Setiap Suara Punya Makna                                              
Republika, 7 Juni 1999




Akhirnya kita tiba pada hari ini, Senin 7 Juni 1999. Lalu, kita menjadi bagian dari puluhan juta -- bahkan menurut data resmi lebih  dari seratus juta -- orang Indonesia yangberbondong-bondong ke tempat pemungutan suara (TPS).                                               

Apa yang kita lakukan di sana kelihatannya sederhana saja. Melihat daftar nama calon anggota parlemen yang tertempel di depan TPS. Mencatatkan kehadiran ke petugas di pintu masuk TPS. Menunggu giliran dan akhirnya mengambil kartu suara. Memastikan bahwa kartu suara kita sudah dibubuhi materai berhologram. Menuju bilik suara. Mencoblos tanda gambar pilihan kita masing-masing. Keluar dari bilik untuk      memasukkan kartu suara ke kotak suara yang tersedia. Menandai jari dengan tinta sebagai tanda kita sudah menggunakan hak pilih. Keluar dari TPS. Selanjutnya, terserah kita, terserah Anda.                  

Ya. Kelihatannya sederhana dan tak membutuhkan banyak waktu. Terlebih-lebih di dalam bilik suara, waktunya hanya beberapa puluh detik atau satu dua menit saja. Namun sejatinya di bilik itulah  berlaku idiom penting demokrasi: Suara rakyat suara tuhan. Setiap     kita, rakyat, pada detik-detik menentukan itu sebetulnya sedang ikut mengguratkan coreng-moreng masa depan Indonesia. Kita sedang merancang masa depan kita sendiri.                                              

Ikut serta mencoblos berarti ikut menentukan pemerintahan, kepemimpinan, dan sistem politik macam apa yang bakal terbangun di masa datang. Ikut serta mencoblos berarti ikut menentukan ke arah mana bangsa ini akan dibawa oleh penguasa baru kelak. Ikut mencoblos berarti memberikan amanat kepada pemenang pemilu kelak untuk mengelolabangsa ini menuju Indonesia baru.                                     

Tentu saja tidak berarti bahwa yang tak mencoblos adalah orang-orang yang tak bertanggung jawab. Sejauh dilakukan dengan penuh pertimbangan dan kecermatan, tak ikut mencoblos adalah pekerjaan yang sama nilainya. Bagaimanapun, menurut Undang-undang Nomor 3/1999, mencoblos adalah hak, dan bukan kewajiban warga negara.                         

Pendeknya, apa yang kita lakukan hari ini, mencoblos tanda gambar pilihan kita, bukanlah pekerjaan main-main. Bukan pula sebuah perjudian. Karena itu tidak ada pilihan lain kecuali melakukan  pekerjaan puluhan detik itu dengan bertanggung jawab. Tak ada pilihan lain kecuali melakukan pekerjaan satu dua menit itu dengan penuh      pertimbangan rasional dan mengeyahkan segala macam pertimbangan personal, emosional, dan irasional.                                   

Dalam konteks itu, ada sebuah pelajaran penting yang termuat dalam Buku Setiap Suara Punya Arti yang diterbitkan Elsam (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat) menjelang Pemilu 1997. Dalam awal dekade 1990-an, dekade akhir menjelang milenium ketiga, sejumlah negara di Asia menyelenggarakan pemilu yang relatif demokratis dan akhirnya membuka kemungkinan bagi perubahan ekonomi dan politik pasca pemilu.                                                               

Korea Selatan, misalnya, melalui pemilu yang demokratis selama dan setelah transisi dari rezim militer ke sipil, ternyata berhasil mengelola proses demokratisasi secara bermakna. Bahkan negara semacam Taiwan, yang sangat lama dibelenggu sistem otoritarian dan tidak memiliki modal infrastruktur demokrasi sekaya Korea Selatan, berhasil menjadikan pemilu yang relatif demokratis sebagai titik masuk (entry point) ke arah pembaharuan politik -- sekalipun tersendat. Filipina, Thailand, dan Bangladesh, adalah contoh-contoh   lain yang sama menarik dan bermanfaatnya.                             

Sebagian dari negara-negara yang dijadikan objek studi Buku Setiap Suara Punya Arti, memang tidak berhasil menjalankan proses demokratisasi secara cepat pasca-pemerintahan otoritarian. Hanya  sebagian yang kemudian berhasil mengakselerasikan proses demokratisasi pasca pemilu. Di sini kita memperoleh pelajaran berharga. Akselerasi  atau percepatan proses demokratisasi ternyata sebetulnya tergantung pada dua hal: (1) perbaikan prosedur pemilu sehingga lebih mencerminkan proses yang jurdil dan demokratis; dan (2) tingkat keberdayaan pemilih untuk mendorong perubahan atau demokratisasi.     

Pada hari ini, Senin 7 Juni 1999, kita memang diuji. Seberapa mampu sebetulnya kita menjadi pemilih yang berdaya. Pemilih yang berdaya adalah pemilih yang tahu persis pilihannya, tahu persis apa yang menjadi latar belakang dan argumentasi pilihan itu, tahu persis apa konsekuensi dari pilihannya, tahu persis ke arah mana kira-kira kehidupan bangsa dan negara akan mengarah manakala pilihannya menjadi pilihan mayoritas orang.                                              

Karena itu, pagi hari Senin yang menentukan ini, ada baiknya kita berpikir kembali secara hati-hati mengenai rencana pilihan masing-masing. Sudahkah kita tahu program-program partai yang akan kita pilih? Sudahkah kita tahu pemimpin partai itu dan                kredibilitasnya? Sudahkah kita tahu seberapa akan bertanggungjawab calon-calon anggota parlemen partai pilihan kita? Sudahkah kita tahu seberapa mungkin para anggota parlemen dan pimpinan partai itu mendengar dan memenuhi keinginan dan tuntutan kita? Sudahkah kita tahu apa yang akan diperbuat partai pilihan kita dan para pemimpin mereka? Sudahkah kita tahu bahwa partai yang kita pilih memang tak bakal      mengukangi kekeliruan masa lalu, menginjak-injak hak rakyat, menciptakan ketidakadilan, dan memberangus pikiran kita? Sudahkah kita tahu ke arah mana arah mana masa depan bangsa ini akan terdorong dengan pilihan kita?                                        

Menjejerkan pertanyaan-pertanyaan itu berarti menguji seberapa bertanggung jawab kita sebagai pemilih. Berusaha menjawabnya dengan tenang dan baik berarti mewujudkan sebuah prinsip penting dalam  demokrasi: Setiap suara punya makna.                                  

Saya tidak ingin mempengaruhi rencana pilihan Anda semua. Yang ingin saya katakan di hari bersejarah ini adalah sebuah anjuran moral agar kita semua menjadi pemilih yang bertanggung jawab, yang tidak sekadar ikut-ikutan, yang tidak terpengaruh oleh bayaran uang beberapa puluh ribu atau beberapa ratus ribu perak, yang memilih bukan karena takut  atasan atau takut dipecat dari pekerjaan, yang menentukan pilihan bukan lantaran mengkultuskan seseorang, yang memilih tidak atas nama alasan-alasan membabi-buta. Marilah menjadi pemilih yang bertanggung jawab, yakni pemilih yang menggunakan akal sehat, menggunakan hati nurani yang paling dalam.                                             

Setelah itu, marilah kita bersiap untuk kalah sebagaimana kita bersiap untuk menang. Setelah itu, mari kita kerja keras untuk mengawasi jalannya pemerintahan baru, beroposisi terhadapnya, tak peduli siapa  pun dia dan dari kelompok mana pun dia.