|
ARSIP REFLEKSI
(32)
Halonen
27 Februari 2000
Sebuah sore, selepas pukul 15:00 waktu Helsinki. Di luar, udara menekan kulit pada beberapa derajat celcius di bawah nol. Pada sebuah kafe kecil di Paasivuori di pinggiran kota Helsinki, saya menemukan sebuah pelajaran berharga.
Kamis, 18 Maret 1999, itu adalah hari terakhir kampanye Pemilu Parlemen Finlandia (Eduskunta). Tiga orang kandidat anggota Eduskunta dari Partai Sosial Demokrat yang sedang memimpin pemerintahan mengkampanyekan dirinya di kafe itu. Ketiganya, dua perempuan dan seorang laki-laki, berbicara penuh semangat -- memakai bahasa Finlandia yang seratus persen tak saya pahami dan diterjemahkan secara terbata-bata -- di depan sekitar tiga puluhan pengunjung kafe.
Terus terang saya tak ingat lagi nama sang kandidat laki-laki. Yang saya ingat, usianya sekitar 40-an. Ingatan saya ternyata lebih kuat pada dua kandidat perempuan. Yang pertama, Laura Tuomisto, berusia 25, termasuk salah satu kandidat termuda dalam pemilu kali itu. Penampilannya yang 'sangat tidak politisi' mengingatkan saya pada perempuan-perempuan seusianya yang mudah ditemukan di Plaza Senayan atau di Pondok Indah Mall, Jakarta. Saya menjadi saksi dari usaha keras Laura Tuomisto untuk memperlihatkan dirinya cukup matang untuk dipilih menjadi anggota parlemen. Dan, saya kira, ia memang terlihat jauh lebih matang dibanding umumnya perempuan yang saya temukan di Plaza Senayan atau Pondok Indah Mall. Bahkan dibanding perempuan-perempuan anggota parlemen berusia setara dengannya di Indonesia.
Dan bintang debat di kafe hari itu adalah Tarja Kaarina Halonen, sang kandidat yang sedang menjabat Menteri Luar Negeri. Sore itu, sejak awal, Halonen memang mengejutkan kami, rombongan “pemantau” pemilu Eduskunta dari Indonesia. Sebagai menteri luar negeri ia terlalu rileks dan tak berjarak. Ketika kami datang ke cafe itu, ia menyambut kami dengan antusias dan menjawab satu dua pertanyaan tentang agenda kampanye hari itu. Ia bergabung begitu saja dengan para pengunjung kafe. Sulit bagi saya untuk membayangkan Menlu atau menteri lain di Indonesia berlaku serupa itu.
Tapi bukan Ms Tuomisto dan Ms Halonen itu yang perlu saya ceritakan, melainkan pelajaran berharga yang saya peroleh sore itu. Kampanye yang hangat di kafe itu mewartakan dengan tegas betapa 'politik' telah menjadi sesuatu yang rileks, biasa-biasa saja, dan menjadi bagian hidup sehari-hari masyarakat Helsinki (dan Finlandia). Para pengunjung kafe sore itu bukanlah massa kampanye yang dimobilisasi untuk mengiyakan begitu saja cuap-cuap berkecap para kandidat. Mereka, para pengunjung itu, adalah masyarakat biasa dari strata sosial yang terlihat beragam yang datang ke kafe dan melibatkan diri secara biasa-biasa saja dalam kampanye Partai Sosial Demokrat hari itu.
Beberapa pengunjung yang tak tertarik pada materi kampanye, segera beranjak pergi setelah menghabiskan kopi dan roti. Beberapa di antaranya, sekadar hadir, mengisi perutnya, dan mendengar tiga kandidat anggota Eduskunta bicara seperti mendengar suara penyanyi kafe. Beberapa di antaranya memang mendengar secara serius, dan tampaknya sengaja mengikuti kampanye sore itu. Seorang laki-laki yang sepuh dan terlihat miskin dibandingkan pengunjung lain, mendengar semua pembicaraan secara antusias, dan segera mengambil giliran bicara dengan berapi-api. Ia mengeritik Halonen dan pemerintahan di bawah Partai Sosial Demokrat yang menurutnya banyak bicara tentang kapitalisme, liberalisasi, masyarakat Eropa, pasar bersama Eropa, dan mata uang bersama Eropa, sambil abai pada nasib orang-orang sepertinya. Para politisi terus-menerus berpidato tentang soal-soal besar, katanya, sementara orang-orang miskin semakin hari berkurang pendapatannya.
