Orasi
Search this site or the web powered by FreeFind

Site search Web search
Kesabaran Revolusioner:
Merebut Masa Depan Politik Indonesia


TAMPAKNYA, cukup banyak orang enggan berdiskusi tentang “masa depan Indonesia”. Alasan mereka sederhana: tak percaya Indonesia masih punya masa depan, dan bahkan tak percaya bahwa Indonesia masih akan ada.

Sikap ini bisa dimengerti. Begitu centang perenangnya Indonesia di masa kini membikin orang berhenti berharap akan masa depan. Bagi mereka, masa depan adalah sesuatu yang tak terumuskan. Gelap. Indonesia pun, bagi mereka, tenggelam dalam kegelapan itu: Sebuah kapal yang pasti karam. Mereka merasa seperti pesakitan menanti eksekusi; menjemput berita buruk yang pasti datang.

Tetapi, bagi saya, sikap itu mengidap persoalan mendasar. Ia keliru mendefinisikan “masa depan” dan merumuskan “Indonesia”.

Di sini, ada baiknya kita kutip St. Agustinus (345-430). “Waktu,” kata filsuf gereja ini, “adalah tiga lipatan masa kini: masa kini sebagaimana kita alami saat ini, masa lalu sebagai memori masa kini, dan masa depan sebagai harapan masa kini.” Maka, bersandar pada Agustinus, Sosiolog Daniel Bell, dalam essainya 30 tahun lalu, “The Future as Present Expectation”, pun menulis bahwa masa depan sebetulnya telah hadir di masa kini. Masa depan adalah konsekuensi dari cara kita mengelola masa kini.

Saya sepakat. Masa depan kita sebetulnya sedang dirumuskan. Wujudnya sangat bergantung pada kerja kita hari ini. Maka masa depan sangatlah konkret, tak absurd dan kabur. Mengubur masa depan dalam gelap sebetulnya mencerminkan ketidakmauan dan ketidakmampuan mengelola masa kini. Inilah persoalan mendasar itu. Masa depan akan ada - bahkan boleh jadi lebih cemerlang dari ramalan para cenayang - sejauh kita siap melipatgandakan kerja keras untuk merebut masa kini.

Saya yakin masih banyak orang berpikir seperti itu. Suatu hari Rendra, dengan caranya sendiri, bersepakat tentang itu. Ia menunjuk pada beberapa spanduk di sepanjang jalan yang kami lewati yang menawarkan kursus bahasa Inggris dan komputer untuk anak-anak sekolah dasar. “Itu kan bukti,” katanya “bahwa masa depan buat sebagian orang masih ada.” Ya. Ia bahkan ditawarkan, dijajakan pada orang lain.

Masalah dasar berikutnya adalah keliru mendefinisikan “Indonesia”. Saya duga, sambil menyokong gerakan demokratisasi, banyak orang yang diam-diam menganggap “Indonesia” sebagai sesuatu yang final, sudah selesai dirumuskan. Menerima anggapan ini sebetulnya sama artinya dengan menerima “Indonesia” sebagai hasil bentukan masa lampau yang kelam. Di masa lampau, segala sesuatu dirumuskan dengan kealpaan standar: dilakukan di bawah praktik hegemoni pemaknaan, secara sentralistis, atas nama penyeragaman, dan kerap kali dengan pemaksaan dan kekerasan.

Karena sebab itulah kemudian, orang Papua, Aceh, Jawa, Kalimantan dan semua orang di semua belahan Indonesia dipaksa menerima “Indonesia” sebagai identitas yang diseragamkan atas dasar “juklak” yang disusun di Jakarta, diturunkan satu arah dari atas, dan mesti dipatuhi. Jika tidak, mereka dicap terbelakang atau tak nasionalis atau dikucilkan. “Berbangsa” pun didefinisikan sebagai sebuah keharusan menerima “identitas besar” sambil melucuti “identitas-identitas kecil dan lokal”. Kepentingan individu, komunitas dan lokalitas dipaksa dipunahkan atau setidaknya disubordinasikan di bawah “kepentingan bersama” yang kabur maknanya.

