Skenario Politik 1999
SINAR, 3 Januari 1999



Tahun 1998 kita lewati dengan penuh ketidakpastian dan euforia reformasi. Tahun 1999 kita masuki dengan harap-harap cemas. Pada tahun 1999 inilah kita akan mengadakan Pemilu pertama pasca-Soeharto. Pada titik ini -- secara teoritis -- kita bisa berharap bahwa transisi menuju demokrasi akan segera dimulai seusai Pemilu dan pergantian Presiden. Namun, di baliknya menyembul potensi ledakan kemarahan dan konflik politik serta praktik-praktik politik kanak-kanak elite politik. Jika soal terakhir ini tak terkelola maka boleh jadi kita bukannya menuju demokratisasi melainkan rekonsolidasi otoritarianisme.

Dengan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan di atas maka teropong politik atas tahun 1999 dapat dibuat dengan mempertimbangkan pertama, kemampuan pengendalian dan pengelolaan kemarahan rakyat. Tahun 1999 adalah tahun eskalasi kemarahan rakyat; bukan sebaliknya. Sepanjang tahun ini tersedia banyak sumber kemarahan.

Salah satu sumbernya adalah gerakan mahasiswa. Mahasiswa -- jika tidak segera merevitalisasi gerakannya -- bisa terjebak untuk sekadar mengobarkan kemarahan, bukan politisasi. Kemarahan adalah gejala reaksi-emosional-spontan tanpa diimbuhi oleh kesiapan agenda, platform, program aksi, kepemimpinan(-kepemimpinan), jaringan, dan moralitas politik. Mahasiswa -- sekali lagi jika tidak segera merevitalisasi gerakannya -- bisa terjebak menjadi pelaku kemarahan kolektif dengan daya desak moral dan politik yang makin menurun.

Jika potensi kemarahan mahasiswa merupakan ekspresi oposisi, maka di seberangnya tersedia sumber kemarahan lain: Gerakan para pendukung pemerintahan dan atau pendukung status quo yang potensial meletupkan kemarahan via gerakan berbasis massa. Rumus "Dialog Empat" yang ditawarkan Gus Dur tampaknya ingin diadakan untuk meredam potensi kemarahan ini. Sayangnya, keempat tokoh yang hendak berdialog -- dilihat dari wacananya -- lebih berkarakter prostatusquo ketimbang sebaliknya.

Sumber kemarahan yang bersifat formal dan relatif permanen akan datang dari partai-partai politik baru yang jumlahnya sudah mencapai di atas 120 buah. Kebanyakan dari partai-partai itu sedang dalam fase politik yang meluap-luap namun sebagian besar dari mereka akan segera tersadar bahwa partainya tak memenuhi kualifikasi untuk ikut pemilu. Ini akan memancing kemarahan yang -- dihitung dengan rumus "realitas media" --  memiliki skala besar karena akan dikomodasi dengan sangat layak oleh media massa. Wacana pemilu tandingan yang sudah digulirkan oleh partai-partai gurem ada dalam konteks kemarahan ini.

Sumber kemarahan lain berskala terbesar dengan daya ledak yang sangat tinggi datang dari ketidakpuasan sosial-ekonomi yang sebetulnya sudah menjadi gejala lama yang terpendam. Ledakan kemarahan ini telah dimulai pada 1998 melalui berbagai kerusuhan dan penjarahan massal. Tampaknya gejala serupa akan eskalatif pada 1999.

Yang sangat mencemaskan, potensi kemarahan rakyat itu menemukan lahan yang sangat subur di tengah krisis ekonomi yang masih akan berlanjut sepanjang 1999. Potensi ledakan kemarahan ini makin mencemaskan ketika bersinggungan dengan isu-isu SARA akibat gagalnya Orde Baru membina ideologi toleransi sekalipun sukses membangun suasana toleransi.

Letupan kemarahan yang menjangkau banyak wilayah dan berkembang secara sporadis itulah yang tampaknya akan menjadi gejala 1999. Ketika banyak orang bicara tentang potensi revolusi sosial, tampaknya kemarahan itulah yang dimaksudkan. Sebuah revolusi sosial sebetulnya sulit dibayangkan; yang akan terjadi hanyalah ledakan-ledakan kemarahan tanpa target politik revolusioner.

Daftar potensi ledakan kemarahan itulah yang harus dikendalikan dan dikelola. Jika berhasil, maka lebih lapanglah jalan bagi proyek transisi demokrasi; dan jika gagal maka justru lapanglah jalan bagi kembalinya kekuatan-kekuatan lama yang berkoalisi dengan kekuatan (yang kelihatannya) baru untuk membajak reformasi ke arah rekonsolidasi otoritarianisme.

Kedua, pengendalian dan pengelolaan konflik politik. Selain potensial "semarak" dengan ledakan kemarahan, tahun 1999 juga potensial ditandai oleh konflik-konflik politik. Pemilu dan pergantian presiden yang terjadi di tahun ini akan menjadi lahan yang sangat subur bagi aktualisasi konflik-konflik politik.

