ARSIP REFLEKSI

(26)
Aceh
28 November 1999




Menghadapi orang Aceh sebetulnya tak susah. Cukup patahkan logikanya, dan sentuh hatinya, maka orang Aceh akan mudah menjadi sahabat yang baik. Kata-kata itu saya dengar dari Muhammad Azhar, seorang intelektual muda, dalam sebuah diskusi di Banjarnegara, Jawa Tengah, tepat satu pekan lalu (21/11/1999).

Penggambaran yang sepertinya sederhana itu, memperkaya pemahaman saya yang dangkal tentang masalah Aceh dan orang Aceh yang belakangan semakin serius dan mencemaskan. Saya menjadi lebih mengerti mengapa begitu sulit pemerintah, apalagi tentara, merangkul kembali orang Aceh sekarang. Mereka terlampau lama berinteraksi dengan orang Aceh secara keliru: Mereka patahkan hatinya baru kemudian berusaha menyentuh logikanya.

Menurut pemahaman saya, soal Aceh adalah soal rasa sakit hati kolektif yang sudah begitu dalam. Orang Aceh merasa dikhianati berkali-kali oleh para pemimpin Jakarta dan tentara. Saat ini rasa sakit hati itu sudah begitu mengkristal karena yang telah terhina oleh para pemimpin Jakarta dan tentara itu adalah marwah, martabat atau harga diri mereka. Di samping, di sisi lain mereka juga mengalami masa ketidakadilan yang cukup panjang dan tentu saja menyakitkan. Mengembalikan marwah dan keadilan itulah yang menjadi kunci penyelesaian masalah Aceh.

Masih lekat dalam ingatan saya betapa kuatnya rasa sakit hati kolektif orang Aceh yang saya temukan ketika berkunjung ke Banda Aceh sekitar dua bulan lampau. Dalam sebuah diskusi di Universitas Syiah Kuala, saya memperoleh sajian sebuah menu pembukaan yang tak biasa: drama yang dimainkan kanak-kanak Aceh, yang rata-rata berusia kurang atau lebih sedikit dari 10 tahun.

Digambarkan dalam drama itu sekelompok tentara membantai satu keluarga dan hanya menyisakan seorang anak perempuan keluarga itu yang kebetulan sedang tak di rumah. Di kemudian hari, dengan senjata otomatis di tangan, sang anak perempuan inilah yang menghabisi tentara-tentara itu di bawah tepuk sorak ratusan peserta diskusi, di tengah kerasnya teriakan Allahu Akbar.

Hati saya tersayat melihat drama itu. Tersayat, terutama lantaran menyaksikan betapa soal Aceh yang berlarut-larut tanpa penyelesaian telah membuka peluang bagi terwariskannya bukan saja rasa sakit hati tetapi sebuah dendam kolektif. Tentu saya tak bisa menyalahkan orang Aceh atas pewarisan dendam itu. Yang saya sesali adalah betapa tidak becusnya pemerintahan selama ini mengidentifikasi persoalan di Aceh - sebagaimana juga soal-soal di tempat lain. Saya juga menyesali membekunya hati pemimpin pemerintahan hingga saat ini untuk berusaha memenuhi hal-hal mendasar yang diminta orang Aceh, seperti pengadilan para pelanggar hak asasi manusia.

Semakin hari saya semakin mencemaskan Aceh. Terlebih-lebih, menyaksikan santainya presiden Abdurrahman Wahid dalam menangani Aceh. Menurut hemat saya, Abdurrahman Wahid terlampau santai menghadapi soal yang sudah sangat serius ini. Sebaliknya, di sisi lain, Abdurrahman Wahid kerapkali justru terlihat tergopoh-gopoh alias impulsif menyikapi soal yang memerlukan pencermatan yang dalam ini.

Dengan santai misalnya Abdurrahman Wahid berkomentar bahwa pelaku penindasan di Aceh bukanlah tentara melainkan orang-orang liar yang memakai baju tentara. Dengan santai pula ia mengatakan tak ada yang genting di Aceh. Namun dengan tergopoh-gopoh ia memberi sinyal untuk mengadakan referendum tujuh bulan depan. Pada saat yang sama tidak terlihat ada langkah-langkah yang serius - setidaknya yang terpublikasikan ke khalayak - yang dilakukan oleh pemerintahannya sekarang.

Sebagai warga negara, saya pun mengkhawatirkan berlanjutnya kekeliruan lama dalam penanganan masalah Aceh sekarang. Untuk menghindarinya, tak ada lain, Abdurrahman Wahid seyogianya segera ke Aceh, mendengar langsung apa yang dijehendaki berbagai pihak di sana. Pada saat yang sama, pemerintah semestinya memberi tugas khusus kepada Menteri Hukum dan Perundang-undangan, Menteri Negara Hak Asasi Manusia, dan Menteri Negara Otonomi Daerah, untuk membuat rumus penyelesaian masalah Aceh, termasuk menyelenggarakan peradilan koneksitas secepatnya untuk menindak para pelanggar HAM.

Saat ini, saya sungguh senang memiliki presiden yang humoris dan cerdas seperti Abdurrahman Wahid. Namun sekaligus saya cemas karena kecerdasan dan selera humor itu bisa jadi tidak akan terlalu bermanfaat manakala sang presiden memperoleh masukan atau bisikan yang keliru dari orang-orang keliru, serta terlampau memanjakan kesantaiannya untuk menyelesaikan soal yang sungguh serius seperti Aceh.