Bukan Indonesia macam itu yang kita perlu pelihara. Ia bukankah “Indonesia sejati”. Atas nama demokratisasi atau masa depan yang lebih baik, seyogianya kita merumuskan kembali Indonesia. Alih-alih diseragamkan dengan mekanisme sentralistis, Indonesia harus dibuat sebagai hasil akhir dari pergulatan orang per orang, komunitas, lokalitas, dalam mendefinisikan diri mereka sendiri serta merumuskan dan memperjuangkan kepentingan mereka. Di sini, peranan demokrasi adalah memberi iklim, arena, tempat bermain yang sehat, kompetitif, dan adil. Jadi, bagi saya, alih-alih tak punya masa depan, Indonesia (yang "sejati") itu saat ini justru berada pada tahap-tahap kritis reformulasi dirinya. Hasil akhir reformulasi ini tetaplah Indonesia tetapi dengan hakikat dan tabiat yang nanti menjadi berbeda. Proses reformulasi ini -- karena dilakukan melalui proses dari bawah, dengan membiarkan partikel-partikel kecil di dalamnya mendefinisikan dirinya -- adalah proses yang akan berlangsung terus, dari generasi ke generasi. Inilah “Indonesia Baru” yang kerap disebut sambil disalahpahami.

Maka bagi saya, tak ada cara lain untuk memotret masa depan selain berkaca baik-baik pada masa kini. Masa depan adalah fungsi dari kerja keras hari ini. “Besok” tak akan pernah datang sendiri secara gratis melainkan mesti direbut “hari ini”.

Pertanyaannya: Bagaimanakah ia direbut? Medan perebutan macam apa yang tersedia? Ada banyak cara mendekati jawaban atas pertanyaan ini. Salah satunya: Merumuskan dulu soal besar dan mendasar yang dihadapi Indonesia saat ini dan menelusurinya ke masa depan. Bagi saya soal besar itu adalah transisi menuju demokrasi dan masa depannya. Inilah soal yang menuntut kerja penuh pertaruhan untuk mendamaikan proses demokratisasi dengan kebutuhan integrasi; merumuskan model dan operasi demokrasi yang tak identik dengan paceklik ekonomi atau kesejahteraan; dan merumuskan ulang integrasi yang layak bagi Indonesia sebagai sebuah negara besar.
Demorasi versus Integrasi

Demokratisasi bukan tanpa pertaruhan. Di Indonesia, dalam konteks transisi yang alot dan berlarut-larut, demokratisasi seolah-olah tak bisa seiring sejalan dengan integrasi. Konflik dan disintegrasi merebak sepanjang hampir empat tahun usia reformasi. Bentuknya beragam, mulai dari gelombang kerusuhan, konflik-konflik antarwarga, antarras, antaretnik, antarkelas atau antaragama, serta berbagai konflik berbasis separatisme -- yang masih terpelihara di Aceh dan Papua. Salah satu hasilnya: Kemerdekaan Timor Timur.

Indonesia tak sendirian. Situasi demokratisasi global menghasilkan potret kurang lebih serupa. Di tengah gelombang demokratisasi berskala global, wajah dunia dibikin buram oleh konflik. Sebuah sumber (Strauss 2002:7) mengungkapkan bahwa 19 persen dari 192 negara di dunia menghadapi konflik dalam beragam bentuk, dari perang antarnegara hingga perang dalam negara. Konflik itu menyebar di mana-mana: di 50 persen dari 14 negara Timur Tengah, 31 persen dari 42 negara Asia, 26 persen dari 50 negara Afrika, 4 persen dari 44 negara Amerika, dan 2 persen dari 42 negara Eropa.

Maka, akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 membawa kabar baik dan buruk sekaligus: dunia disapu gelombang demokratisasi tetapi makin carut-marut, centang perenang. Bagaimana kita di Indonesia memahami ini?

