ARSIP REFLEKSI

(30)
Bea Guru
30 Januari 2000


Bertemu dengan guru-guru yang mendidik saya semasa SD dan SMP, selalu saja meninggalkan kesan serupa. Bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun, mereka tetap saja bersahaja. Tapi justru karena sebab itulah, saya memendam penghormatan yang dalam dan tulus pada mereka.

Para guru, hari demi hari datang ke kelas, bertemu murid yang setiap tahun berganti-ganti, membukakan mata dan hati generasi demi generasi. Adalah mereka, para guru, yang sebetulnya, diam-diam, ikut menanam saham pada lahirnya jutaan kaum profesional di Indonesia, para eksekutif yang bergaya, para perwira tentara, para pengusaha, para menteri dan pejabat-pejabat negara, bahkan presiden sang kepala negara.

Tapi itulah. Para guru, dari waktu ke waktu tak juga memperoleh perhatian khusus. Sepanjang zaman merdeka, tidak pernah terlihat ada upaya besar-besaran dan sungguh-sungguh untuk menaikkan harkat sosial mereka. Benar, kenaikan gaji mereka kerap menjadi bahan diskusi ramai, membuat seolah-olah para politisi dan jurnalis sibuk bukan alang kepalang. Tapi pernahkah terjadi kenaikan gaji mereka mendahului dan melewati kenaikan harga bahan pokok yang sangat sigap? Bukankah kenaikan gaji guru yang tak seberapa, justru secara ironis, selalu menjadi semacam penanda bagi kenaikan harga-harga yang melambung di atas kenaikan gaji itu?

Sudah lama pula kita mendengar para guru yang memperoleh penghargaan material seadanya itu harus menghadapi berbagai jenis potongan untuk gaji mereka. Belakangan kita tahu bahwa ternyata imperium kekuasaan politik dan ekonomi Orde Baru yang bergelimang gemerlap ternyata ikut disumbang oleh potongan demi potongan permanen dari gaji para guru. Para guru yang bersahaja ternyata dari waktu ke waktu, tanpa mereka sendiri menyadarinya, dipaksa untuk mensubsidi kekuasaan yang mengabaikan mereka.

Jujur saja, umumnya kita lebih kerap lupa pada carut-marut nasib guru yang menyedihkan itu ketimbang mengingatnya dengan prihatin. Saya bukanlah pengecualian, sampai kemudian saya bertemu dengan beberapa kawan seangkatan di SMP, pekan lalu. Beberapa kawan saya menggeluti profesi mulia sebagai guru SD. Umumnya mereka lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) yang sekarang sudah dilikuidasi. Lewat mereka inilah saya bertemu dengan fakta-fakta menyedihkan tentang guru.

Di Jawa Barat, di Bekasi, dan di Cibarusah, ternyata berserakan calon guru SD yang menunggu diangkat bertahun-tahun sambil membaktikan dirinya sebagai sukarelawan atau guru honorer. Mereka menjadi sukarelawan bukan saja untuk membuat mereka memiliki pekerjaan tetap, tetapi juga untuk menutupi kekurangan guru di sekolah-sekolah dasar. Menurut data Lembaga Swadaya Masyarakat Peduli Anak Bangsa (LSMPAB) -- yang memusatkan perhatian pada pencarian upaya perbaikan nasib guru -- yang dikutip kawan saya Aep Saepudin, Jawa Barat saja sekarang ini kekurangan 33.768 tenaga guru SD, terdiri dari 17.877 orang guru kelas, 2.094 orang guru agama, dan 13.797 guru pendidikan jasmani.

Saya sengaja mengutip data itu untuk mengatakan bahwa mereka, para guru yang belum diangkat dan bersedia menjadi sukarelawan, tidak bisa semata-mata dipahami sebagai calon tenaga kerja yang belum terserap oleh lapangan kerja. Lebih dari itu, mereka selama ini telah ikut menopang terus berjalannya sistem pendidikan dengan segenap praktik belajar mengajarnya di sekolah-sekolah dasar. Tanpa para sukarelawan itu, sungguh tak terbayangkan bagaimana mungkin proses pendidikan dasar bisa berjalan seperti sekarang ini.

Tapi nasib mereka sebagai penopang sistem pendidikan, sungguh memprihatinkan. Para guru lulusan SPG, PGA (Pendidikan Guru Agama), dan SGO (Sekolah Guru Olahraga) -- lembaga-lembaga pendidikan yang sudah dilikuidasi pemerintah -- itu, menghabiskan sebagian besar waktu mereka mendidik murid-muridnya di sekolah tanpa memperoleh penghargaan yang layak.

