Buyung,
Jaksa Agung dan Malaikat
Panji Masyarakat, 1 September 1999



Senin pagi (23/8/1999) saya mendengar kabar bahwa Dr. Adnan Buyung Nasution dalam waktu dekat akan menjadi Jaksa Agung. Mendengar kabar yang masih simpang-siur ini, saya tak bisa menyembunyikan rasa gembira. Telah lama saya percaya bahwa tersendat dan terbengkalainya proyek pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), tidak disebabkan oleh kurangnya aturan hukum melainkan tidak adanya pejabat yang punya keberanian, ketegasan dan otentisitas untuk melakukannya.

Presiden Habibie, sulit dibantah, tidak memiliki kapabilitas seperti itu. Sangat sulit mengharapkan Habibie bisa bersikap berani, tegas dan konsisten memberantas KKN lantaran ia sendiri dibesarkan di tengah suasana  dan sistem yang penuh KKN itu.  Habibie sulit diharapkan untuk berperan seperti Nelson Mandela, Corry Aquino, bahkan Gorbachev sekalipun, yang memimpin reformasi tanpa tersandung oleh dosa-dosa masa lampu  (dan masa kini).

Dalam keadaan seperti itu, mestinya kita masih  berharap pada pejabat  lapis kedua, terutama Jaksa Agung, sang pengusut. Namun apa lacur, yang kita temukan adalah Andi M. Ghalib yang ternyata pun tak punya  kapabilitas yang  dibutuhkan.  Dan kasus suap yang dibongkar Indonesian Corruption Watch (ICW) makin membuktikan betapa keliru berharap banyak  pada Jenderal berbintang dua itu.  Ketika Ismudjoko muncul sebagai pejabat sementara, menggantikan Ghalib, sempat  mencuat harapan akan akselarasi pengusutan dan pemberantasan KKN.  Ternyata, seorang Jaksa Agung  yang berlatar belakang jaksa karier belaka, tak cukup.  Yang kita butuhkan adalah orang  yang berani, tegas, mau dan otentik.

Mencuatnya nama Bang Buyung sebagai calon Jaksa Agung layak disyukuri dalam konteks itu. Dengan segala kontroversi yang melekat padanya,  Bang Buyung jauh lebih  layak diharapkan ketimbang Habibie-Ghalib-Ismudjoko dalam hal ketegasan, keberanian, kemauan, dan otentisitas sebagai pemberantas KKN.  

Pertanyaannya, mengapa nama Bang Buyung tiba-tiba mencuat dalam bursa Jaksa Agung, padahal kabinet Habibie hanya punya sedikit sisa  usia?  Mengapa kita bisa berharap pada  Bang Buyung? Tidakkah siapa pun yang menjadi Jaksa Agung akan menghasilkan produk dan kinerja yang sama di tengah cengkeramanan presiden di atasnya?

Menurut hemat saya, nama Bang Buyung muncul dari  konteks politik yang berkembang cepat menjelang Sidang Umum (SU) MPR. Habibie baru saja membuat pidato Agustus yang bisa dipandang sebagai “Pidato Pertanggungjawaban Tahap Pendahuluan-Pemanasan”.  Pelajaran terpenting yang diterima Habibie dan pemerintahannya pasca pidato Agustus itu adalah bahwa publik menilai Habibie dan pemerintahannya gagal menjelaskan lambannya proyek pemberantasan KKN.

Pasca pidato  Agustus, bertambah satu ancaman bagi kelangsungan pencalonan Habibie kelak.  Sebelumnya, kelangsungan pencalonan Habibie sudah terancam oleh atmosfir politik anti pejabat yang sedang berkuasa --yang ditiupkan terutama oleh PDI Perjaungan; oleh kecilnya perolehan suara Golkar dalam Pemilu 1999; dan oleh keretakan internal yang menggejala di tubuh Golkar.

Dalam konteks itu, pencalonan Bang Buyung --yang masih simpang-siur itu-- harus dipahami sebagai langkah reaktif Habibie, dan bukan langkah pro-aktif. Bang Buyung harus dipahami sebagai instrumen penyelamatan diri bagi Habibie.

Lalu, jika  demikian, mengapa saya mendukung pen-Jaksa Agung-an Bang Buyung?  Menurut saya, tak mudah bagi Habibie  dan pemerintahannya untuk menjadikan jabatan Jaksa Agung dan Bang Buyung --sebagai  sebuah  gabungan-- sebagai sesuatu yang instrumental bagi mereka. Habibie dan pemerintahannya akan kesulitan melakukan instrumentalisasi Jakgung-Bang Buyung itu setidaknya karena beberapa alasan.

Pertama, Bang Buyung  yang saya kenal dan sedikit saya tahu, bukanlah  Bang Buyung instrumental. Sebelum bergabung dengan Tim 11 (Tim yang bertugas menyeleksi partai-partai calon  peserta Pemilu 1999) --di mana Bang Buyung ada di sana-- saya  hanya mengenal Adnan Buyung Nasution mitologis. Namun setelah lebih mengenalinya melalui Tim 11, saya menemukan Adnan Buyung Nasution historis yang memang layak diharapkan.

