Kredo
Halaman 2

Celakanya, institusi pendidikan kita, baik formal maupun informal, justru mengajarkan sikap dasar menulis yang keliru. Sekolah misalnya justru menjadi tempat di mana setiap calon penulis diseragamkan materi pikirannya dan cara berpikirnya. Di samping itu, guru kerapkali bertindak secara sewenang-wenang sebagai penilai dan pemberi sanksi yang seolah-olah memiliki hierarki dan otoritas lebih tinggi ketimbang si penulis, murid mereka. Maka sejak awal, palajaran mengarang di sekolah justru mematikan potensi-potensi kemunculan calon penulis besar di tempat kita. Wajarlah bila dari penduduk Indonesia yang berjumlah 200 juta jiwa lebih, sangat sedikit kemudian yang bisa menjadi penulis handal. Dan tentu saja, sangat sedikit buku yang dihasilkannya.

Hubungan guru-murid tadi sebetulnya merupakan replika dari relasi sosial-politik yang ada di luar sekolah dalam kerangka yang lebih makro. Sentralisasi, penyeragaman, rezimentasi, represi dan praktik-praktik sejenisnya telah lama menjadi ciri pokok sistem sosial politik kita. Dalam konteks inilah kemudian orang dipaksa kehilangan individualitasnya, karakternya, jati dirinya, bahkan kemanusiaannya. Ini kemudian ikut memberikan sumbangan besar bagi kemacetan dan kemandegan luar biasa dalam dunia literer kita, dunia penulisan kita. Kematian potensi para penulis kita pun bisa diletakkan dalam carut marut sistem yang sesat keliru semacam itu.

Dalam kerangka itu, proses panjang pembelajaran menulis yang saya jalani dan belum selesai hingga sekarang, menyadarkan saya pada pentingnya tiga hal.

Pertama, kemampuan teknis. Mau tidak mau, seorang penulis mesti terus-menerus melatih kemampuannya menulis. Ini bukan untuk mencapai satu gaya akhir yang final dan permanen, melainkan untuk makin mengefektifkan penyampaian pesan yang disampaikannya lewat tulisan. Saya percaya, mereka yang cepat putus asa dan gampang menyerah kalah, berhenti berlatih menulis, pasti akan gagal menjadi penyampai pesan yang baik. Penolakan demi penolakan dari media atau penerbit justru menjadi semacam instrumen latihan yang menjengkelkan tetapi perlu. Saya sendiri, hingga saat ini masih merasa perlu terus belajar, entah hingga kapan.

Tetapi, bagi saya, kemampuan teknis adalah faktor tertier yang mendampingi dua faktor lain yang bersifat sekunder dan primer.

Kedua, sistem sosio-politik di sekitar kegiatan penulisan. Saya percaya bahwa suasana penuh kebebasan, persuasif, egalitarian, kompetitif, transparan, saling hormat yang dimiliki oleh sebuah sistem sosio-politik akan membangun iklim penulisan yang berkembang bukan alang kepalang. Sebaliknya sistem sosio-politik yang mengekang, represif, hierarkis-feodalistik, penuh hegemoni, dan tertutup, akan menjadi lonceng kematian bagi kegiatan penulisan dan pengembangbiakan kebudayaan literer. Dalam sistem yang membebaskan, semua jenis tulisan akan bisa berkembang. Sementara dalam sistem yang mengekang, hanya tulisan berbau humor dan anekdot yang akan berkembang. "Sistem", inilah faktor sekunder yang saya maksudkan.

Lalu, ketiga, faktor primernya tidak terletak pada kemampuan teknis atau kualitas kekangan sistem, melainkan pada kualitas kemanusiaan masing-masing kita, sang calon penulis. Warga negara yang memiliki tirani di kepalanya -- yang membuatnya punya banyak hantu rekaannya sendiri yang membuatnya takut, terkekang, dan tak bisa mengaktualisasikan kemanusiaannya secara utuh -- akan sulit menjadi penulis. Sebaliknya, warga negara yang bisa membebaskan diri dari tirani semacam itu pasti akan mampu menuliskan apa yang ia pikirkan dengan baik.

Menurut hemat saya, yang primer adalah faktor ini. Jadi, sekalipun sistemnya mengekang dan ia punya kemampuan menulis terbatas, seseorang akan tetap bisa melakukan kegiatan penulisan dengan baik manakala ia sudah berhasil membangun kualitas dirinya sebagai warga negara dengan kemanusiaan yang utuh. Tentu saja, suasana penulisan yang terbaik akan bisa dicapai manakala kemampuan teknik yang tinggi bertemu dengan sistem yang membebaskan dan utuhnya kualitas kemanusiaan sang penulis.

.......