Di Paasivuori, pada sebuah kafe, saya pun menyaksikan politik yang rileks, biasa-biasa saja, dan menjadi bagian hidup sehari-hari. Di perjalanan pulang menuju hotel sore itu, saya menerawang. Betapa menjanjikannya masa depan politik di Indonesia manakala politik sudah menjadi sesuatu yang rileks, biasa-biasa saja, dan menjadi bagian hidup sehari-hari, seperti itu. Betapa menjanjikannya masa depan politik Indonesia manakala semua orang tahu hak-haknya, berjuang proaktif untuk membuat hak-haknya terpenuhi, dan melawan setiap kali terjadi perampasan atas hak-haknya. Dan semua itu dilakukan dengan rileks, biasa-biasa saja, dan menjadi bagian hidup sehari-hari. Betapa menjanjikannya masa depan demokrasi Indonesia, manakala setiap orang berpolitik -- dalam pengertian sejatinya yang mulia sebagai proses menegakkan hak sambil membayar lunas kewajiban -- seperti mereka rileks dan biasa-biasa saja di kamar mandi.
Di Paasivuori, pada sebuah kafe, sore itu, saya juga menemukan pelajaran tentang kampanye yang cerdas dan mencerahkan. Setiap kandidat mengambil waktu bicara secara memadai. Mereka menjelaskan posisinya dalam banyak masalah, dan menjanjikan harapan bagi perbaikan dengan posisi itu. Setiap calon pemilih mendengarkan semua itu biasa-biasa saja -- tanpa ketakziman yang dibuat-buat -- untuk kemudian memberi respons rasional. Kampanye pun menjadi ajang penyampaian pesan secara santun dan menjadi arena dialog dan perdebatan politisi dengan warga negara tentang agenda masa depan bersama.
Secara umum, selama “memantau” pemilu Eduskunta, saya memang menyaksikan sejumlah kampanye sejenis. Di televisi misalnya, para kandidat tidak banyak bacot, tak memboroskan janji-janji, melainkan menawarkan kerja sama bagi masa depan. Beberapa partai dan kandidat-kandidatnya memanfaatkan pusat-pusat keramaian kota untuk membagikan brosur, menyediakan kopi hangat, dan menjawab keingintahuan orang. Tentu saja tak ada kampanya bak sirkus seperti yang mudah kita jumpai di Indonesia.
Selain itu, di Paasivuori, pada sebuah kafe, sore itu, saya menemukan pelajaran tentang politik kaum perempuan. Adalah kebetulan bahwa dalam konteks sistem politik Eropa, Finlandia termasuk salah satu pionir dalam emansipasi berbasis gender. Dan di balik kemunculan Ms Tuomisto dan Ms Halonen sore itu, sebetulnya tersembunyi sebuah proses panjang emansipasi gender di Finlandia.
Dalam proses itulah tergambar bahwa kemajuan politik perempuan dan kesetaraan gender adalah implikasi dari perjuangan panjang mengubah perempuan dari identitas statistik menjadi identitas politik. Sebagai identitas statistik, perempuan hanyalah berarti kesamaan jenis kelamin biologis. Tapi sebagai identitas politik, perempuan adalah sebuah kekuatan yang tak bisa diabaikan. Keberhasilan pembentukan perempuan sebagai identitas politik inilah yang kemudian mengantarkan kemajuan politik perempuan dan kesetaraan gender dalam politik Finlandia.
