ARSIP REFLEKSI

(27)
Oposisi Islam
12 Desember 1999



Malam itu, Jumat 10 Desember 1999, di Paramadina Mulia Pondok Indah, Jakarta Selatan, kami seperti membicarakan barang mewah yang belum terbeli. Panitia diskusi, Voice Center Indonesia, menyediakan tema diskusi yang kelihatan menantang, penting, dan genting: “Masa Depan Oposisi Islam, Interaksi NU dan Kekuasaan”. Tetapi, itulah. Ulil Absar Abdalla, Greg Fealy, saya, dan peserta diskusi akhirnya tak mampu menjelaskan secara optimistik betapa “oposisi Islam” merupakan sesuatu yang dekat dan menjanjikan. Apalagi halnya dengan “oposisi kalangan NU terhadap kekuasaan Abdurrahman Wahid”.

Semenjak kabinet Abdurrahman Wahid -- yang mengakomodasi semua kekuatan politik formal utama - terbentuk, diskusi mengenai oposisi di komunitas-komunitas politik formal meredup. Patut dimaklumi bahwa mereka menghadapi situasi sulit beroposisi. Ada semacam ewuh pakewuh atau kendala mental lain menjadi oposan terhadap diri sendiri. Namun celakanya, sebab terpenting dari peredupan diskusi oposisi itu bukan di sana letaknya.

Secara menyedihkan, peredupan diskusi soal oposisi ternyata sumbernya jauh lebih dasar. Ia bisa dilacak mulai dari adanya sejumlah kekeliruan paradigmatis di kalangan politisi kita mengenai hubungan antara oposisi, demokrasi, dan Indonesia. Sebagian menilai secara keliru bahwa oposisi hanya mungkin dalam sistem parlementer. Sebagian menilai oposisi hanya mungkin ada secara intraparlemen dan tidak secara ekstraparlemen. Sebagian lain menilai oposisi hanya mungkin dalam wujud lembaga formal semacam partai. Sebagian sisanya memahami oposisi sebagai semacam cacat bahkan barang haram. Sebagian lagi secara menyedihkan menyebut oposisi tak sesuai dengan budaya bangsa.

Kekeliruan semacam itu sangat terasa ketika Hamzah Haz, setelah digusur Abdurrahman dari jabatan Menkokesra, misalnya, berkeras menolak identifikasi PPP sebagai oposisi. “PPP akan bersikap kritis terhadap pemerintahan tetapi tidak akan menjadi oposisi”. Contoh lain: Amien Rais sendiri, menurut kesan saya, seperti mulai menimbang-nimbang ulang perlunya beroposisi dari dalam partai. Ia malah menyarankan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) menjadi oposisi. ICMI sendiri menyatakan sanggup menjadi oposisi tapi yang bermanfaat, seolah-olah oposisinya sendiri adalah sesuatu yang tak bermanfaat. Contoh lain yang lebih lunak saya temukan pada Haris Jauhari. Ketika saya katakan bahwa talkshow-nya yang kritis, Partai-partai, bisa menjadi semacam suara oposisi, dengan cepat ia menukas, “Wah, ini bukan oposisi, ini talkshow biasa saja”. Dari Haris saya tangkap kesan bahwa oposisi seolah-olah bukan sesuatu yang biasa-biasa saja.

Begitulah. Diskusi oposisi akhirnya terjerembab justru lantaran kita terlampau lama tidak mengenali benda (oposisi) ini. Dari sesuatu yang biasa, bermanfaat, menyehatkan, oposisi justru disalahpahami sebagai sesuatu yang tak biasa, diragukan manfaatnya, dan sumber penyakit. Dari kebutuhan, oposisi dipahami sebagai gangguan. Maka, jika demokrasi itu diumpamakan seperti deretan gigi, ia pastilah tidak pernah sempurna. Oposisi dibutuhkan sebagai penambal gigi yang bolong-bolong itu. Eh, alih-alih dipahami sebagai penambal gigi, oposisi justru dianggap sebagai slilit yang mesti disingkirkan sampai habis.

Saya pun menjadi makin mafhum, mengapa di antara begitu banyak partai politik - menurut data Litbang Kompas, antara Mei 1998 hingga Februari 1999 saja jumlahnya mencapai 181 buah - tak ada satu pun yang sejak awal berniat menjadi oposisi. Ketika saya menjadi anggota tim penyeleksi partai-partai calon peserta Pemilu 1999 alias “Tim Sebelas”, tidak saya temukan satu pun partai yang menyusun program secara terfokus pada satu atau beberapa hal saja. Semua partai memprogramkan pekerjaan pemerintahan dari A hingga Z. Mau tak mau, menurut kesan saya, semua partai ingin menjadi penguasa baru, dan tak ada satu pun yang siap menjadi partai politik yang terfokus layaknya sebuah partai oposisi.