Semenjak pengesahan RUU Politik di akhir Januari, konflik politik akan menggelombang hingga ke tahap-tahap persiapan pemilu berikutnya: pembuatan rincian aturan pemilu, pembentukan Komisi Pemilihan Umum (KPU), pendataan dan pendaftaran pemilih, pendaftaran dan pengesahan partai-partai peserta pemilu, penetapan wilayah dan sistem perhitungan hasil pemilu secara lebih rinci. Semua itu berpuncak pada Mei-Juni di tengah kampanye, hari pencoblosan, penghitungan suara, dan penetapan anggota DPR hasil pemilu.
Dalam konteks itulah Pemilu 1999 bisa menjadi sumber kecemasan. Pemilu multipartai ini akan diisi oleh kompetisi antarpartai yang belum sempat membina basis politik dan ideologi di dalam dirinya, apalagi di tengah massanya. Akibatnya partai-partai peserta pemilu pada umumnya adalah "kerumunan-kerumunan massa yang berbendera". Ia merepresentasikan "politik bendera", bukan "politik aliran" -- yang ditandai oleh adanya ikatan politik-ideologi intra-elite partai dan dalam massa partai -- seperti yang terjadi dalam Pemilu 1955.

Selain itu, Pemilu 1999 diadakan setelah selama 40 tahun hampir semua elemen bangsa tidak dibiasakan hidup dalam tradisi perbedaan yang sehat, kompetisi secara dewasa, dan sirkulasi kekuasaan yang menghasilkan pemenang dan pecundang yang baik. Pemilu 1999 pun akan ditandai oleh kegagapan dan kekikukan para aktor politiknya yang bisa memancing eskalasi konflik politik.

Dalam kerangka itu, pengendalian dan pengelolaan ledakan-ledakan konflik politik semestinya menjadi salah satu prioritas kerja politik di tahun 1999. Dalam konteks ini, menambahi sumber konflik atau menabuh genderang konflik hanya akan menggagalkan proyek transisi demokrasi.

Ketiga, keberhasilan melaksanakan Pemilu 1999 yang demokratis, kompetitif, jujur, dan adil. Pemilu 1999 adalah pertaruhan masa depan politik Indonesia. Kegagalan menjalankannya jelas akan mempermanenkan krisis politik, sosial, dan ekonomi. Kegagalan pemilu akan membuka pintu bagi berkembangnya anarkisme -- ini tak sama dengan revolusi -- dan kembalinya kekuatan-kekuatan otoritarian.

Lebih lanjut, pemilu 1999 juga seyogianya diikuti oleh pergantian presiden yang memakzulkan kepemimpinan yang otentik. Pemilu semestinya menjadi pengantar bagi hadirnya kepemimpinan baru yang tidak lagi berbau masa lampau dan tidak berwacana lama yang antidemokrasi. Sukses dan gagal dalam dua proyek besar -- Pemilu dan pergantian presiden -- inilah yang akan menentukan wajah politik kita selanjutnya.

Situasi politik 1999 yang mencemaskan itu membawa sebuah kebutuhan konkret:  Dibutuhkan aktivis-aktivis politik non-partisan yang bekerja untuk menyadarkan elite-elite politik, membangun komunikasi antarpartai, membangun komunikasi antarelite politik secara luas, menyabarkan dan menyadarkan rakyat yang marah. Semua pekerjaan itu tidak efektif jika diambil alih oleh elemen-elemen negara atau rezim karena alasan teknis dan moral. Secara teknis rezim tidak akan berkemampuan mengambil alih semua pekerjaan itu, sementara secara moral rezim sudah banyak kehilangan kredibilitasnya untuk melakukan hal-hal itu.

Karena itu diperlukan wakil-wakil publik di berbagai tingkat nasional dan lokal serta dari berbagai kalangan untuk mengerjakan proyek-proyek penyadaran dan penyabaran itu. Salah satunya adalah mahasiswa. Sebagai hampir tinggal satu-satunya oposisi dan wakil publik yang otentik -- yang tidak rusak sosok moralnya lantaran dosa masa lampau -- mahasiswa bisa mengambil peran sejarah yang menentukan: Konsisten membangun gerakan oposisi berbasiskan moralitas intelektual dan menghindari keterjebakannya sebagai kolektivitas massa yang marah.

Akhirnya, seperti apa wajah politik 1999, sebetulnya terpulang pada kita semua -- baik secara individu maupun kelompok -- tanpa kecuali. Semoga saja kita bisa menjaga berjalannya skenario politik yang terbaik: Menjadikan tahun 1999 sebagai fase mulainya transisi menuju demokrasi yang elegan, tanpa kekerasan, dengan korban kemanusiaan seminimal mungkin.

Depok, 3 Januari 1999