Islam Hammer
Ummat, 7 November 1998



Menjelang SI MPR 10-13 November 1998, ada sebuah gejala penting yang layak dicermati dengan saksama: Di balik proses aliansi dan realiansi politik pasca-Soeharto ternyata terjadi reintegrasi kalangan Islam. Representasi paling simbolik dari gejala ini tidak datang dari terselenggaranya Kongres Umat Islam (KUI) II di Pondok Gede selama satu pekan lalu atau Apel Akbar Umat Islam (5/11) di Senayan, melainkan dari bisa diterimanya Nurcholish Madjid oleh audience KUI II yang datang dari segmen politik Islam yang amat beragam.

Tampaknya tumbuh semacam kesadaran kolektif baru di semua kalangan Islam -- hampir tanpa kecuali -- bahwa kekuatan umat perlu digalang dan dipersatukan menghadapi pelbagai ketidakpastian era reformasi. Gejala ini tentu mudah dipahami dengan memperhitung-kannya vis a vis tumbuhnya kekuatan kalangan (yang dipahami sementara orang) ada di luar Islam yang direpresentasikan oleh Barisan Nasional dan Koalisi Nasional.

Bagaimana gejala reintegrasi politik kalangan Islam itu mesti kita maknai? Apa agenda yang bisa kita titipkan ke tengah gejala itu? Menurut hemat saya, cara terbaik untuk memaknai dan menyisipkan agenda ke tengah gejala itu adalah mengingat kembali salah satu judul pidato Sukarno: Jangan sekali-sekali melupakan sejarah atau Jasmerah.

Sejarah mencatat bahwa penggalangan politik semacam itu ternyata bukan soal baru. Dan, sebagaimana dicatat Ruth McVey -- seorang Indonesianis terkemuka -- kalangan Islam kemudian hanya terposisikan sebagai "palu" (hammer): Dijadikan perkakas oleh kekuatan di luar dirinya untuk memukul sesuatu yang didefinisikan sebagai "musuh bersama". Tugas sang palu pun berakhir setelah sang musuh terpukul koma atau mati. Sang palu lalu ditaruh kembali di tempat perkakas di gudang sejarah.

Cerita kelam sejarah itulah yang menurut hemat saya perlu diingat oleh kalangan Islam yang sedang gandrung menggalang persatuan politik belakangan ini. Dalam konteks itu, ada setidaknya empat kekeliruan yang berperan memposisikan kalangan Islam menjadi palu.

Pertama, kalangan Islam kerapkali hanya sekadar marah dan tidak mempolitisasi diri. Kemarahan biasanya hanya bersifat ad hoc, tidak memiliki agenda dan target politik jangka panjang yang permanen. Sementara politisasi diri merupakan gejala berjangka panjang, permanen, dan jelas agenda dan target politiknya. Jika kalangan Islam mereintegrasi dirinya hanya lantaran banyaknya pengganggu Habibie dan agenda politik Habibie -- seperti SI MPR atau Pemilu -- maka boleh jadi lagi-lagi kita menonton kemarahan, bukan politisasi.

Kedua, kalangan Islam kerapkali sibuk dengan soal kulit atau kemasan bukan isi. Kalangan Islam misalnya pernah terjebak untuk bergembira menyambut pemberian label halal pada produk makanan, dan tidak mendiskusikan seberapa bertanggungjawab (accountable) prosedur dan praktik ekonomi-politik di balik labelisasi produk makanan itu. Jika reintegrasi politik kalangan Islam hari-hari ini hanya menyoal perlu tidaknya SI MPR dan tidak menggeledah kesejalanan (compatibility) agenda-agenda SI dengan tuntutan reformasi total, maka lagi-lagi kalangan Islam terjebak mengurusi kulit.

Ketiga, kalangan Islam kerapkali meributkan soal-soal di seputar aktor bukan wacana atau ismenya; the singer not the song. Maka yang kerapkali terjadi adalah aliansi yang keliru karena diikat oleh identitas ketokohan bukan wacana atau isme yang diproduksi sang tokoh. Hubungan kalangan Islam dengan tokoh-tokoh militer tertentu bisa jadi contoh keterjebakan ini. Hubungan mesra kalangan Islam tertentu dengan Soeharto di penghujung Orde Baru juga hampr-hampir mencerminkan keterjebakan serupa. Jika reintegrasi politik kalangan Islam hari-hari ini hanya diikat oleh variabel Habibie, maka kita menyaksikan kekeliruan serupa.

Keempat, kalangan Islam senang membuat kerumunan dan bukan barisan. Ketika di Senayan berkumpul puluhan ribu orang tanpa pemahaman memadai tentang sebuah platform, target, agenda kerja kolektif, basis moralitas, dan kepemimpinan, maka boleh jadi kita menyaksikan kerumunan. Dan sebuah kerumunan dengan gampang bisa dibubarkan; sebaliknya mereka sulit kembali berkumpul dalam ikatan politik setara. Lain halnya barisan yang ketika dibubarkan -- dengan represi sekalipun -- justru makin menguat dan mengkristal menjadi perlawanan politik yang teguh.

Sejarah politik Islam Orde Baru ditandai oleh kekeliruan-kekeliruan semacam itu. Itulah yang membuat kalangan Islam potensial menjadi palu. Kekeliruan itu pula yang membikin kalangan Islam dalam 40 tahun terakhir sebetulnya pertama-tama tidak dikalahkan oleh represi rezim yang sistematis, melainkan oleh dirinya sendiri melalui fragmentasi dan disintegrasi internal.

Suka atau tak suka, itulah sejarah. Adalah produktif di tengah suasana reintegrasi politik kalangan Islam yang sedang pasang naik sekarang ini mengingatkan: Jangan sekali-sekali melupakan sejarah dan jangan sekali-sekali mengulangi kekeliruan sejarah.

Barjarmasin, 7 November 1998