APRESIASI

Kopi
Oleh H. Sujiwo Tejo


Salah satu daya tarik Eep Saefulloh Fatah ke-Sunda-annya. Seumumnya orang Priangan, ilmuwan politik ini mengujarkan huruf “p” untuk “f”. Kuliah boleh sampai ke Ohio, mudik sebentar ke Indonesia tetap saja Kofi Annan disebutnya Kopi Annan.

Kopi Annan? Kirain dari pelajaran di SD  sampai sekarang cuma ada dua jenis kopi: Arabika dan Robusta. Cikal-bakal kopi Arabika konon dari Afrika. Koffie Annan memang dari Afrika. Tapi rasanya itu bukan jenis minuman. Obrolan berlanjut. Saya raba-raba konteksnya, barulah makin yakin bahwa yang dimaksud Eep “Saepulloh Patah” itu, o, orang hitam pertama sekjen PBB, Kofi Annan.

Mestinya semua belajar ke Eep. Mestinya semua orang tidak  perlu menutup-nutupi ciri khasnya demi rasa malu atau harga diri. Mestinya semua orang justru bangga ciri khasnya tetap memancar walau di manapun. Apabila Herman Ngantuk mengingkari matanya yang selalu tampak kebelet tidur, mungkin ia malah tidak pernah  tampil. Orang yang pernah kerap bermain sinetron itu membiarkan apa yang memang sudah menjadi ciri khasnya.

Maka di sidang-sidang, pengadilan, DPR, kabinet, para tokoh tidak perlu lagi memelek-melekkan mata dan menyemangat-nyemangatkan diri agar tidak ketahuan ngantuk. Kamera media cetak maupun televisi biar saja mencuri-jepret lantas menjadikannya foto dan tayangan kengantukan yang menyebar. Dari situ toh masyarakat bisa beroleh pengalaman berharga dengan menyaksikan ciri khas?

Ngantuk ya ngantuk, tak usah disegar-segarkan laksana orang baru minum kopi… Nah, ngomong-ngomong soal kopi, saya bangkit kenangan kepada sajak seorang teman yang untuk ukuran umum 20-an tahun lalu hidupnya cukup pahit. Sajak itu ditempel di kamarnya sendiri, dekat cermin: Biar laksana kopi, sedikit pahit namun membangkitkan.

Cukup pahit menyaksikan begitu banyak orang mengantuk di tengah situasi yang mestinya tidak mengantuk. Cukup pahit mendengar kabar dari Jakarta Timur, Selasa malam lalu. Seorang karyawati tengah menunggu jemputan. Seseorang menodong dan memperkosanya di Taman Kebon Pala.
Tapi bukankah semua kepahitan itu menggairahkan generasi berikutnya untuk mencegah atau setidaknya tidak mengulangi kelakuan serupa?

Cukup pahit menangkap gejala dan kecenderungan Jakarta bakal kian digempur  franchise warung-warung kopi dari manca negara. Sekarang beberapa sudah muncul. Namun cukup menggairahkan karena beberapa orang telah bikin antisipasi itu.

Di antaranya Hendra Widjaja, anak muda generasi keempat dari Liauw Tek Siong, pemilik tokok Tek Sun Ho di Hayam Wuruk yang pada 1930 menjadi toko pengekspor pertama kopi ke luar negeri. Ia kini membuka semacam warung modern Bakoel Koffie di Barito.  Yang penting Hendra yakin, tak ada yang lebih berciri khas dan enak dibanding kopi dari Indonesia (Sumatera, Jawa dan Sulawesi). Optimisme ini harus kita sambut. Kalau benar demikian, bagi saya, sebaiknya kita tak mengakui bahwa di luar Indonesia ada kopi. Kecuali Kopi Annan. Ya, Kang Eep?