Presiden Apes,
Presiden Alternatif
Gatra,  23 Oktober 1999



Menjelang kejatuhan Soeharto, Emha Ainun Najib mengingatkan bahwa siapapun yang akan jadi Presiden menggantikan Soeharto, mestilah ia menjadi presiden yang sangat apes. Saya bersetuju dengan ini. Warisan persoalan yang dihadapinya sangat berat dengan komplikasi yang luar biasa rumit. Pendeknya, superman sekalipun akan gagal menghadapi gunungan masalah warisan Orde Baru.

Habibie sudah membuktikan betapa benar sinyalemen itu; terlebih-lebih Habibie ternyata bukan superman dan tidak bisa dengan cepat melepaskan ikatan psikologisnya dengan Orde Baru dan Soeharto yang membesarkannya. Namun, menurut hemat saya, Habibie tak akan sendirian. Presiden pasca-Habibie - dengan asumsi kans Habibie untuk terpilih kembali sangatlah berat - tetap akan menjadi presiden apes. Dan literatur usang semacam //Political Man: A Social Bases of Politics//-nya Seymour Martin Lipset (1963) bisa menjelaskan alasannya.

Lipset menyebut dua pilar sebuah pemerintahan: legitimasi dan efektivitas. Ada negara yang legitimasinya kuat dengan efektivitas yang kuat semacam Korea Selatan- sekadar menyebut contoh mutakhir dari Asia. Ada pemerintahan yang legitimasinya kuat namun dengan efektivitas yang lemah, semacam India. Ada pemerintahan yang legitimasinya lemah namun efektivitasnya tinggi semacam Singapura. Ada pemerintahan yang legitimasinya lemah dengan efektivitas yang juga lemah semacam Myanmar.

Presiden Indonesia hasil SU MPR akan menerima kenyataan bahwa paling bagus ia akan memimpin sebuah pemerintahan yang di tahun-tahun awalnya hanya bermodalkan legitimasi yang lumayan dengan efektivitas yang rendah. Bahkan jika resistensi atau daya tolak terhadap sang presiden sangat kuat - sebagaimana cenderung terjadi pada Habibie yang ditolak oleh massa Megawati dan umumnya kelas menengah politik yang kritis atau Megawati yang ditolak oleh sebagian besar komunitas Islam - ada ancaman yang tegas bahwa pemerintahan yang dipimpin sang presiden akan sulit membangun legitimasi yang kuat sembari memiliki efektivitas yang rendah.

Situasi itulah yang membuat kita mau tak mau mesti mengatakan bahwa presiden pasca Habibie yang dihasilkan SU MPR 1999, bakal tetap menjadi presiden yang apes. Namun demikian, sang presiden berhadapan dengan bonus yang sedikit mengimbangi ke-apes-annya, yakni bahwa harapan politik umumnya publik yang kritis dan paham sudah semakin minimalis. Publik yang saya sebut terakhir ini, menyadari benar bahwa di tengah sulitnya mencari pemimpin nasional yang ideal saat ini, mereka hanya berharap menemukan presiden yang resistensinya atau daya tolaknya dari kalangan elite dan massa lintaskelompok dan lintasideologis, paling rendah.

Secara umum, sang presiden akan mengahadapi pekerjaan yang berlapis-lapis. Pada lapis pertama, ia harus meradakan amarah yang bisa mengemuka dan mengkristal menjadi amuk dan perlawanan massa dari kelompok yang merasa kalah. Membayangkan terpilih kembalinya Habibie dalam konteks ini berarti menemukan sebuah ketidakmungkinan mengelola amarah, amuk, dan perlawanan dari massa PDI Perjuangan dan barisan antistatusquo - terlepas betatapun bermasalahnya identifikasi mereka tentang reformis versus statusquois.

Membayangkan Megawati pun mirip-mirip. Banyak kalangan Islam politik yang menilai Mega - dengan mengerahkan massa pendukungnya menteror SU MPR dari jalanan - telah menyampaikan tantangan atau semacam “ajakan perang”. Terpilihnya Mega akan membuahkan gelombang amarah, amuk, dan perlawanan yang sejenis dengan soal sama yang dihadapi Habibie. Celakanya, dalam kerangka ini, Gus memiliki kendala-kendala serius - termasuk kendala kesehatan jasmani - yang membuatnya sulit menjadi alternatif yang mudah.

Dalam konteks itu, memang akhirnya harus kita akui bahwa baik elite maupun massa, masih sangat terbata-bata mengeja pelajaran berdemokrasi. Kesiapan menjadi pemenang dan pecundang yang baik, ternyata tidak bisa lahir secara serta merta.

Tingkat keberhasilan mengatasi tantangan lapis pertama itulah yang akan menentukan penyelesaian tantangan lapis-lapis berikutnya, seperti membangun perbaikan legitimasi pemerintahan secara bertahap, menyiapkan perangkat keras bagi transisi demokrasi, serta melakukan pemulihan jangka pendek dan menengah dalam krisis politik dan ekonomi.

Maka, menurut hemat saya, menjadi presiden yang apes pasca SU MPR 1999, adalah sesuatu yang tak terhindarkan oleh siapa pun. Yang harus diprioritaskan sekarang bukan menghindarkan sang presiden dari ke-apes-an, melainkan mencari figur yang berdaya tolak paling minimal sekaligus bersedia menjadi presiden apes. Figur berdaya tolak rendah inilah yang bisa membawa pemerintahan dan sistem politik pasca SU MPR 1999 untuk terhindar dari kehancuran.

Celakanya, baik Habibie, Mega, maupun Gus Dur, sama-sama berkesulitan untuk memenuhi prasyarat yang sebetulnya sudah sangat minimalis itu. Dalam konteks inilah saya memahami dan menangkap signifikansi kemunculan kandidat alternatif semacam Nurcholish Madjid. Tentu saja, sejauh Cak Nur yang sudah memiliki resistensi paling rendah ini, bersedia menjadi presiden apes. Wallahua'lam bish-shawab.

Pondok Indah, 17 Oktober 1999