Lima Besar
Pilar, 9-22 Juni 1999



Apa fungsi terpokok dari sebuah kampanye pemilu? Dalam konteks pemilu-pemilu Orde Baru jawabannya adalah: katarsis bagi masyarakat. Selama lima tahun hampir penuh masyarakat tidak dilibatkan dalam politik, dibiarkan punya banyak persoalan tanpa bisa menggugat agar negara proaktif memecahkannya, bahkan dibungkam mulutnya sehingga tak bisa menuntut hak-haknya sendiri. Kampanye adalah satu-satunya waktu dan wahana yang legal di mana masyarakat bisa terlibat dalam politik, menggugat negara agar ikut memecahkan masalah mereka, dan berteriak sekeras-kerasnya menuntut hak. Kampanye menjadi sebuah ajang pelampiasan, sebuah katarsis sosial yang sangat perlu untuk menghindari ledakan.

Dalam konteks Pemilu 1999, pemilu pertama pasca-Soeharto, fungsi pokok kampanye mengalami perluasan. Kampanye tak saja berfungsi sebagai katarsis bagi masyarakat namun juga tempat bercermin bagi partai dan politisi tiban.

Fungsi kampanye sebagai katarsis masih terlihat namun dengan daya ledak yang terbukti lebih kecil. Boleh jadi ini disebabkan oleh telah berjalannya pemanasan yang cukup panjang (Mei 1998-Mei 1999) sebelum kampanye. Selama satu tahun masa pemanasan itu masyarakat sudah bebas melibatkan diri dalam politik, menggugat negara untuk memikirkan mereka, dan berteriak sekeras-kerasnya menuntut hak mereka. Masa pemanasan ini telah membuat kampanye Pemilu 1999 tak ditandai ledakan sebesar pemilu-pemilu Orde Baru -- khususnya Pemilu 1997.

Kampanye selama sekitar dua pekan juga berfungsi sebagai cermin bagi partai-partai dan politisi baru. Terbuktilah sudah bahwa banyak partai yang mengaku didukung puluhan juta rakyat ternyata hanya bisa memobilisasi puluhan orang saja untuk kampanye. Terbukti sudah betapa politisi yang dalam pidatonya selalu menyebut diri sebagai wakil dari rakyat banyak ternyata hampir tidak memiliki basis dukungan rakyat sama sekali. Terbukti sudah betapa banyak "partai media massa" bdan betapa sedikit "partai massa".

Pada titik itulah damainya kampanye Pemilu 1999 layak disyukuri namun sambil menyisakan kecemasan mengenai suasana politik pasca-pemilu. Diantar oleh kampanye yang relatif damai, Pemilu 1999 hanya akan menyisakan sedikit saja partai besar. Sementara itu, partai-partai kecil yang tidak memperoleh dukungan pemilih tidak memiliki kesiapan dan keikhlasan untuk menerima fakta bahwa mereka kecil adanya.

Kampanye bisa damai lantaran di dalamnya tersertakan masyarakat yang memang sudah menikmati suasana kebebasan selama satu tahun dan pada hakikatnya umumnya mereka memang antikekerasan. Sementara prosesi pasca-pemilu akan ditandai oleh menyurutnya keterlibatan langsung masyarakat dan proses politik diserahkan kepada elite. Pada titik ini justru konflik dan ledakan politik lebih mungkin untuk terjadi karena ketidakdewasaan politik elite.

Dengan mendasarkan diri pada hasil jajak pendapat yang diadakan oleh AC-Nielsen dan IFES (International Foundation for Electoral System) serta hasil-hasil studi tentang pemilih Orde Baru yang dilakukan beberapa waktu terakhir, saya menduga bahwa Pemilu 1999 hanya akan melahirkan lima partai besar: PDI Perjuangan (PDI-P), Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Posisi nomor satu dan dua secara nasional diperebutkan oleh PDI-P dan Golkar dengan kemungkinan Golkar lebih besar untuk memperolehnya. Posisi nomor tiga dan empat diperebutkan oleh PPP dan PAN dengan kemungkinan PAN lebih besar untuk memperolehnya. Sementara PKB harus berpuas diri menjadi nomor lima.

Partai-partai lain yang memiliki kans untuk meraih suara signifikan adalah Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan (PK). Sementara kemungkinan partai-partai lain untuk meraih kursi parlemen masih merupakan tanda tanya besar.

Namun bagaimanapun yang penting dibalik hasil Pemilu 1999 seperti itu adalah bahwa akan banyak pihak yang kecewa karena tidak bisa meraih suara sebesar yang diyakininya. Dan pada titik ini justru proses demokratisasi diuji. Siapkah kita berlaku sportif. Jika tidak, maka tak bisa lain kita harus mengatakan betapa masih jauhnya demokrasi dari jangkauan kita.