Lidah Presiden
di Antara Dua Jenderal
Adil, 24 Februari - 2 Maret 1999




Dalam sistem yang executive heavy seperti Indonesia, berita tentang Presiden biasanya merupakan berita ritun yang membosankan. Terlebih-lebih jika Presiden yang berkuasa adalah seseorang yang sangat hemat menampilkan ekspresi politiknya yang bersifat informal, seperti Soeharto.

Kemunculan Habibie sedikit mengubah kebosanan semacam itu. Berita tentang Presiden yang biasanya monoton, rutin, dan sering tidak menarik, selama kekuasaan Habibie sedikit berubah. Berkali-kali publik dikejutkan oleh pernyataan atau langkah Habibie yang keluar dari kelaziman a la pendahulunya.

Pekan lalu, sebuah pernyataan semacam itu dibuat Habibie dalam pertemuan dengan editor media massa asing. Habibie mengungkapkan adanya pengkonsentrasian pasukan Kostrad oleh Letjen Prabowo Subianto di sekitar rumahnya pada saat peralihan kekuasaan dari Soeharto ke Habibie. Habibie pun mengakui bahwa informasi itu bersumber dari Jenderal Wiranto. Publik pun terkejut lantaran tidak lazim seorang Presiden di negeri misterius seperti Indonesia mengungkapkan stok informasi ekslusif semacam itu.

Dalam konteks politik apakah pernyataan Habibie itu harus kita letakkan? Apa motif di baliknya? Apa yang bisa kita refleksikan dari "insiden" ini?

Ada beberapa kemungkinan konteks politik yang melatari pernyataan Habibie soal konsentrasi pasukan Prabowo itu. Pertama, Habibie membuat pernyataan itu secara spontan tanpa mempertimbangkan secara matang implikasi politiknya yang luas dan dalam. Ini mungkin saja terjadi mengingat Habibie kerapkali lebih senang memanjakan spontanitas-ekspresifnya ketimbang mengikuti keharusan formal-protokoler. Dalam karakternya inilah Habibie kerapkali slip of the tongue.

Kedua, pernyataan itu dengan sengaja dibuat Habibie untuk menunjukkan bahwa perjalanannya menuju kursi Presiden tidak semudah yang dibayangkan orang. Dengan pernyataan itu Habibie ingin menunjukkan bahwa kursi kepresiden yang didudukinya bukanlah hadiah yang ia peroleh secara benar-benar gratis dari Soeharto -- bahkan menantu Soeharto pun potensial menentangnya.

Ketiga, dengan menunjukkan kepada publik stok informasi ekslusif yang dimilikinya di sekitar peristiwa transisi kekuasaan, Habibie justru ingin mengkonfirmasikan melalui publik kredibilitas informasi itu. Dan lantaran informasi itu bersumber dari Wiranto, maka Habibie dengan sengaja memposisikan Wiranto sebagai sumber informasinya dalam posisi terpojok. Sebelum ada klarifikasi tuntas, pernyataan Habibie yang seolah-olah memojokkan Prabowo itu justru memojokkan Wiranto, sebab menjadi jelas bagi publik bahwa Wiranto ternyata memposisikan diri sebagai seteru Prabowo ketika menjalankan peranannya di seputar transisi kekuasaan dari Soeharto ke Habibie.

Keempat, Habibie dan Wiranto ada dalam posisi persekutuan yang sudah sangat kuat, dan pernyataan Habibie merupakan serangan yang mereka buat untuk memojokkan Prabowo sebagai (mantan) seteru Wiranto. Kemungkinan ini hanya bisa dibayangkan manakala Habibie pun sudah memposisikan diri berseberangan dengan Prabowo (dan kelompoknya).

Saya lebih percaya pada kemungkinan pertama dan kedua. Pernyataan Habibie lebih merupakan sebuah ekspresi spontan. Ekspresi spontan itu tampaknya dilatari oleh keinginan Habibie untuk menunjukkan betapa dramatis dan tidak mudah sebetulnya transisi kekuasaan dari Soeharto ke Habibie. Habibie boleh jadi ingin menunjukkan rasa syukur bahwa ia bisa melewati fase krusial itu.