Dalam sosoknya yang historis, saya menemukan Bang Buyung yang memang  sulit untuk dijadikan instrumen, kecuali dalam proyek instrumentalisasi yang di bawah kendalinya.  Dalam konteks inilah saya memahami kesediaan Bang Buyung untuk terlibat secara susah payah dalam Komisi Pemilihan Umum  (KPU).  Dalam sosok historisnya, semacam itulah Bang Buyung men-skak-mat Mendagri Syarwan Hamid dengan mensyaratkan indepedensi-penuh baginya dan calon-calon wakil pemerintah di KPU (waktu itu) jika pemerintah menghendaki dirinya beserta empat orang yang lain menjadi wakil pemerintahan di KPU.

Karena itu, dalam posisi struktural yang senjang antara Habibie-Bang Buyung, Bang Buyung tampaknya bisa membuat reposisi kultural yang elegan dan tinggi di hadapan Habibie. Pendeknya, sulit membuat Bang Buyung begitu saja menjadi instrumental.

Kedua, tawaran jabatan Jaksa Agung bagi Bang Buyung --saya berharap ini memang benar terjadi-- berlaku di tengah zaman demitologisasi. Mitos-mitos lama saat ini tengah dipatahkan atau patah sendiri, satu persatu.  Salah satu mitos yang patah itu adalah bahwa pejabat adalah sesuatu yang sakral dan tidak tersentuh. Dalam suasana demitologisasi seperti ini, Bang Buyung justru akan terpojok dalam posisi yang pro-publik.

Situasi demitologisasi yang bertemu dan sosok historis Bang Buyung yang  anti-instrumentalisasi, menurut hemat saya, bakal menghasilkan fungsionalisasi Kejaksaan Agung dalam jangka pendek sebagai lembaga pembongkar KKN. Setidaknya Kejaksaan Agung bisa menjadi fasilitator formal bagi upaya-upaya  pembongkaran KKN oleh lembaga partikelir macam ICW, Center for Banking Crisis (CBC), Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), Gerakan Masyarakat Peduli Harta Negara (Gempita), atau individu semacam Pradjoto.

Jika dikelola dengan baik, posisi Bang Buyung sebagai Jaksa Agung di tengah demitologisasi pejabat negara, bisa membuat Kejaksaan Agung jauh lebih bisa diharapkan ketimbang sekarang.  Namun, ironisnya Bang Buyung yang anti  instrumentalisasi, Bang Buyung yang jaksa Agung  akan menjadi “instrumen” yang berperan ganda. Di satu pihak, ia akan cukup kuat sebagai bumper untuk menahan politisasi jabatan Jaksa Agung oleh Habibie di akhir kepemimpinan transisionalnya. Di sisi lain, Bang Buyung bisa  menjadi “intrumen” penyentak ke arah  gerakan besar pemberantasan KKN.

Benar bahwa Bang Buyung hanya akan punya waktu sedikit dengan pekerjaan banyak. Namun yang memang kita butuhkan sekarang --dalam saat-saat menjelang pergantian pemerintahan pasca Pemilu 1999-- adalah efektivitas moral, ketimbang  efektivitas hukum dan politik. Yakni efektivitas moral dalam bentuk sentakan-sentakan awal pemberantasan KKN via Kejaksaan Agung yang didukung publik.  Lalu, jaksa-jaksa Agung setelah Bang Buyung akan terkondisikan secara moral untuk melanjutkannya, kecuali mereka  mau disebut sebagai anti-publik.

Yang dibutuhkan masyarakat saat ini adalah simbol yang tampil sebagai alat moral yang tak terlawan. Bang Buyung bisa mengambil posisi simbolik ini. Tetapi tentu saja, diskusi soal ini sangat tergantung pada dua soal krusial: Benarkah Bang Buyung ditawari jabatan Jaksa Agung?  Maukah Bang Buyung menerima tawaran itu dengan segala resikonya?

Hingga tulisan ini dibuat, di bawah lembabnya kota Malang, tidak  atau belum ada kepastian apakah Bang Buyung memang ditawari jabatan Jaksa Agung. Kabar yang  saya  dengar dari Jakarta justru menegaskan ketidakpastian soal ini. Pendeknya, tawaran jabatan Jaksa  Agung bagi Bang Buyung masih simpang siur dan sulit dikonfirmasi.

Hingga tulisan ini dibuat, saya belum berhasil mengontak Bang Buyung soal kabar tawaran jabatan Jaksa Agung. Yang saya tahu, Bang Buyung tidak mencari-cari jabatan itu.  Karena itu, akan lebih baik saya kutip saja sebuah hadis Nabi yang tampaknya relevan untuk soal ini. “Barang siapa yang meminta menjadi hakim dan berusaha untuk itu, maka ia akan terbebani olehnya. Dan barang siapa yang tidak meminta untuk menjadi hakim dan tidak berusaha untuk memintanya (kemudian ia ditunjuk untuk menempati posisi itu), maka Allah  akan menurunkan malaikat untuk menunjukinya.”


                                                                                       Malang, 23 Agustus 1999