Selama kunjungan di Finlandia, saya sendiri merasa beruntung sempat bertemu dengan sejumlah politisi dan aktivis perempuan Finlandia. Mereka - di antaranya, Ms Ulla Anttila (anggota parlemen dari The Green League), Ms Paula Kokkonen (anggota parlemen dari National Coalition Party/Konservatif), Ms Kirsti Lintonen (Menteri Muda Luar Negeri), Ms Riitta Harala (Direktur Pusat Statistik Finlandia), serta sejumlah aktivis KARA, organisasi payung LSM Finlandia -- adalah orang-orang yang mengesankan terutama karena profesionalisme dan kecerdasannya. Dan tentu saja Ms Halonen ada di antara mereka.
Lahir pada 1943, Halonen membina karier politiknya dalam waktu yang panjang. Setidaknya begitulah cerita buku Who's Who in Finland. Ia adalah aktivis Central Organisation of the Finnish Trade Unions. Antara 1970-1979 menjadi pengacara. Menjadi anggota parlemen sejak 1979. Pernah menjadi Second Minister of Social Affairs and Health (1987-1990), lalu Menteri Kehakiman (1990-1991), dan Menteri Luar Negeri (sejak 1995). Menurut catatan Kedubes Indonesia di Helsinki, Halonen juga pernah sekretaris pemerintah untuk urusan sosial (1969-1970), sekretaris parlemen bagi Perdana Menteri (1974-1975), anggota Dewan Kota Helsinki (1977), serta ketua komisi hubungan sosial di parlemen (1984-1987).
Dengan perawakan yang tidak tinggi untuk ukuran wanita Eropa serta wajah kotak yang keras, Halonen memberi kesan sebagai politisi yang patut diperhitungkan bukan lantaran ia perempuan melainkan lantaran kesiapan, profesionalisme, kecerdasan, dan kepemimpinannya. Saya kira, ini pelajaran penting bagi Indonesia. Identitas biologis keperempuanan tidak bisa dan tidak layak jadi bahan eksploitasi untuk mendulang atau sebaliknya mengenyahkan dukungan politik.
Dan pemilu Eduskunta pada 21 Maret 1999 itu akhirnya menjadi penegasan kapabilitas politik Halonen. Halonen meraih 15.795 suara di daerah pemilihan Helsinki. (Sementara, Laura Tuomisto tidak memperoleh suara yang cukup untuk merebut kursi parlemen). Suara untuk Halonen terbanyak kedua setelah Sauli Niinisto dari National Coalition Party (30.313 suara). Halonen bahkan mengungguli pemimpin partainya sendiri yang waktu itu masih menjabat Perdana Menteri, Paavo Lipponen (11.785 suara). Nama Halonen pun -- sekalipun saya tak mengerti isi beritanya secara keseluruhan -- berkali-kali disebut dalam koran terbesar Finlandia bertiras 486.856 esksemplar, Helsingin Sanomat, dalam edisi sehari setelah pemungutan dan penghitungan suara.
Maka, saya sama sekali tak terkejut ketika nama Tarja Halonen tiba-tiba saja muncul di koran-koran Indonesia dua pekan lalu (Februari 2000). Ia memenangkan Pemilu Presiden Finlandia dan menjadi perempuan pertama yang menjadi presiden di 'Negeri Sauna' itu. Menurut kesan sepintas saya, ia memang layak memperolehnya. Dan membicarakan jenis kelamin, jelas tak relevan dalam konteks itu.
Sejatinya, bukan Halonen benar yang ingin saya garisbawahi. Tetapi, beberapa cuil pelajaran dari Finlandia untuk kita. Tentu saja tak semua pelajaran Finlandia itu baik bagi Indonesia. Finlandia dan Indonesia memiliki perbedaan dan jarak kultural, sejarah, dan politik yang amat jauh. Namun, adalah tak keliru jika kita bercita-cita, suatu saat di Indonesia, politik akan menjadi sesuatu yang rileks, biasa-biasa saja, dan melekat dalam hidup sehari-hari. Adalah tak keliru bercita-cita, suatu ketika hubungan politisi dan warga negara akan menjadi setara, rasional, dan kalkulatif. Dan sungguh wajar jika kita bercita-cita, wacana politik dan gender suatu saat tak lagi dibicarakan dengan cengeng melainkan sebagai sebuah proses perjuangan yang berkeringat dan makan tenaga.
|