Dalam kerangka itu, pernyataan Habibie -- atas dasar informasi dari Wiranto -- soal adanya konsentrasi pasukan Prabowo, lebih merupakan insiden politik yang menghadirkan tiga pelaku penting: lidah presiden Habibie, Jenderal Wiranto, dan Jenderal Prabowo. Sebuah insiden lidah presiden di antara dua jenderal.

Habibie sendiri tampaknya tidak sadar implikasi politik luas dan dalam yang bisa didatangkan oleh pernyataan itu. Jika benar demikian, maka insiden pernyataan konsentrasi pasukan Prabowo sebetulnya mengkonfirmasikan penilaian orang selama ini bahwa Habibie naif secara politik.

Dalam kerangka itu, ada dua sisi kesimpulan yang mungkin dibuat orang. Dari sisi pertama, Habibie akan dianggap sebagai orang yang sebetulnya tidak siap menjadi Presiden yang mengemban posisi politik sangat menentukan dan sensitif; terlebih-lebih di tengah situasi transisi yang penuh ketidakpastian seperti sekarang ini. Habibie hanya cocok menjadi Presiden di tengah Indonesia yang sudah normal, ketika segenap infrastruktur demokrasi -- termasuk mekanisme politik yang transparans -- sudah terbentuk. Dari sisi ini, ekpresi spontan Habibie (termasuk emosionalitasnya yang kerap muncul dalam konteks itu) adalah sebuah masalah. Asumsinya: publik lebih terbiasa dengan presiden yang pelit ekspresi dan informasi-sisi-dalam, ketimbang presiden yang ekspresif dan boros informasi-sisi-dalam.

Bisa diduga bahwa penilaian semacam ini cenderung didukung oleh mereka yang terbiasa dengan cara kerja sistem politik lama, termasuk para pembantu Habibie warisan Orde Baru.

Di sisi kedua, kenaifan politik Habibie itu bisa juga  dinilai sebagai sesuatu yang positif. Bahwa menuju masyarakat Indonesia baru kita memang membutuhkan seorang Presiden yang terbuka dan melakukan transparansi semua informasi penting kepada publik. Dilihat dari sisi ini, kerapnya Habibie slip of the tongue merupakan sebuah berkah yang tidak disengaja.

Dari sisi manapun kita membuat kesimpulan atas insiden pernyataan Habibie, ada sebuah kebutuhan implikatif dan amat mendesak yang tersedia saat ini. Habibie, Wiranto, dan Prabowo perlu melakukan klarifikasi secara jelas mengenai saat-saat menegangkan dalam transisi kekuasaan dari Soeharto ke Habibie.

Klarifikasi itu bahkan harus dilanjutkan ke pihak-pihak terkait, seperti Pangdam Jaya, Kapolda, Komandan Marinir, KSAD, dan Danjen Kopassus (yang menjabat waktu itu), serta para prajurit dari kesatuan Kopassus, Kostrad dan Marinir yang bertugas di lapangan waktu itu. Tujuan terpenting dari klarifikasi ini adalah membuat penjelasan sejarah peralihan kekuasaan Soehart-Habibie seterang mungkin. Sejauh ini memang sudah beredar versi-versi jurnalistik tentang peralihan kekuasaan itu, namun belum ada satu pun yang sudah memiliki kredibilitas akademis.

Langkah penjelasan sejarah semacam itu harus dilakukan untuk menghidari kembali dimonopolinya penyusunan sejarah oleh "para pemenang". Kita punya tugas penting untuk mengakhirir kekeliruan penyusunan sejarah di masa Orde Baru ketika berjilid-jilid buku sejarah disusun dan diedarkan ke tengah publik berdasarkan penuturan sepihak penguasa. Dan Soeharto lalu menyita sangat banyak halamannya sebagai pemeran utama heroik.