Andai Mega Presiden
Tempo, 18-24 Oktober 1999



Apakah yang dibutuhkan dari seorang presiden? Jika ini ditanyakan kepada pemilih Amerika Serikat, boleh jadi jawabannya adalah presiden yang punya kapabilitas cukup sekalipun ia punya problem ketidakotentikan moral. Setidaknya, begitulah yang tercermin dari gagalnya pemecatan Presiden Bill Clinton lantaran skandal Monica Lewinski. Orang Amerika tak terlalu peduli pada penyakit moral Clinton -- yang gampang membuka risleting celananya itu -- sejauh ia bisa kapabel memacu prestasi ekonomi-politik pemerintahannya.

Jika pertanyaan serupa itu diajukan kepada pemilih Perancis, maka boleh jadi jawabannya adalah presiden yang bisa menjadi figur lintaskelompok dan merebut simpati mayoritas mutlak (absolute majority) konstituen politik yang ada di tengah masyarakat. Setidaknya, jawaban ini terkonfirmasikan oleh bersiteguhnya Perancis dengan sistem pemilihan mayoritas mutlak hingga sekarang.

Dua model jawaban di atas memang tak bisa menjelaskan semua jawaban yang bisa disediakan oleh beragam sistem dan negara. Namun, dua jawaban itu boleh dibilang sebagai jawaban paling pokok. Cara kerja sistem politik Amerika mengajari betapa penting kapabilitas seorang pemimpin. Sistem Perancis mengajari betapa pentingnya akseptabilitas yang besar di tengah masyarakat yang heterogen.

Membayangkan Megawati sebagai presiden pengganti Habibie, berarti membayangkan sebuah figur yang justru lemah - setidaknya dalam penilaian saya yang tidak bisa menjangkau Mega dari dekat - dalam keduanya sekaligus. Tantangan terbesar bagi kepresidenan Mega, menurut hemat saya, akan datang dari dua lapis masalah ini.

Mega terlampau menyembunyikan potensi kapabilitasnya sebagai calon pemimpin. Strategi politik Mega dengan berdiam diri di tengah lalu-lintas isu publik yang sangat ramai dalam waktu yang cukup lama, dan ternyata berlanjut sampai dengan sekarang, cenderung mengkonfirmasikan betapa ia layak dipertanyakan kapabilitasnya. Mega cenderung mengeksploitasi simbolisme yang melekat dalam dirinya dan kurang bersedia untuk ditakar dengan ukuran dan kalkulasi rasional.
Dalam kerangka itu, kapabilitas kepresidenan Mega akan bergantung pada kolektivitas kepemimpinan yang dibangunnya. Sampai di sini, sebagai Presiden Mega dengan segenap keterbatasan kapabilitas yang dimilikinya, sebetulnya tidak akan menemui masalah besar.

Tapi masalah besar justru didatangkan oleh Mega dan PDI Perjuangan sendiri dari segi yang lain. Secara keliru Megawati dan PDI Perjuangan menjalankan politik tinggi hati, terutama seusai Pemilu 1999. Dengan modal 30-an persen dukungan, Mega dan PDI Perjuangan sudah merasa memperoleh legitimasi untuk memerintah tanpa merasa perlu memperluas basis dukungannya dari partai lain yang lebih kecil. Ketika PKB diajaknya berbesanan, ketika itu pulalah berhenti upaya perluasan basis dukungan politik itu. Dari segi inilah mengemuka semua masalah besar: Mega berdiri di atas basis politik yang rapuh, sekalipun kansnya untuk terpilih sebagai presiden tetap tersedia.

Celakanya, politik tinggi hati dijalankan Mega dengan membiarkan wacana dikotomi ideologis - Islam versus nasionalis-sekuler - terus tumbuh berkembang membesar. Tidak ada semacam kearifan pada Mega untuk mendekat dan menyantuni faksi-faksi Islam-ideologis non-PKB. Padahal, sebagai pemimpin partai peraih suara terbesar dalam pemilu, Mega ada dalam posisi sejarah untuk melakukan pro-aktivisme.

Dalam konteks itu, manakala Mega menjadi Presiden, tantangan terbesar harus dihadapinya justru di hari-hari, bulan-bulan, atau tahun-tahun pertama. Mega membawa stigma sebagai lawan ideologis dari Islam yang membawa Islamo-fobia. Maka gelombang penentangan akan muncul dari gerakan besar berduyun-duyun yang merasa sah menggunakan basis nasionalis-sekuler-fobia. Apalagi, Mega telah “mengundang” gerakan besar berduyun-duyun kalangan Islam tertentu itu, dengan mengelola atau membiarkan teror massa di jalanan Jakarta di hari-hari terakhir SU MPR.

Maka menurut hemat saya, persoalan terbesar yang dihadapi Mega adalah gelombang resistensi yang sangat militan karena dijustifikasi oleh alasan ideologis dan semangat perlawanan atas nama agama. Benar, resistensi semacam ini tidak bisa dibenarkan menurut logika demokrasi; namun realitas politik yang berkembang menjelang dan sepanjang SU MPR, tampaknya akan melahirkan resistensi semacam itu.

Problem yang dihadapi Mega pun menjadi sangat mirip dengan problem milik Habibie: Ledakan resistensi yang sulit dikelola dan mengundang penggunaan cara dan instrumen represi untuk mengatasinya. Jika Habibie ditolak lantaran kegagalannya menanggalkan identitas status quo, maka Mega ditolak lantaran kegagalannya mencairkan stigma dikotomi ideologis dan perang fobia (Islam versus nasionalis-sekuler).

Pada akhirnya, mau tak mau, kita memang menemukan fakta bahwa hampir semua pihak tanpa kecuali terbata-bata belajar berdemokrasi. Tetapi memang mustahil membayangkan lompatan yang terlampau dramatis setelah terlampau lama kita dikerangkeng oleh kekeliruan-kekeliruan politik mendasar Orde Lama dan Orde Baru. Mega, Habibie, dan siapapun, pada akhirnya memang mesti ikhlas menjadi korbannya.


Pondok Indah, 17 Oktober 1999