Studi Mark J.C. Crescenzi dan Andrew J. Enterline, “Ripples from the Waves?" (1998) bermanfaat di sini. Lewat studi kuantitatif tentang hubungan antara demokratisasi, demokrasi, dan konflik dalam negara, untuk rentang waktu 1816-1992, studi ini menyimpulkan bahwa demokratisasi adalah lahan subur bagi merebaknya konflik dalam negara, tetapi demokrasi justru mengendalikannya. Michel Wieviorka (“Violence, Culture and Democracy," 1996) dalam studi berfokus ke Eropa, juga membuktikan bahwa demokrasi justru berperan menciptakan perdamaian via pengelolaan konflik.

Maka, tak ada alasan untuk kembali ke masa lampau -- ke “Zaman Normal” -- atas nama kebutuhan stabilitas, pengelolaan konflik, dan integrasi. Alih-alih memutar jarum jam sejarah ke belakang, kebutuhan kita adalah melipatgandakan kerja transisi menuju demokrasi, ke depan, hingga demokrasi bisa terkonsolidasikan.

Dengan kata lain, sumber ketidaksejalanan demokratisasi dengan integrasi adalah transisi demokrasi kita yang belum selesai dan berlarut-larut. Transisi semacam ini dicirikan oleh ketidakmampuan pemerintahan untuk mengatasi krisis ekonomi secara layak dan menghasilkan distribusi ekonomi secara lebih adil. Kebutuhan elementer akan pemerintahan yang kuat dan efektif belum kita penuhi.

Transisi kita juga ditandai oleh ketidakkonsistenan dan bahkan kegagalan pembentukan institusi-institusi demokrasi: reformasi konstitusi, otonomi daerah, partai politik dan sistem kepartaian, pemilu, penegakan hukum, dan reformasi birokrasi. Ia juga ditandai oleh tersendat dan lambannya pembentukan supremasi sipil dan depolitisasi militer secara menyeluruh, termasuk dengan menghentikan praktik bisnis militer.

Tanda lainya adalah kelemahan atau mismanajemen organisasi-organisasi sosial dan gerakan-gerakan sosial untuk demokrasi. Sumbernya antara lain kecenderungan antipolitik -- tak bersedia terjun ke gelanggang politik tapi sambil tak rela menyerahkan banyak urusan pada institusi-institusi politik demokrasi yang tersedia -- di kalangan organisasi itu. Ia, transisi kita, juga ditandai oleh absennya strategi manajemen konflik yang layak. Mirip dengan di masa lalu, manajemen konflik lebih menargetkan penguburan konflik ke bawah permukaan ketimbang resolusi dan institusionalisasi konflik.

Maka, menghubungkan “demokratisasi” dengan “penyebaran konflik” adalah masuk akal, bisa diterima, tetapi menghubungkan “demokrasi” dengan “disintegrasi” adalah kekeliruan. Ketika terkonsolidasikan, demokrasi justru menjamin terjadinya institusionalisasi konflik dan pengelolaan integrasi secara layak. Dalam kerangka ini, persoalan Indonesia hari ini adalah cenderung lebih cepatnya perluasan dan pendalaman konflik dibanding pelembagaan demokrasi, sebagai akibat transisi yang kurang terkelola. Inilah bahaya masa kini yang mengancam masa depan.
Demokrasi dan Paceklik Ekonomi

Penganjur demokrasi percaya bahwa demokrasi adalah sistem terbaik. Per definisi, tak banyak perdebatan bisa dilakukan menyangkut kepercayaan ini. Tetapi, dalam tataran praktik, kepercayaan terhadap cara kerja dan manfaat demokrasi bisa turun sejalan dengan derajat sukses mempraktikkan tipe rezim ini.

Di Indonesia, berkembang anggapan bahwa demokrasi adalah berita buruk bagi kesejahteraan rakyat. Reformasi adalah “repot-nasi”. Seperti tercermin dalam media massa, cukup banyak orang menyalahkan demokratisasi sebagai sebab musabab kesulitan hidup. Pada saat sama terbit kerinduan atau romantisme pada masa lampau, masa otoritarianisme, sebagai era ekonomi jaya.

