Menuju Kampanye Tertib                                                
Republika, 10 Mei 1999



Mulai tanggal 19 Mei sampai dengan 4 Juni, seluruh wilayah Indonesia -- tentu dengan mengecualikan beberapa ''wilayah panas'' semacam Timtim, Aceh, dan Ambon -- akan diharu-biru oleh kegiatan kampanye Pemilu 1999. Banyak orang menduga bahwa kampanye kali ini akan lebih ''meriah'' dibandingkan kampanye pemilu-pemilu Orde Baru, mengingat jumlah peserta pemilu yang sangat membengkak.                         

Jakarta misalnya, akan di-''meriah''-kan oleh kampanye sepuluh partai politik setiap harinya. Daerah-daerah lain memang tak akan se-''meriah'' Jakarta mengingat jumlah partai politik yang ada di  daerah umumnya lebih kecil dibandingkan di Jakarta sebagai ibukota negara. Namun ke-''meriah''-an tampaknya tetap akan menjadi fenomena umum di mana-mana.                                                    

Sayangnya, ke-''meriah''-an itu harus diberi tanda kutip. Sebab, sejalan dengan semakin dekatnya pelaksanaan kampanye, kecemasan menjadi gejala kolektif di mana-mana. Banyak orang yang masih dilanda trauma kekerasan politik Pemilu 1997; sebagian yang lain tertrauma oleh kerusuhan tengah Mei yang meluluhlantakkan Jakarta, Solo, dan beberapa kota lain di Indonesia; sebagian yang lain tertrauma oleh konflik-konflik horizontal semacam di Ambon dan Sambas atau koflik vertikal semacam di Aceh; sebagian yang lain tertrauma oleh konflik antarpartai yang sudah mulai menggejala beberapa waktu terakhir ini.  

Dalam konteks Pemilu 1999, konotasi kata ''meriah'' bergeser dari ''rasa gembira'' ke ''rasa cemas''. Kemeriahan telah hampir sama maknanya dengan rasa was-was yang mengganggu dan menggelisahkan. Rasa was-was kolektif itu bersumber pada beberapa pertanyaan yang jawabannya masih mengambang: Sanggupkah aturan yang ada -- baik UU    Nomor 3/1999 tentang Pemilu maupun Keputusan KPU Nomor 13/1999 tentang Tata Cara dan Jadwal Kampanye Pemilu -- mengatur semua hal dan menjangkau semua kemungkinan yang bisa terjadi di lapangan? Mampukah aparat penegak hukum menegakkan tertib umum dalam masa kampanye yang sangat ingar bingar itu? Mampukah partai-partai berbesar hati menjaga tertib umum? Dalam praktiknya, mungkinkah model pengarahan massa dihambat? Sanggupkah pimpinan partai mengelola massanya? Mungkinkah massa bersikap dewasa dan tidak destruktif?                      
Sejauh ini, aturan tentang kampanye telah termuat dalam Bab IX UU No 3/1999 yang kemudian dirinci dalam Keputusan KPU No 13/1999. Sekalipun aturannya telah cukup rinci namun ada beberapa keterbatasan yang diidap oleh dua aturan itu. Pertama, kegiatan pawai baik dengan kendaraan maupun berjalan kaki dinyatakan terlarang namun tidak ada yang bisa menjamin bahwa larangan ini akan diikuti. Belum memasuki kampanye saja, pawai semacam itu sudah berjalan tanpa larangan, manalah mungkin ia bisa dicegah dalam masa kampanye.                  

Kedua, aturan jumlah massa pertemuan tertutup hanya dibatasi dengan ''disesuaikan dengan kapasitas ruangan''. Ini menimbulkan persoalan mengingat banyak ruangan di perkotaan yang bisa memuat ribuan orang. Tentu saja ini membawa konsekuensi pada terjadinya arak-arakan massa menuju ruangan melewati jalan-jalan protokol. Bagaimana mungkin arak-arakan -- yang terlarang itu -- dicegah.                         

