ARSIP REFLEKSI

(34)
Menikmati
Kekanak-kanakan
30 April 2000



Di satu sudut kecil kampus Ohio State University di bawah rintik hujan di tengah alam Columbus yang sedang berbenah keras menyambut musim semi, saya berbincang dengan Sang Hun, salah seorang kawan Korea saya. Kami bicara tanpa tema dan arah sampai kemudian tanpa ragu ia berkata: Satu-satunya cara yang layak untuk menghormati para politisi adalah mencetak gambar wajah mereka di kertas toilet. ''Dan saya,'' katanya kemudian, ''dengan senang dan riang menggunakannya setiap saat.''

Sebagai pembaca buku-buku teks pengantar ilmu politik selayaknya saya tak terkejut. Kawan Korea itu hanyalah wakil dari khalayak lebih luas yang --menurut buku-buku teks-- cenderung mempersepsikan segala soal berkait dengan politik sebagai memuakkan. Tapi, nyatanya saya terkejut. Saya pikir, bagaimana mungkin di bawah pemerintahan yang relatif demokratisnya Kim Dae Jung, setelah melewati masa peralihan yang relatif berhasil dari era Roh Tae Woo ke Kim Youn-sam, ada seorang Korea yang masih mempersepsikan politik dan politisi sebegitu buruk.

Tapi tahulah saya kemudian. Di balik ide gila mencetak wajah para politisi di kertas toilet, tersembunyi luka-luka dan trauma seorang Korea. Seorang yang dipaksa terus-menerus menyaksikan pemerintahan yang kanak-kanak dalam waktu yang sangat panjang. Seorang yang dipaksa menonton pemerintahnya, terutama di masa kekuasaan tentara, hampir selalu melakukan hal-hal yang tak layak dilakukan dan di saat sama tidak melakukan hal-hal yang sepatutnya mereka lakukan. Seorang Korea yang dipaksa menjadi saksi hidup dari tingkah polah pemerintah yang kanak-kanak dan kerapkali menjengkelkan lantaran melakukan sesuatu secara sia-sia tanpa kesungguhan.

Dan saya pun jadi teringat Pasar Rebo. Sekitar sebulan sebelum berangkat ke Columbus, dengan masygul saya menyaksikan bekas-bekas pembakaran kios-kios di pinggiran perempatan Pasar Rebo. Pemda DKI Jakarta di bawah Sutiyoso konon sedang melakukan penertiban. Bukan pembakaran itu benar yang membuat masygul tapi apa yang bekerja di baliknya. Di seluruh sisi perempatan yang ramai oleh keluar masuknya kendaraan dari dan ke terminal Kampung Rambutan itu, kios-kios dibakari meninggalkan puing hitam yang kotor. Tapi, hanya sekitar seminggu setelahnya kios-kios kembali bermunculan dan keruwetan kembali persis seperti sedia kala. Ya, di balik pembakaran itu yang bekerja adalah kesia-siaan dan ketidaksungguhan. Pemerintah yang maunya menunjukkan kegagahan malah membuat parade kekanak-kanakan.

Dan celakanya, sebagaimana halnya kawan Korea saya, saya dipaksa untuk terus-menerus bertemu dengan pemerintahan seperti itu. Kasus Pasar Rebo tidak sendirian. Saya dengar waktu itu, hal serupa terjadi secara bersamaan di banyak tempat di Jakarta. Kasus itu juga bukan yang pertama. Selama lebih dari empat dekade, kekanak-kanakan, kesia-siaan, dan ketiadaan kesungguhan kerap melekat sebagai tabiat yang diidap pemerintah. Maka kasus Pasar Rebo itu bisa kita pahami sebagai replika cara kerja pemerintahan kita selama ini.

Ada beberapa pola kerja sebuah pemerintahan yang kanak-kanak. Mereka biasanya tidak suka masuk ke akar masalah melainkan melarikan diri darinya sambil memahami masalah dari kulitnya yang permukaan. Mereka biasanya senang mengurus soal-soal baru untuk menimbun soal lama; dan begitulah seterusnya sehingga sejatinya hampir tak ada soal yang mereka pecahkan. Mereka senang mempertontonkan kegagahan, misalnya dengan bertindak tegas, tapi secara vulgar membatalkan kegagahannya sendiri dengan ketiadaan konsistensi dan kesungguhan.

Mereka senang mengumbar pidato dan pernyataan penuh bunga dan kuah tapi sejatinya di belakangnya bekerja sistem pemerintahan yang tak tertata. Biasanya mereka merasa cerdas tatkala banyak orang dibikin bingung dan tak bisa berkutik. Mereka banyak membelanjakan waktunya untuk merekayasa seolah-olah segala soal adalah mudah, untuk menutup-nutupi fakta bahwa mereka tak sanggup mengatasi soal-soal besar. Mereka percaya diri dengan kuatnya kekuasaan mereka, tapi bukan untuk membuat pemerintahannya efektif melainkan untuk membunuh lawan-lawan politik. Mereka tersenyum --atau tertawa-- terus, tapi abai pada banyak kesedihan yang menjadi abadi karena ketidakbecusan mereka mengatasi sumber-sumber kesedihan itu.

Begitulah kurang lebih saya memahami salah satu kelemahan mendasar Orde Baru di bawah Soeharto. Dan pemerintahan setelahnya --tak terkecuali di bawah Abdurrahman Wahid sekarang-- mungkin, bahkan sangat mudah, untuk melanjutkannya.

Dan boleh jadi benarlah yang ditulis Vera Britain, seorang penulis Inggris yang hidup antara 1893-1970, dalam Rebel Passion (1964). Ia bilang, politik selalu merupakan ekspresi ketidakdewasaan penguasa. Bahkan salah seorang penulis dan jurnalis Amerika yang penuh humor, PJ O'Rourke, memiliki sinisme yang lebih keras. Kurang lebih ia menulis dalam bukunya Parliament of Whores (1991), ''Giving money and power to government is like giving whisky and car keys to teenage boys.''

Saya, jelas, tak punya sinisme setajam itu. Bagaimanapun, saya masih percaya unsur-unsur baik dari pemerintahan. Tetapi tak ada alasan bagi kita untuk percaya sepenuhnya bahwa pemerintahan sekarang --yang bekerja sambil mengutip jargon-jargon reformasi atau demokratisasi-- secara serta merta akan menjadi dewasa. Tampaknya, cukup banyak indikasi bahwa mereka --pemerintahan sekarang-- tertarik untuk mencoba kembali beberapa tingkah polah kekanak-kanakan sebagaimana dipraktekkan dengan penuh gelimang kenikmatan oleh pendahulunya.

Karena itu, ada baiknya juga membiarkan Presiden Abdurrahman Wahid sering-sering datang ke pertunjukan Srimulat atau Ketoprak humor. Memang di situlah barangkali ia bakal menemukan cermin yang tepat. Tapi sebaiknya sesekali Sang Hun diajak serta.