Di umumnya tempat perkotaan atau semi-kota, honor mereka terentang antara Rp 25 ribu (!) hingga Rp 175 ribu per bulan. Jauh di bawah rata-rata Upah Minimum Regional (UMR) yang diterima buruh pabrik. Bahkan kalah oleh gaji umumnya pembantu rumah tangga.

Di desa-desa, honor mereka lebih menyedihkan. Ada yang menerima honor dari uang BP3 yang setiap bulannya Rp 1.500 per siswa. Di antara para guru sukarelawan itu, ada yang kemudian hanya menerima honor senilai uang BP3 dari hanya 4 sampai dengan 12 siswa saja, karena hanya sejumlah itulah siswa yang mampu membayar BP3. Bahkan ada yang menerima gaji semusim panen sekali. Itupun dengan catatan: panen kali itu berhasil; tidak digagalkan oleh hama, bencana alam, atau para penggagal panen lainnya.

Bahkan menurut cerita yang saya dengar langsung dari kawan-kawan saya yang menjadi guru sukarelawan itu, cukup banyak di berbagai pelosok para guru sukarelawan yang untuk membeli baju dan alas kaki yang paling sederhana saja mereka tak mampu. Sehingga ada guru yang yang mengajar dengan sandal jepit dan kaos oblong hasil pembagian pemilu dari partai. Saya tak ingin mengatakan bahwa sebaiknya guru memakai baju rapih licin dan bersepatu. Yang ingin saya tegaskan adalah betapa terpuruk nasib mereka.

Jika tak keliru, para guru dengan nasib menyedihkan itu diberi nama yang kelihatan gagah: Guru Wiyata Bakti. Namun kegagahan nama ini menyembunyikan sebuah proses yang amat tak manusiawi yang berlangsung di tengah kita. Para guru, terlebih-lebih di tingkat dasar, adalah 'penghasil' generasi demi generasi bangsa ini. Mereka memberikan saham sangat besar bagi penentuan nasib masa depan bangsa. Sebagai bagian dari 'proses produksi kemanusiaan' sumbangan mereka sungguh tak terkira besarnya. Tetapi, mereka terpuruk dalam nasib sangat tak layak dibandingkan dengan sumbangan besar yang mereka berikan.

Saya paham bahwa pemerintah sekarang tak punya banyak uang. Saya paham bahwa tak realistis meminta pemerintah menyediakan tambahan dana rutin yang sangat besar, mendadak, dan dramatis, untuk mengangkat dan menggaji para guru sukarelawan sekaligus segera. Tapi saya kira, pemerintah mestinya mempertimbangkan nasib mereka dalam prioritas kebijakannya, termasuk ketika menyusun anggaran pendapatan dan belanja negara.

Adalah menyedihkan jika nasib para guru sukarelawan yang memprihatankan -- plus nasib guru secara umum yang juga tak jauh berbeda -- itu tidak memperoleh prioritas penanganan, sementara pemerintah sibuk berusaha menaikkan gaji pejabat tinggi secara dramatis. Jika benar-benar dipaksakan, kekeliruan prioritas semacam ini menurut saya sulit maafkan bahkan sulit dipahami.

Selain mendesak pemerintah menjadikan nasib para guru sebagai prioritas, sudah saatnya menurut saya, kita menggalang upaya publik bagi perbaikan nasib guru. Dan saya mau tak mau teringat konsep 'bea guru' yang saya peroleh dari Sekolah Alam di Ciganjur. Di sekolah ini, biaya pendidikan yang dikeluarkan murid (persisnya orang tua murid)  diperuntukkan untuk menyejahterakan guru -- sesuatu yang memang sudah semestinya demikian.

Menurut saya, konsep bea guru seperti itu bisa diperluas pemaknaannya dalam rangka menggalang upaya perbaikan nasib guru. Selama ini, kita akrab dengan konsep bea siswa. Dana digalang besar-besaran guna membantu para siswa tak mampu dan pandai untuk menyelesaikan studi mereka. Konsep ini bisa dipinjam untuk guru. Saatnya sekarang, diperlukan lembaga yang menggalang dana dari masyarakat dan dari usaha bisnis swasta, untuk digunakan mensubsidi para guru. Lembaga ini tidak perlu tunggal dan terpusat, seperti GN-OTA, melainkan bisa ditumbuhkan di mana-mana, sebagaimana sebuah LSM layaknya.

Lewat penggalangan dana semacam itu, di satu sisi, kita tidak menumpukan diri pada kebaikan hati pemerintah, di sisi lain masyarakat bisa membalas budi para guru yang tak terkira besarnya. Dengan itu, kita menegaskan diri sebagai bangsa yang besar. Sebab, menurut saya, bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu meningkatkan taraf hidup para guru.

Wallahua'lam bish-shawab.