Tentu saja kita mesti jauh-jauh hari memaklumi semua itu dalam kerangka suasana khas transisi dari otoritarianisme yang baru berada dalam tahap awal. Semua pihak pun tanpa kecuali mengalami kekikukan, kegagapan, dan kebelumsiapan bekerja dengan cara berpikir baru. Begitu pulakah kita mesti memahami kegagapan kalangan Islam politik dalam menyikapi soal oposisi? Menurut saya, jawabannya tidak persis demikian.

Kalangan Islam politik, semestinya telah melewati masa pembelajaran berpolitik sejak awal 1990-an, sekitar satu dekade sebelum Soeharto jatuh. Seyogianya mereka tidak ada dalam tahap awal ketika harus belajar memulai beroposisi atau berkuasa. Jika demikian, mengapa, sebagaimana yang lain, mereka pun terlihat gagap? Jawabannya, menurut saya, terletak pada penyakit-penyakit yang diidap oleh kalangan Islam politik.

Pertama, kalangan Islam ketika berpolitik memiliki kecenderungan memakai cara-cara paternalistik dan gerontokratif. Di satu sisi mereka menumpukan harapan pada sang patron, seperti Soeharto atau Habibie. Di sisi lain mereka masih bertumpu pada kalangan tua yang turun gunung, berubah haluan, atau memang belum kebagian peranan yang signifikan dalam politik dan pemerintahan. Inilah yang menyebabkan, pencerahan wacana yang sebetulnya telah terjadi lama di kalangan Islam politik, tertenggelamkan oleh konservatifisme politik gaya lama. Dalam kerangka ini, membangun oposisi Islam dipahami secara keliru sebagai langkah mundur kembali ke masa lampau yang jauh ketika negara dan Islam masih bersitegang.

Kedua, politik di kalangan Islam ditandai oleh semangat menggebu-gebu untuk “ada di dalam” atau berkuasa, bukan untuk mencari posisi strategis yang kontekstual baik di dalam maupun di luar kekuasaan. Semangat menggebu untuk “ada di dalam” ini sebetulnya mudah dipahami mengingat terlampau lama mereka merasa menjadi objek kekuasaan yang penuh pengorbanan atau hanya menjadi muazin dari pinggiran yang ajakannya tak pernah didengar kekuasaan yang sudah tuli. Tetapi, ketika keinginan ada di dalam ini menghilangkan kreativitas untuk beroposisi lantaran mereka mengalami kekalahan, atau lantaran ada kebutuhan, maka semangat menggebu itu sungguh menyedihkan.

Ketiga, kalangan Islam ketika berpolitik lebih banyak terpaku pada kesibukan berorganisasi, bukan kegemaran membangun jaringan. Ini menimbulkan persoalan serius karena di antara kalangan Islam yang terpisah-pisah oleh beragam organisasi itu, akhirnya yang terjadi adalah saling menegasikan dan melemahkan. Logika organisasi juga membawa mereka pada cara kerja yang sentralistik, elitis, bahkan Jakartasentris. Cara kerja inilah yang membuat mereka sulit berkelit dari kekalahan dengan membangun jaringan perlawanan dan oposisi.

Keempat, kalangan politisi Islam tampaknya masih sibuk bermain-main dengan kemasan dan bukan isi. Ini terkonfirmasikan oleh gejala Poros Tengah karena seusai sukses mereka menjegal Megawati, poros ini ternyata tak melakukan aktivitas yang konkret untuk membangun diri mereka sebagai konsorsium reformasi atau kaukus reformasi. Sampai sekarang, poros ini masih sibuk terus-menerus dengan soal-soal kemasan. Begitu pula fenomena PPP bisa kita mafhumi. Peluang sejarah yang sangat langka untuk membangun oposisi pasca penyingkiran Hamzah Haz ternyata tidak dimanfaatkan untuk membangun kritisisme dan oposisi terhadap kabinet Abdurrahman Wahid secara bermakna.

Dengan sederetan penyakit yang diidapnya itulah kita sulit membayangkan kalangan Islam membangun oposisi Islam. Karena itu, saya setuju dengan Ulil ketika merekomendasikan agar agenda pembangunan oposisi itu dipindahkan saja menjadi proyek kultural pada level masyarakat. Namun membayangkan perwujudan rekomendasi inipun tidaklah mudah.

Jangan lupa, masyarakat muslim adalah objek dari pencangkokan paradigma berpolitik yang keliru di masa lampau. Selain itu, telah terlalu lama juga pendidikan Islam digarap secara keliru. Islam yang ditanam adalah Islam yang lebih mementingkan aspek ritualitas dan individualitas, dan sebaliknya abai pada aspek sosial, politik, dan ideologis. Sehingga, masyarakat muslim kerapkali ditandai oleh perilaku mereka yang sangat mengagungkan kesalehan ritual, namun akomodatif pada kesalahan-kesalahan sosial-politik semacam korupsi, kroniisme, kolusi, nepotisme, dan otoritarianisme.

Semua itu menggambarkan bahwa betapa demokratisasi berbasiskan masyarakat muslim bukanlah sesuatu yang mudah, dekat, dan murah. Namun, karena sebab itulah kita mesti melipatgandakan energi, kecerdasan, dan perhitungan.