarang, melalui pertemuan dengan banyak kasus persoalan jalan raya yang remeh-temeh semacam di atas, saya makin disadarkan betapa jalan raya merupakan institusi yang sangat bijak mengajarkan hidup kepada kita. Dan celakanya, peran jalan raya sebagai arena pembelajaran hidup itu, jangan-jangan terlupakan atau tak disadari oleh banyak orang.

Mereka yang ingin tahu betapa dahsyat krisis ekonomi menghantam Indonesia, misalnya, bisa mempelajarinya dari jalan. Semenjak krisis ekonomi menghantam Indonesia pada tengah tahun 1997, kita dengan gampang menemukan pembesaran jumlah pengamen di Jakarta. Pembesaran serupa juga bisa ditemukan di sejumlah kota besar Indonesia lainnya: Bandung, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Bali, Mataram, Ujungpandang, Palembang, Lampung, dan lain-lain. Pembengkakan jumlah pengamen itu mewartakan betapa semakin banyak orang di Indonesia kehilangan peluang bekerja secara normal dan mereka tak punya pilihan lain selain mengais harapan di jalan raya.

Di Yogyakarta, misalnya, saya temukan gejala menarik tentang itu. Saya beberapa kali datang ke kota itu dalam tiga situasi yang berbeda: sebelum krisis ekonomi, ketika krisis masih berlangsung, dan ketika krisis berkepanjangan hingga sekarang. Pada situasi yang pertama, ruas dan perempatan jalan-jalan di Yogyakarta, apalagi jalan Malioboro, memang dihiasi para pengamen tetapi dalam jumlah yang, seingat saya, terbatas. Dalam situasi kedua, jumlah pengamen membengkak begitu rupa, bahkan semua kendaraan, termasuk sepeda motor beroda dua, dikepung oleh para pengamen yang makin banyak itu. Dalam situasi ketiga, jumlah pengamen makin membludak, dan mereka mulai mendatang pejalan kaki yang baru keluar dari pertokoan sebagai calon konsumennya. Dalam pergeseran dari satu situasi ke situasi lain itu, sepintas lalu saya menemukan semakin banyak pengamen Yogyakarta yang sebetulnya tak bisa bernyanyi dan memainkan alat musiknya --lain dengan citra yang selama ini melekat pada pengamen Yogya sebagai seniman jalanan sungguhan. Saya membayangkan alangkah bermanfaatnya, membuat studi tentang krisis ekonomi di Yogyakarta melalui fenomena kecil semacam gejala-gejala di dunia pengamen jalanan itu.

Di jalan raya jugalah orang bisa belajar membangun rasa sabar. Dan untuk itu, Jakarta adalah tempat belajar yang paling efektif. Kemacetan; kesemrawutan; kecenderungan pelanggaran yang tinggi; banyaknya copet-penodong-bahkan perampok; banyaknya titik rawan tawuran pelajar; kerapnya pengguna jalan diganggu oleh presiden, wakil presiden atau para menteri yang lewat membawa sirene dan rombongan panjang; adalah beberapa saja dari begitu banyak alat untuk memaksa orang menjadi penyabar di jalanan Jakarta.

Bahkan jalan raya juga bisa mengajarkan bagaimana sebetulnya wajah masyarakat kita sesungguhnya. Pelajaran semacam ini antara lain saya temukan dalam kemacetan jalan di Ciawi menuju Puncak, pada sebuah Sabtu siang, akhir Oktober lalu.

Biasanya saya lebih senang antre lama sambil mengasah kesabaran ketimbang mengambil jalan pintas masuk ke perkampungan menghindari kemacetan. Soalnya, saya kerap mendengar keluhan pengguna jalan pintas itu bahwa sepanjang jalanan mereka dipaksa membayar 'uang jalan' berkali-kali. Bukan jumlah uangnya itu yang bermasalah, tapi ketidaknyamanan berada di bawah tekanan yang tak proporsional. Saking emohnya ada di bawah tekanan, saya pernah terlambat ke sebuah acara Budha Dharma Indonesia - Eksotika Karmawibangga sekitar tiga jam; datang persis ketika seminar yang mesti saya hadiri bubar.

Tapi pada Sabtu siang itu, saya memilih lewat jalan pintas. Benar saja, sepanjang kurang dari tiga kilometer, kami harus membayar 'uang lewat' setiap beberapa ratus bahkan beberapa puluh meter. Saya pikir peristiwa Sabtu siang itu memberi tahu saya wajah kita yang sesungguhnya. Ketika peluang memaksa, menekan, mempersulit orang lain tersedia, dengan mudah kita menjadi pemaksa, penekan, dan pemersulit orang lain. Jalan pintas itu milik publik. Ketika kami yang tercegat macet membutuhkan jalan itu, tiba-tiba saja status jalan diubah oleh penduduk di sana sebagai jalan privat.

Tapi saya maklum. Masyarakat yang terus-menerus dirampas haknya, pasti akan tanpa beban melakukan pengambilan hak orang lain. Saya pikir-pikir, jalan raya sebetulnya merupakan cermin dari masyarakat. Karena itu di jalan raya lah kita akan mudah menemukan praktek-praktek kleptokrasi: Perampasan hak orang lain.

Di masa depan mudah-mudahan jalan raya kita semakin tertib dan sehat. Sebab, itulah cermin dari mulai tertib dan sehatnya sistem politik kita.