Menimbang
Jenderal Wiranto
Adil, 28 Oktober-3 November 1998



Segera setelah Soeharto jatuh pada 21 Mei 1998, nama Jenderal Wiranto disebut oleh umumnya media massa asing sebagai salah satu nominator utama kandidat presiden Indonesia pasca Soeharto (dan Habibie). Bahkan, namanya hampir meroket sendirian waktu itu.

Umumnya media massa asing terkesan oleh penampilan Wiranto yang dingin dalam pidato penegasan loyalitasnya kepada kepemimpinan Habibie, beberapa menit setelah Habibie dilantik menjadi Presiden. Media massa sing juga memuji loyalitas konstitusional yang ditunjukkan  Wiranto dalam peralihan kekuasaan yang sangat mendadak itu. Media massa asing juga menyebut-nyebut sukses Wiranto dalam upaya menghindari kudeta militer yang saat itu bisa mengancam proses peralihan kekuasaan dari Soeharto ke Habibie secara damai.

Detik-detik menengangkan dan mengejutkan dalam suksesi politik itu sekarang telah lewat lima bulan lebih. Nama Wiranto kembali disebut-sebut sekarang sebagai “kuda hitam” yang bisa tiba-tiba bisa mencuat naik menggantikan posisi Habibie, terutama di tengah situasi politik yang saat ini memanas menjelang SI MPR 10-13 November 1998. Bisakah kita membayangkan kemungkinan Wiranto akan benar-benar menjadi “kuda hitam”? Benarkah Wiranto memiliki “ambisi poltik yang tidak tertahan” untuk menggantikan Habibie hari-hari ini?

Saya meragukan kemungkinan munculnya Wiranto sebagai kuda hitam secara mendadak lantaran beberapa alasan. Pertama, karakter politik individual yang dimiliki Wiranto, setidaknya seperti yang bisa kita lihat dan pahami selama lima bulan terakhir. Wiranto tampil sebagai seorang Jenderal yang memilih sikap sangat tenang dan tidak ambisius. Saya menduga bahwa dalam konteks itu, Wiranto justru akan menghindarkan diri dari tawaran untuk tampil dalam kepemimpinan politik dalam proses yang terburu-buru. Menjadi ambisius dan tergesa-gesa bertentantangan dengan karakter politik yang ditampilkan Wiranto itu.

Kedua, strategi politik yang dipilih Wiranto tampaknya mirip-mirip dengan yang pernah dipakai Jenderal Soeharto dalam proses transisi kekuasaan dari Sukarno pada penghujung tahun 1960-an. Wiranto mengambil sikap yang menghindar untuk terlalu cepat mengambil alih kekuasaan. Boleh jadi, Wiranto sangat menghindari benar kemungkinan pencitraan kudeta militer pasca-Habibie. Strategi yang akan dipilih Wiranto -- seandainya ia benar-benar berkeinginan menjadi pemimpin nasional -- tampaknya bersabar menunggu proses demokratis-konstitusional melalui Pemilu 1999 dan SU MPR 1999.

Ketiga, logika sikap politik ABRI selama fase transisi ini adalah benar-benar mengandalkan rumus loyalitas konstitusional. Bila dalam SI MPR tengah November nanti, Wiranto menyediakan diri sebagai kuda hitam menggeser Habibie, maka ia mengkhianati rumus loyalitas konstitusional itu -- sesuatu yang tampaknya tidak akan dilakukan Wiranto.

Keempat, beban politik dan psikologis Wiranto sebagai Pangab -- dalam suasana euforia reformasi yang mendatangkan banyak hujatan bagi ABRI sekarang ini -- telah sangat berat. Wiranto sangat direpotkan oleh pembenahan internal dan perbaikan citra politik ABRI yang sudah centang perenang. Dalam konteks ini, sulit membayangkan bahwa Wiranto bakal meninggalkan ABRI untuk menjalani "kenaikan karier politik" yang terlampau cepat dan dipaksakan.

Kelima, ada kesan bahwa sejak awal Wiranto menghindari kursi kepemimpinan nasional di saat-saat sulit sekarang. Bagaimanapun mesti diakui bahwa siapapun yang menjadi pemimpin nasional Indonesia di masa sulit ini -- sekalipun ia Superman misalnya -- bakal menghadapi kesulitan besar untuk berhasil. Siapapun presiden pasca-Soeharto dan di era transisi awal saat-saat ini, adalah presiden apes. Ada kesan bahwa Wiranto tidak berkenan menjadi presiden apes semacam itu.

Kelima alasan itu yang mendasari ketidakyakinan saya bahwa Wiranto akan muncul sebagai kuda hitam di tengah prosesi SI MPR November 1998. Saya menduga bahwa Wiranto akan lebih senang jika diberi kesempatan untuk memimpin angkatan bersenjata yang tengah dilanda kesulitan sangat besar sekarang ini.

Terlepas dari lima alasan potensial di atas, menurut hemat saya, manakala Wiranto menyediakan diri menjadi kuda hitam saat ini, ia akan berkesulitan untuk menjadi pemimpin nasional yang berhasil. Bagaimanapun, ia memiliki hubungan emosional dengan Orde Baru -- terutama dengan Soeharto - yang terlampau erat. Ini menyulitkannya untuk leluasa memimpin Indonesia menuju era baru yang lebih demokratis. Setidaknya, Wiranto akan sulit mewujudkan agenda-agenda perubahan mendasar yang saat ini menjadi tuntutan riil kalangan pro-reformasi.

Dalam posisi seperti itu, Wiranto boleh jadi hanya akan menjadi “Habibie Kedua”. Dan menurut saya, “Habibie Kedua” tidak dibutuhkan Indonesia dalam era reformasi total.