ARSIP REFLEKSI

(33)
Membuat
Parlemen Kita Efektif
12 Maret 2000



Memikirkan persoalan efektivitas DPR di era -- yang katanya --  reformasi sekarang ini, membuat saya mengingat kembali Mr Seppo Tiitinen. Saya duga usianya di atas setengah abad. Perawakannya tinggi besar dengan pembawaan tenang dan terlihat berwibawa. Untuk orang dengan postur sebesar dirinya, bicaranya terlampau pelan dengan nada yang cenderung rendah. Tapi saya menduga, ia politisi yang sudah teruji.

Saya bertemu dengan Mr Tiitinen hampir persis setahun lalu, pada 18 Maret 1999, di sebuah siang akhir musim dingin di gedung Parlemen Finlandia di Helsinki. Bersama rombongan pemantau pemilu dari Indonesia, saya bertemu Mr Tiitinen sebagai Sekretaris Jenderal Parlemen Finlandia untuk mendengar penjelasannya tentang seluk beluk parlemen Finlandia.

Setelah memperoleh penjelasan yang singkat namun efektif tentang kuatnya posisi dan peranan parlemen dalam sistem politik Finlandia, saya mengambil kesempatan untuk bertanya. Bagaimanakah sistem berparlemen di Finlandia mengamodasi opini publik secara efektif? Begitulah kira-kira pertanyaan yang saya ajukan.

Saya ingat, dengan cepat Mr Tiitinen menjawab pertanyaan itu dengan menguraikan empat cara akomodasi opini publik. Pertama, akomodasi opini publik terjamin oleh tegaknya prinsip konstituensi. Dalam system politik Finlandia, setiap wakil rakyat di parlemen memiliki konstituen atau basis pemilih yang jelas.

Anggota parlemen Finlandia dipilih melalui pemilu sistem proporsional dengan pilihan individual, bukan daftar partai. Seluruh wilayah Finlandia dibagi menjadi 15 daerah pemilihan. Setiap calon dari berbagai partai tertera namanya di daftar calon anggota parlemen untuk masing-masing daerah pemilihan itu. Pemilih memilih nama kandidat langsung di kertas suara, bukan memilih partai seperti di Indonesia. Sistem proporsional dengan pilihan individual ini lah yang kemudian membuat setiap kandidat harus benar-benar memiliki basis di daerah pemilihannya untuk bisa merebut suara yang cukup untuk memperoleh kursi parlemen. Terbentuklah prinsip konsituensi dengan cara ini.

Menurut Mr Tiitinen, hal itu menjadi jaminan bagi terus terakomodasinya publik dalam kerja parlemen. Sebab, sistem itu membuat setiap anggota parlemen mau tak mau dijamin hak-hak individualnya sebagai anggota parlemen, mengatasi kolektivitas yang dibuat atas nama partai. Maka, setiap anggota parlemen memiliki saluran langsung ke pemilih di basisnya masing-masing, dan semua itu terefleksikan dalam kerja mereka di parlemen.

Kedua, akomodasi opini publik oleh parlemen Finlandia terjaga melalui mekanisme parlemen. Parlemen memiliki mekanisme yang mengatur secara rinci bahwa setiap anggota parlemen maupun parlemen secara institusional mesti mempraktekkan prinsip mandatarisme. Mekanisme parlemen ini membuka banyak celah bagi tersalurkannya opini publik ke dalam ruang-ruang pengambilan keputusan parlemen.

Ketiga, akomodasi opini publik dilakukan melalui media massa. Finlandia menjalankan sistem pers yang bebas. Sistem pers juga sudah berdiri di atas masyarakat Finlandia yang maju secara sosio-ekonomi sehingga media benar-benar berhadapan dengan konsumen yang kritis dan banyak menuntut. Dalam banyak hal, media massa telah memainkan peranan yang sungguh-sungguh dan efektif untuk menyambungkan opini publik dengan kerja parlemen.

Lalu, sampailah Mr Tiitinen pada cara keempat yang menurut saya sangat penting. ''Parliament is a very-totally open house,'' kata Mr Tiitinen mantap. Setiap orang, juga pers, bisa datang dan masuk ke mana saja ruangan di gedung parlemen, kecuali Ruang Sidang Utama. Dan sambil agak becanda, Mr Tiitinen mengatakan, ''bahkan semua orang bisa masuk ke ruang sauna yang ada di gedung parlemen''.

Ya. Menurut saya, bisa masuknya semua orang ke ruang sauna-nya parlemen merupakan simbolisasi yang sangat tepat untuk menggambarkan betapa parlemen Finlandia berusaha menjadi rumah yang sepenuhnya terbuka bagi rakyat. Rakyat Finlandia sangat terkenal sebagai penggandrung sauna, mandi uap di ruang yang bersuhu panas. Menurut pemandu rombongan kami, perbandingan antara jumlah tempat sauna dan populasi adalah satu banding sepuluh! Artinya, ada sekitar 500 ribu tempat sauna untuk penduduk Finlandia yang hanya sekitar 5 juta.