Ketiga, pengerahan massa lintas Daerah Tingkat II dinyatakan sebagai kegiatan terlarang namun sampai sekarang tidak ada klarifikasi mengenai bagaimana larangan itu ditegakkan. Mungkinkah massa kampanye dari Jakarta Selatan bisa dihentikan dan diminta berbalik ketika hendak memasuki Jakarta Pusat, misalnya?                              

Keempat, pengamanan kampanye yang menjadi tanggung jawab kepolisian  bakal menjadi soal krusial. Selain lantaran kampanye berlangsung serentak di semua daerah sehingga membutuhkan jumlah pengaman luar biasa besar, ini menjadi krusial lantaran di berbagai tempat polisi sudah kehilangan wibawa. Ketika Kongres V PDI Perjuangan dilangsungkan di Denpasar, misalnya, polisi tidak digubris dan tergantikan posisinya oleh pengaman lokal berbaju adat Bali.                                

Kita masih bisa membuat daftar yang lebih panjang lagi mengenai keterbatasan aturan kampanye. Namun yang terpenting adalah bahwa semua keterbatasan itu mengarah pada satu soal mendasar: Aturan tampaknya sulit ditegakkan dengan baik. Entah lantaran kelemahan dalam aturannya sendiri, lantaran preseden pelanggaran sudah berlangsung tanpa ada tindakan sanksi yang tegas, lantaran minimnya kewibawaan dan profesionalisme aparatur penegak hukum, lantaran ketidakdisiplinan partai, dan lantaran perilaku massa yang tidak mungkin dikendalikan siapa pun.
Lalu, masih mungkinkah kita membayangkan kampanye yang tertib dalam konteks situasi yang begitu muram itu? Menurut hemat saya, mungkin saja tergantung pada seberapa mungkin kita sanggup menyiapkan sejumlah prasyarat berikut.                                                    

Sebelum kampanye dimulai, KPU hendaknya memfasilitasi pertemuan informal antarpartai-partai peserta pemilu untuk membuat sejumlah  kesepakatan (gentleman of agreement) tentang kode etik partai. Mengingat daya jangkau aturan hukum ternyata sangat terbatas, maka memang hanya kesepakatan etik yang bisa mengikat partai-partai untuk setidak-tidaknya meminimalisasi kecenderungan destruksi atau untuk mau bertanggung jawab secara dewasa atas kekeliruannya dalam kampanye.    
Mobilisasi dan optimalisasi kesiagaan dan kesigapan aparatur keamanan adalah prasyarat berikutnya. Baik Panglima TNI maupun Kepala Kepolisian dituntut tanggung jawabnya untuk menyediakan prasyarat ini segera, di tengah profesionalisme aparatur yang memang terlihat sangat kedodoran.                                                            

Prasyarat lain adalah pembentukan lembaga pengaduan dan penyelesaian  sengketa kampanye. Mengingat institusi keamanan dan peradilan sangat terbatas efektvitasnya maka diperlukan lembaga khusus yang menangani pengaduan dan penyelesaian sengketa kampanye. Bisa saja lembaga ini merupakan konsorsium yang melibatkan penitia pemilu, pengawas pemilu, pemantau pemilu, dan LSM; atau dijadikan lembaga formal yang dibawahi langsung oleh Mahkamah Agung atas dasar wewenangnya yang diatur oleh  UU No 2 dan 3/1999 sebagai pemberi sanksii bagi partai dan pengawas   pemilu. Sekalipun sangat terlambat, masih ada waktu satu pekan untuk membentuk lembaga ini.                                                

Akhirnya, masyarakat pemilik kecemasan kolektif tidak bisa berdiam diri. Mereka semestinya membangun aliansi-kecemasan dengan menyokong habis-habisan kampanye antikekerasan dan pemilu damai yang telah mulai difasilitasi oleh berbagai insitusi publik. Bentuk terkonkret dari aliansi ini memang hanya pengumandangan seruan dan desakan moral, namun pasti tetap ada manfaatnya. Tidak ada pilihan lain sekarang selain semua orang Indonesia mestinya menjadi penyeru dan pendesak kedamaian dan antikekerasan. Dengan cara inilah kita ikut menyokong berjalannya kampanye yang tertib. Amien.
Taman Mini, 9 Mei 1999