Politik Pasca
Sidang Istimewa
Pilar, 18 November 1998



Lumayan. Inilah tampaknya komentar yang tepat untuk hasil-hasil Sidang Istimewa (SI) MPR 1998 yang baru saja lewat. Lumayan, dalam pengertian bahwa sejumlah aspirasi yang berkembang di tengah masyarakat ternyata diakomodasi namun dengan sejumlah catatat penting atasnya. Sayangnya, hasil yang sekedar lumayan itu mesti dibayar dengan jatuhnya kurban-kurban kemanusiaan yang sangat besar sepanjang empat hari penyelenggaraan sidang -- jauh lebih besar dan tak ternilai harganya dibanding biaya finansialnya (lebih dari Rp 20 milyar).

Kita tahu bahwa SI MPR 1998 akhirnya memenuhi tuntutan yang sudah berkembang sejak lama. Di antaranya: membatasi masa jabatan Presiden; menetapkan komitmen untuk memenuhi hak-hak asasi manusia, melakukan redistribusi ekonomi pusat-daerah; melegalisasi keharusan pemilu yang dipercepat, memberi panduan bagi pemerintahan transisional di bawah pimpinan Habibie untuk menjalankan langkah-langkah reformasi dan menjalankan kebijakan anti korupsi-kolusi-nepotisme dalam rangka menegakkan pemerintahan yang bersih; menghapuskan asas tunggal; menghapuskan mekanisme referendum yang telah membuat pasal 37 UUD 1945 -- yang memberi peluang perubahan UUD 1945 -- mandul, dan lain-lain.

Namun pada saat yang sama, SI MPR juga melakukan semacam fait a compli terhadap proses pembahasan UU Politik yang akan dilanjutkan oleh DPR pasca-SI. Fait a compli terjadi dalam bentuk dilegalisasinya kedudukan ABRI di DPR yang sebetulnya masih menjadi bahan perdebatan penting di seputar RUU Susunan Kedudukan MPR/DPR/DPRD. Selain merupakan fait a compli, ketetapan itu juga membelokkan substansi perdebatan publik mengenai kedudukan ABRI di DPR. Bahwa persoalan pokoknya bukan pada berapa persen atau berapa banyak anggota ABRI harus diangkat di DPR. melainkan bahwa mekanisme pengangkatan terhadap siapa pun -- entah ia ABRI, kyai, dosen, buruh, mahasiswa, atau siapapun -- semestinya tidak diberi tempat.

Lalu, dengan SI seperti itu bagaimanakah watak dinamika politik yang bisa kita bayangkan pasca-SI MPR? Apakah "akomodasi dengan catatan" itu akan membuat gerakan protes sosial atau perlawanan politik akan mengecil, bertahan, atau membesar? Apakah jalannya pemerintahan transisi di bawah pimpinan Habibie akan lebih mulus dan lancar setelah SI MPR 1998 memberi tambahan legitimasi politik baginya?

Jawaban atas pertanyaan di atas bisa diberikan dengan mempertimbangkan beberapa aspek. Pertama, pasca-SI MPR 1998 masih tersedia isu-isu yang bisa membuat gerakan protes sosial dan perlawanan politik masih bertahan, bahkan membesar. Respons yang kurang memuaskan terhadap tuntutan penghapusan dwifungsi ABRI termasuk penghapusan kursi ABRI di DPR; dan akomodasi secara tidak penuh terhadap tuntutan pengusutan dan pengadilan Soeharto dan kroninya; adalah dua isu lama yang akan terus menghidupan gerakan protes sosial dan perlawanan politik.

Di luar itu, ada dua isu baru yang potensial menambah nafas gerakan protes sosial dan perlawanan politik, yakni isu-isu di seputar tuntutan diadakannya pengusutan secara tuntas, transparan, dan adil, Insiden 13 November 1998; serta isu-isu di seputar perlakuan terhadap kalangan oposisi semacam Barisan Nasional sebagai pelaku-pelaku makar. Kedua isu ini tampaknya akan menjadi bahan ledak yang eksplosif manakala pemerintahan Habibie tidak menuntaskannya secara elegan berdasarkan prinsip kesamaan dan ketegasan hukum.

Kedua, eskalasi gerakan protes sosial dan perlawanan politik tampaknya masih mungkin untuk dibayangkan manakala pemerintahan tansisional Habibie masih memperlihatkan kekikukannya untuk memutus masa lampau, menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumahnya berkaitan dengan kekeliruan-kekeliruan Orde Baru, mengusut dan mengadili Soeharto, memberantas KKN, serta mencanangkan era yang benar-benar baru.

Menyangkut pengadilan atas Soeharto, misalnya, persoalan yang dihadapi pemerintahan Habibie sebetulnya bukan kurang tersedianya dasar atau perangkat hukum yang memadai, melainkan masih sangat tegasnya kekikukan Habibie dalam memperlakukan Soeharto dan meluruskan kekeliruan-kekeliruan masa lampau.

