ARSIP REFLEKSI

(29)
Derita Ambon,
Derita Pers,
Derita Kita
16 Januari 2000




Mengamati simpang siur lalu lintas pemberitaan tentang Ambon beberapa hari ini, mau tak mau mengingatkan saya pada dua hal sekaligus. Pertama, saya teringat kalimat pertama sebuah buku tentang politik pers yang saya lupa judul dan penulisnya. Kedua, saya teringat pada seorang anak baru gede (ABG) di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.

Buku kumpulan tulisan yang saya pinjam dari perpustakaan kampus beberapa tahun lampau itu, dimulai dengan kalimat yang masih saya ingat. Tertulis di sana: ''Jika sebatang pohon tumbang di sebuah hutan tetapi tak ada pers yang meliputnya, apakah Anda bisa yakin bahwa pohon itu benar-benar tumbang?''                                      
Kalimat itu menegaskan sebuah fakta yang susah diingkari bahwa kerapkali kita mendefinisikan kenyataan berdasarkan pada realitas yang dirumuskan media. Begitulah saya kira kasus Ambon, termasuk episode-episode menyedihkan pembantaian orang Islam di Halmahera belakangan ini, kita pahami sekarang. Media terlampau hemat bahkan cenderung menjadi pembohong dalam pemberitaan soal itu. Maka kita pun seolah-olah dipaksa menerima fakta bahwa di sana tak terjadi pembantaian yang biadab itu; bahkan tak terjadi apa-apa.

Selain mengingat kalimat pembuka buku di atas, saya juga teringat pada seorang ABG di kecamatan Taliwang, Sumbawa. Pada 20 Juni 1999, kebetulan saya sempat singgah di kecamatan di ujung barat pulau Sumbawa itu. Ketika saya lewat di sepanjang jalan yang bersisian dengan Danau Lebo -- sebuah danau yang tidak terurus tapi ditawarkan di buku panduan wisata Sumbawa -- saya bertemu dengan segerombolan ABG yang sedang berjalan-jalan. Di punggung kaos salah seorang ABG itu tertulis dengan jelas sebuah kalimat dengan nada sedikit menggugat: ''Mengapa Berita selalu Derita?''

Saya menduga, kaos oblong yang dipakai sang pemuda berasal dari institusi yang memang mencermati pers pada waktu itu -- di tengah gegap gempita teriakan reformasi dan hilir mudik berita-berita tentang derita dari berbagai daerah di Tanah Air akibat krisis berlapis-lapis. Karena itu, keluarlah gugatan terhadap pemberitaan media yang ternyata selalu mewartakan penderitaan.

Menyangkut Ambon, belakangan memang ada sedikit media massa yang dengan telanjang memberitakan pembantaian demi pembantaian kemanusiaan dalam konflik Ambon dan belakangan Halmahera. Membaca media yang jumlahnya sangat sedikit -- bahkan menyangkut koran, barangkali hanya Republika satu-satunya (sayangnya, saya dengar di beberapa tempat Republika diborong orang sehingga susah dicari) - yang mewartakan penderitaan kemanusiaan di Ambon, barangkali banyak orang yang akan merasa 'terganggu' lantaran lagi-lagi yang mereka baca adalah derita.

Lalu, bagaimanakah semestinya pers memperlakukan kasus konflik dan pembunuhan kemanusiaan semacam Ambon-Halmahera? Dalam kasus ini, saya tidak setuju dengan politik pers yang menyembunyikan fakta untuk alasan apapun. Sejauh pers bisa menjaga kredibilitas pemberitaannya, maka adalah kewajiban mereka untuk mewartakan segala sesuatu secara faktual dan aktual.

Dulu, dengan alasan stabilitas, pers memang kerap dipaksa untuk menyembunyikan banyak fakta menyangkut konflik sosial-politik horizontal (internal dalam masyarakat) maupun vertikal (negara versus masyarakat). Seolah-olah dengan cara ini konflik lebih mudah diresolusi dan masyarakat tetap hidup aman tentram damai. Tetapi sejarah sudah membuktikan bahwa hidup dalam timbunan kebohongan semacam itu ternyata hanya menebar dan menanamkan bom-bom waktu yang meledak hari-hari ini satu per satu.

Belajar dari sejarah yang gelap itu, maka sudah saatnya pers tampil dengan penuh tanggung jawab. Saya terus terang kecewa dengan pemberitaan umumnya media di Jakarta yang menutup mata terhadap pembantaian demi pembantaian di Ambon-Halmahera hari-hari ini. Kalau saja mereka benar-benar bekerja atas dasar prinsip kemanusiaan yang mengatasi perbedaan agama, politik, dan ideologi, semestinya mereka mewartakan Ambon-Halmahera sebagaimana adanya.

Dengan cara itu saya kira kita perlahan-lahan bisa membangun diri sebagai masyarakat yang semakin matang dan dewasa. Memang derita demi derita barangkali akan kerap terhidang oleh pers di depan mata kita. Tetapi justru dengan cara inilah kita berusaha mencari jalan keluar secara tepat dan proporsional. Dengan cara itu kita menjadikan derita Ambon sebagai derita kita.

Justru pada titik itulah pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Sukarnoputri benar-benar mengecewakan. Di satu sisi, Abdurrahman Wahid setiap kali selalu saja abai pada keharusan untuk bersikap serius, sistematis, terencana, dan terkoordinasi dengan pemerintahannya dalam menangani masalah Ambon dan masalah-masalah lain. Saya melihat kecenderungan pada Abdurrahman Wahid untuk percaya pada rekayasa fakta-fakta dari orang-orang di sekelilingnya, dan sebaliknya mengabaikan fakta-fakta sesungguhnya yang disampaikan langsung oleh orang pertama atau korban. Terakhir, dengan mempercayai bahwa korban Halmahera hanya lima orang, pemahaman Presiden Abdurrahman terhadap masalah Ambon menjadi terasa menggelikan.

Megawati setali tiga uang. Dalam posisinya sebagai Wapres dan pengemban tugas khusus menangani soal Ambon, Megawati bukan saja terlihat tak memiliki inisiatif yang jelas, tapi juga seperti orang yang kehabisan akal. Terlebih-lebih sejak awal ia salah memahami kasus Ambon dengan membantah bahwa ada unsur konflik agama di sana. Bagaimana mungkin kita berharap banyak pada Mega untuk memfasilitasi penyelesaian masalah Ambon sementara anatomi masalahnya saja ia pahami secara salah.

Pendeknya, sebagai warga negara saya cemas melihat pemerintah sekarang yang tak saja lamban namun juga seperti kehilangan kepekaan minimal terhadap masalah-masalah di sekelilingnya. Tetapi, masih ada waktu untuk mengingatkan mereka. Dan jika ternyata mereka -- pemerintah --  tak mau mendengar peringatan-peringatan rakyat menyangkut kebenaran, kita layak untuk semakin khawatir. Bukankah sejarah membuktikan bahwa pemerintahan seperti itu sangat mudah untuk menjadi keropos; atau tetap seolah-olah kuat tetapi dengan otoritarianisme sebagai penopangnya.

Sebagai warga negara, saya tak mau punya pemerintahan semacam itu. Saya berharap dengan segenap biaya transisi yang telah kita keluarkan, kita setidaknya memiliki pemerintah yang mau mendengar, punya rencana kerja yang jelas, dan tidak merasa benar sendiri. Tanpa pemerintahan  semacam ini, saya yakin transisi demokrasi akan semakin terancam.