Kepingan-kepingan ingatan itulah yang tiba-tiba saya ingat manakala saya memikirkan upaya-upaya mengefektifkan DPR sebagai parlemen kita. Pemilu 7 Juni 1999 dan SU MPR Oktober 1999 sudah diadakan. Secara teoritis, semestinya, kita bisa mulai menata parlemen kita sehingga bisa jauh lebih efektif ketimbang parlemen demi parlemen yang pernah kita miliki selama ini.

Tentu mengingat penggambaran Mr Tiitinen tentang parlemen Finlandia tidak serta merta mesti diartikan bahwa saya membayangkan kita bisa meminjam sistem dan cara kerja parlemen Finlandia. Yang ingin saya garis bawahi adalah betapa relevannya, empat cara akomodasi publik di Finlandia itu dengan kebutuhan peningkatan efektivitas parlemen kita saat ini. Tetapi, justru di situ jugalah sumber masalah dan kendala kita.

Kurang atau bahkan tidak tegaknya prinsip konsituensi misalnya, menjadi salah satu cacat Pemilu 1999 yang mengganggu. Mestinya, dengan sistem proporsional berbenih distrik yang diatur UU No 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum, kita bisa mulai menata ulang konsituensi. Tetapi, celakanya, proses politik yang a lot dan menyebalkan di KPU justru telah menghilangkan benih-benih distrik dari sistem proporsional kita. Jadilah kemudian sebuah sistem yang sulit dibedakan dengan sistem pemilu proporsionalnya Orde Baru. Maka, prinsip konstituensi lagi-lagi terancam untuk tidak bisa atau setidaknya sangat susah ditegakkan dalam mekanisme parlemen kita. Para wakil rakyat potensial tidak benar-benar menjadi wakil rakyat dan hanya menjadi wakil partai atau wakil dirinya sendiri.

Yang agak menggembirakan adalah soal mekanisme berparlemen. Tata tertib DPR yang baru memberi peluang jauh lebih besar pada publik untuk menyalurkan aspirasinya ke parlemen. Ini digarisbawahi oleh iklan layanan masyarakat yang belakangan kerap ditayangkan di televisi yang menjelaskan betapa banyak cara bagi rakyat untuk menyalurkan kehendaknya lewat parlemen. Namun demikian, saya menangkap kesan, mekanisme baru yang menjanjikan ini belum bisa dijalankan secara optimal karena masih tersisanya cara berpikir dan bekerja lama dalam parlemen. Entah di sekretariat jenderalnya ataupun di institusi parlemennya langsung.

Selain itu, media massa kita juga belum bisa saling memanfaatkan diri dengan parlemen untuk membuat opini publik lebih terakomodasi. Memang kita punya pers yang sudah relatif bebas. Namun belum ada upaya menjadikan media massa sebagai anasir yang terintegrasi secara permanen dan berstruktur ke dalam mekanisme kerja parlementer kita.

Lalu, parlemen kita juga sudah mulai dijadikan rumah rakyat yang terbuka. Setidaknya, setiap hari gedung parlemen diramaikan oleh demonstrasi. Sayangnya, semua gejala ini masih ditandai oleh euforia yang belum terkendali dan terlembagakan. Sehingga, pekan lampau misalnya, dengan prihatin kita menyaksikan sekelompok demonstran justru mempertontonkan vandalisme dengan mencoreng-moreng gedung DPR dengan grafiti.

Tetapi, saya ingin mengatakan bahwa secara naluriah upaya peningkatan efektivitas parlemen sebetulnya sudah ada di jalur yang tepat. Hanya saja kita masih butuh upaya serius menata dan mengelola upaya-upaya peningkatan efektivitas itu sehingga lebih sistemik, mendasar, dan berjangka panjang.

Sambil mengingat Mr Tiitinen saya juga ingat bahwa jika tak keliru, pada Maret 2000 ini Finlandia disibukkan oleh reformasi konstitusi. Sejauh ingatan saya terhadap penjelasan banyak pihak yang kami temui di Finlandia tahun lalu, salah satu arah reformasi atas Konstitusi 1995 itu adalah terus memperkuat parlemen sehingga benar-benar menjadi parlemen yang efektif yang mengontrol semua aktivitas pemerintahan. Jika Finlandia dengan sistem berparlemen yang kuat tak jemu mereformasi parlemennya, apatah lagi kita yang masih tertaih-tatih memperbaiki diri dalam semua hal. Karena itu, semestinya kita tak jemu mereformasi parlemen kita sehingga semakin efektif.