Dalam kerangka itu, mengandalkan semata-mata Tap MPR mengenai pemerintahan yang bersih anti-KKN, adalah tidak cukup. Sebab, perangkat dan dasar-dasar hukum bagi pengusutan dan pengadilan Soeharto sebetulnya sudah tersedia lengkap sebelum Tap MPR itu dihasilkan oleh SI MPR. Harus ditunggu seberapa jauh pemerintahan Habibie berhasil menghilangkan kekikukannya berhadapan dengan Soeharto dan produk-produk kekuasaannya di masa lampau. Jika kekikukan itu tidak berhasil diminimalisasi dan dihilangkan, maka Tap MPR yang melegalisasi pengusutan dan pengadilan atas Soeharto justru akan menjadi bumerang bagi Habibie dan pemerintahan transisional yang dipimpinnya.

Ketiga, gerakan protes sosial dan perlawanan politik juga bisa bertahan bahkan membesar manakala pemerintah Habibie tidak berhasil mengklarifikasi dan menyelesaikan secara hukum tuduhan makar untuk kelompok oposisi yang tergabung dalam Barisan Nasional (dan Koalisi Nasional). Kegagalan klarifikasi dan penyelesaian hukum tersebut akan membuat pemerintahan Habibie --lagi-lagi -- memperoleh cap sebagai pelanjut cara-cara masa lampau warisan Soeharto dan Orde Baru. Lebih lanjut, cap sebagai pelanjut ini bisa menjadi alasan bagi kalangan oposisi untuk saling mendekatkan diri dan mencari konvergensi politik di antara mereka.

Dengan mempertimbangkan tiga aspek di atas, sulit untuk memastikan bahwa SI MPR mempermudah dan memperlancar jalannya pemerintahan transisional Habibie. Yang terjadi menurut hemat saya adalah berlanjutnya eskalasi persoalan-persoalan ekonomi-sosial-politik yang menjadi pekerjaan rumah pemerintahan Habibie. Pada saat yang sama, pemerintahan Habibie akan berkesulitan untuk menyelesaikan persoalan itu dalam waktu singkat dan memuaskan banyak orang.

Karena itu, pasca-SI MPR 1998, terbangun tiga arus politik di sekitar pemerintahan Habibie. Arus pertama berupa sedikit menguatnya legitimasi-formal pemerintahan setelah berbagai kelompok politik mulai menjadikan "pemilu demokratis secepat-cepatnya" sebagai platform politik mereka yang baru. Perdebatan di seputar absah tidaknya pemerintahan Habibie akan makin surut sejalan dengan makin tegas dan konkretnya komitmen Habibie untuk benar-benar melaksanakan pemilu yang demokratis secepat mungkin.

Selain itu mengalir arus politik kedua, yakni (justru) mengecilnya legitimasi-moral bagi pemerintahan Habibie akibat Insiden 13 November 1998 dan pembersihan oposisi melalui tuduhan makar. Arus ini akan membesar manakala rumus pertanggungjawaban dan klarifikasi moral-hukum-politik tidak berhasil ditegakkan oleh pemerintahan Habibie secara adil, transparan, dan tuntas.

Pada saat yang sama mengalir arus politik ketiga berbentuk makin mengerasnya pertarungan politik antarkekuatan politik secara vertikal (society versus state) maupun horizontal (intra-negara dan intra-masyarakat). Arus ini adalah arus yang tak terhindarkan sejalan dengan makin dekatnya proses peralihan kekuasaan dari pemerintahan transisional di bawah kepemimpinan Habibie kepada pemerintahan baru yang terbentuk secara (mudah-mudahan) demokratis. Arus ini juga tak terhindarkan mengingat pasca SI MPR gerakan sosial mengalami perpecahan tahap kedua setelah sebelumnya -- pasca suksesi dari Soeharto ke Habibie -- mereka mengalami perpecahan tahap pertama.

Dalam kerangka itu, aliansi, realiansi, dan konflik akan terjadi secara lebih transparan dan sengit. Ini niscaya akan melahirkan persoalan-persoalan baru yang sangat mungkin meminta biaya sosial dan biaya politik yang tidak murah: semacam ledakan sosial, berlanjutnya eksploitasi sentimen emosi dan irasionalitas massa yang memancing amuk massa.

Tiga arus politik itulah yang akan sangat menentukan seberapa kuat dan elegan daya tahan pemerintahan transisional Habibie. Dalam konteks itu, ada kebutuhan untuk mempersingkat fase transisi di bawah kepemimpinan Habibie. Pemilu Mei (atau Juni?) 1998 harus segera diikuti oleh pergantian kepemimpinan nasional melalui Sidang Umum MPR. Menurut hemat saya, seyogianya pada bulan Agustus 1999 Indonesia sudah memiliki kepemimpinan baru yang terpilih melalui proses publik yang demokratis.

Tidak cukup sampai di sana. Fase pemerintahan transisional Habibie itu akan diingat sebagai sebuah fase transisi yang membawa Indonesia ke era baru yang lebih baik manakala seluruh agenda politik di dalamnya dijalankan secara demokratis tanpa terlalu banyak dinodai oleh skandal-skandal moralitas semacam pembunuhan politik.

Dalam konteks mendesakkan proses transisional yang demokratis itu, RUU Politik yang sedang dibahas di DPR sekarang harus menjadi salah satu pusat perhatian gerakan publik dan gerakan oposisi sekarang. Membayangkan masa depan Indonesia yang demokratis memang tidak mudah, namun saya percaya bahwa UU Politik yang demokratis bisa membantu sedikit -- sangat sedikit -- mempermudahnya.

Depok, 18 November 1998