Catatan Akhir Tahun:
Reformasi dan Reposisi
Negara-Masyarakat
Republika, 1 Januari 2000




Di tengah gelombang reformasi yang menghantam Indonesia selama hampir satu tahun terakhir, relevan untuk mempertanyakan kembali: Di manakah posisi negara semestinya ditempatkan? Seberapa jauh kekuasaan negara mesti dipreteli? Sampai batas-batas manakah penguatan masyarakat mesti dilakukan? Model hubungan negara-masyarakat macam apa yang selayaknya dibangun?

Negara Orde Baru (NOB) selama ini telah menjadi topik bahasan akademik yang ramai. Dari balik itu, kita menemukan banyak penjelasan mengenai karakteristik ekonomi dan politik NOB dalam hubungannya dengan masyarakat, seperti sistem politik birokratik dari Karl D. Jackson (1978), negara birokratik patrimonial dari Harold Crouch (1979), rezim pembangun represif dari Herbert Feith (1980), negara birokrasi kolonial dari Ruth McVey (1982), negara birokratik otoritarian korporatis dari Mochtar Mas'oed (1989), negara militeris rente dari Richard Tanter (1991), dan negara birokratik rente dari Arief Budiman (1991).

Semua bentuk penyimpulan itu - dengan segenap kekuatan dan kelemahannya -menekankan pada empat aspek pokok dalam operasi NOB. Pertama, kekuasaan negara begitu luas sehingga benar-benar menenggelamkan masyarakat. Kedua, militer yang memainkan peranan politik sangat jauh dalam kerangka represi yang relatif permanen. Ketiga, birokrasi telah didisfungsi sehingga menjadi instrumen rezimentasi. Keempat, praktik-praktik ekonomi pragmatis yang melahirkan para pemburu rente melalui kolusi dan korupsi.

Gerakan reformasi yang menguat semenjak minggu ketiga Februari 1998, sejauh ini, tentu saja belum kuasa untuk mengubah karakteristik negara semacam itu. Jika kita evaluasi politik Indonesia sepanjang 1999, maka yang terlihat sudah terjadi barulah beberapa langkah awal yang belum memberi garansi bagi terjadinya reposisi negara-masyarakat secara bermakna. Kita baru menghirup atmosfir politik baru yang sebetulnya masih labil; sebuah atmosfir yang ditandai oleh keinginan banyak orang untuk berubah namun makin meredup setelah SU MPR 1999 berhasil menelurkan pemerintahan kompromi dan memakai logika populisme. Selain itu, kita sudah menghasilkan beberapa perangkat pengawasan politik baru, baik yang formal semacam MPR, DPR, dan partai politik maupun yang kakilima semacam pers, gerakan mahasiswa. Namun semua perangkat itu, dengan sedikit mengecualikan pers, sekarang justru sedang terancam untuk menjadi kurang efektif.

Selain itu, satu tahun terakhir terjadi gelombang sirkulasi para pelaku politik. Ada semangat besar di tengah masyarakat kita untuk menemukan orang-orang baru dalam jajaran elite. Namun, sejauh ini belum ada mekanisme seleksi elite yang benar-benar terlepas dari dagang sapi, kroniisme, dan nepotisme. Yang paling mengkhawatirkan dari semua itu adalah belum adanya gejala reorientasi dan sirkulasi pelaku ekonomi yang benar-benar bermakna. Praktik ekonomi pragmatis a la Orde Baru tampaknya masih berlanjut, plus pengampunan yang terlampau cepat terhadap penjahat-penjahat ekonomi masa lampau. Bahkan belakangan ada gejala heroisasi para bandit sebagaimana yang terlihat dalam struktur keanggotaan DPUN dan untuk sebagian dalam DEN.

Karena itu dengan sangat menyesal mesti dikatakan sekali lagi bahwa sepanjang perjalanan reformasi 1998-1999, reposisi negara-masyarakat belum terjadi secara bermakna. Evaluasi mengenai ini sepanjang tahun 1999 dapat dibuat dengan memilah dua jenis pekerjaan: penataan perangkat keras dan perangkat lunak demokrasi. Perangkat keras menyangkut aktor, institusi atau lembaga, aturan, dan mekanisme. Perangkat lunak meliputi cara pikir, paradigma, pola perilaku, tabiat, dan kebudayaan.

Yang paling menonjol dalam penataan kembali perangkat keras adalah sudah dimulainya secara konkret amandemen UUD 1945 sebagai aturan bernegara yang tertinggi. SU MPR 1999 telah melegalisasi beberapa butir amandemen, yakni perubahan pasal 5, 7, 9, 13, 14, 15, 17, 20, dan 21. Substansi dari amandemen tahap pertama ini adalah pembatasan kekuasaan presiden atau eksekutif dan beberapa langkah awal - yang perlu ditindaklanjuti - untuk penguatan legislatif. Amandemen UUD 1945  -- yang antara lain mengesahkan secara konstitusional pembatasan masa menjabat presiden hanya dua kali masa jabatan berturut-turut ataupun tidak, serta memproporsionalkan hak prerogatif presiden - ini merupakan langkah awal bagi penataan hubungan negara-masyarakat yang penting.

Penataan perangkat keras demokrasi juga dilakukan dengan perubahan dan pembuatan sejumlah besar UU sepanjang 1999. Selama masa kekuasaan Habibie, pemerintah dan DPR berhasil menelurkan 70 UU baru. Ini merupakan sesuatu yang patut disyukuri sekaligus disesali. Disyukuri, karena menyediakan instrumen-instrumen politik baru yang lebih kondusif bagi proses demokratisasi. Tapi juga patut disesali karena umumnya produk perundang-undangan itu dibuat dengan mengejar waktu, terkesan tergopoh-gopoh, sehingga sudah membutuhkan sejumlah perbaikan tak lama setelah UU itu diundangkan.

Perangkat keras yang terlihat sudah mulai ditata adalah mekanisme berpolitik yang baru. Hubungan antarlembaga tinggi dan tertinggi negara sudah mulai ditata ulang. Tetapi, dalam kerangka itu tahun 1999 memperlihatkan sejumlah kekikukan karena dimulainya eksperimen-eksperimen baru dalam hubungan antarlembaga. Presiden Habibie misalnya kerap salah kaprah memahami “konsultasi dengan DPR” Beberapa kali Habibie mengadakan pertemuan dengan “pimpinan DPR” dan menganggapnya secara keliru sebagai “konsultasi dengan DPR”. Padahal, pimpinan sebagai alat kelengkapan DPR tidak bisa mewakili institusi DPR secara keseluruhan. Kekikukan juga terlihat dengan belum tumbuhnya kesadaran pada posisi baru di kalangan pejabat lembaga tinggi dan tertinggi negara. Amien Rais dan Abdurrahman Wahid, misalnya, beberapa kali terlihat gamang dalam memposisikan dirinya dalam jabatan baru sebagai Ketua MPR dan Presiden. Tetapi bagaimanapun, penataan mekanisme baru sudah dimulai sekalipun hasilnya memang masih mencemaskan.

Bentuk penataan perangkat keras yang juga terlihat mencemaskan adalah masih terbuka lebarnya peluang menduduki jabatan strategis bagi banyak pelaku politik yang tidak otentik. Contoh terbarunya diperlihatkan oleh DPUN. Dewan yang bertugas memberi nasihat kepada presiden dalam penataan dan pengembangan bisnis ini justru diisi bahkan dipimpin oleh sejumlah pelaku bisnis bermasalah. Tampaknta di tahun 1999 reformasi memberi batas yang sangat kabur antara pelaku baru-reformis-otentik dengan pelaku lama-status quois-tak otentik.

Yang terlihat mencemaskan juga adalah penataan institusi. Kecemasan misalnya patut dilayangkan pada empat insitusi vital, yakni peradilan, kepolisian, birokrasi, dan tentara. Pembersihan peradilan dari pelaku lama yang korup tampaknya sulit dan akan makan waktu. Kepolisian tidak ada dalam posisi yang cukup kredibel untuk mengambil alih fungsi keamanan - sebagai fungsi tertib sosial dan hukum domestik -- dari ketentaraan. Birokrasi yang telah terkena penyakit kronis yang berlapis-lapis dari atas ke bawah juga sulit untuk ditata ke arah profesionalisasi: menuju birokrasi yang efisien, profesional, ramping, bersih, netral, dan melayani masyarakat.

Institusi ketentaraan tampaknya merupakan institusi yang belum terlampau terjangkau. Infrastruktur politik dan ekonomi yang kuat yang dimiliki tentara tampaknya mempersulit realisasi proyek demiliterisasi. Ditambah dengan sikap pemerintah yang cenderung konservatif dalam soal ini maka tentara dengan segenap kecenderungannya untuk terus bertahan di lapangan politik yang luas tampaknya menjadi pekerjaan rumah yang serius.

Namun di atas segalanya, hal yang belum terlihat konkretisasinya adalah penataan perangkat lunak. Tahun 1999 ditandai oleh belum adanya gejala ke arah perubahan pola pikir, paradigma, pola perilaku, tabiat, dan kebudayaan, baik di tingkat elite maupun massa. Memang benar bahwa penataan perangkat lunak tak bisa dilakukan dengan cepat, namun tetap saja diperlukan upaya-upaya awal yang secara konkret membuka peluang bagi perubahan yang makan waktu itu.

Maka dengan mengingat semua itu, mesti diakui bahwa reformasi yang bergulir selama 1998-1999 memang telah menghasilkan banyak suasana baru namun belum ditandai oleh upaya seksama ke arah penataan hubungan negara-masyarakat pasca-Orde Baru. Otoritarianisme yang berjalan terlampau lama - selama empat dekade Sukarno-Soeharto - tampaknya menciptakan banyak kesulitan ke arah itu. Di arus atas, negosiasi elite banyak menghasilkan kompromi yang menimbulkan kecemasan. Di arus bawah, masyarakat kita masih terlelap dalam pola pikir lama yang cenderung pasif dan tidak merasa perlu terlibat dalam urusan politik pemerintahan.

Semua itu membuat kita mesti mengingat suasana awal Orde Baru. Negosiasi elite yang bekerja secara ekslusif di tengah masyarakat yang pasrah pada kemauan elitenya. Hasilnya kemudian adalah perpindahan dari otoritarianisme lama ke otoritarianisme baru. Tahun 2000 tampaknya mesti dijalani dengan kesiagaan agar kita tak mengulang kekeliruan sejarah itu.

Depok, 22 Desember 1999