Itulah, antara lain, yang dibantah oleh studi terbaru Adam Przeworski dkk, Democracy and Development (2000). Berdasarkan studi serius dan hati-hati terhadap 141 negara dalam rentang 1950-1990, terbuktikan bahwa demokrasi justru lebih memberi peluang bertahannya pertumbuhan ekonomi dan pembangunan ketimbang kediktatoran. Lalu, bagaimana kita memahami Indonesia hari-hari ini dengan menggunakan kesimpulan ini?

Anggapan bahwa demokrasi membawa paceklik ekonomi sebetulnya menggarisbawahi kegandrungan banyak orang pada “potret” dan bukan “adegan”. Mereka mencetak masa Suharto menjadi sehelai potret, lalu mencetak satu helai lagi untuk era reformasi. Ketika dibandingkan, potret pertama benderang, yang kedua suram-buram. Di sinilah letak persis kekeliruannya. Era Orde Baru dan reformasi tak dilihat sebagai sebuah adegan yang saling berhubungan. Reformasi sebetulnya tak mencetak masa paceklik melainkan menerimanya sebagai warisan dari era sebelumnya.

Namun, terlepas dari itu, kelambanan apalagi kegagalan pemerintahan demokratis mengatasi krisis ekonomi dan menggapai sukses pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, adalah tantangan riil masa kini dan masa depan. Kegagalan menjawab tantangan ini adalah kabar buruk bagi masa depan demokrasi. Ia akan membasmi kepercayaan masyarakat akan manisnya buah demokrasi. Berbagai studi membuktikan bahwa kegagalan pemerintahan demokratis mendorong pertumbuhan dan pembangunan ekonomi bisa memperlemah penerimaan orang banyak (legitimasi) terhadap demokrasi.

Di sini, merebut masa depan membutuhkan pemerintah yang tak saja kuat tapi juga efektif. Inilah masalah kita hari ini. Di masa Abdurrahman Wahid, pemerintah lemah -- karena gaya kepemimpinan dan kebijakan Abdurrahman mengeroposkan dukungan politik padanya -- dan tak efektif. Di masa Megawati sekarang, pemerintah relatif kuat -- karena sokongan partai-partai yang relatif lebih terpelihara dibanding era sebelumnya -- tetapi tetap saja terseok-seok dalam efektivitas.

Artinya, pemerintah yang kuat saja tak cukup. Ia mesti punya arah yang jelas, memiliki komitmen pada agenda-agenda demokratisasi, dikelola dengan rapi, memiliki prioritas jelas yang dijalankan secara seksama, memiliki kepemimpinan demokratis yang kuat dan bertanggungjawab, serta bekerja secara meyakinkan sehingga menumbuhkan kepercayaan masyarakat. Dalam kerangka ini, adalah tak memadai merebut masa depan dengan sekadar membentuk koalisi besar yang kuat sambil abai pada kebutuhan-kebutuhan di atas.

Pemerintah kuat dan efektif itulah yang menjadi pilar demokrasi Indonesia bersama-sama dengan pengawasan dan oposisi -- dalam pengertian luas -- yang terus terjaga. Amerika menamainya sebagai checks and balances. Kita boleh menamainya apa saja, tapi itulah hakikatnya.
Integrasi dan Sentralisme

Ada anggapan bahwa Indonesia terlalu luas dan besar secara geografis, terlalu majemuk secara sosial, dan terlalu padat secara demografis untuk bisa dikelola dan diintegrasikan secara baik. Ada gejala, anggapan ini meluas sejalan dengan berkembangnya demokratisasi beberapa tahun terakhir. Lalu, orang pun menengok pengalaman Uni Soviet, Yugoslavia dan Chekoslovakia yang terbelah-belah setibanya demokratisasi.

Secara implisit, anggapan semacam itu sebetulnya membenarkan salah satu azimat Orde Baru: Hanya dengan pemerintahan yang sangat kuat dan sentralistis lah Indonesia bisa dipersatukan. Karenanya, anggapan itu mengidap persoalan serius. Ia menyandarkan diri pada penilaian keliru tentang otoritarianisme beserta kenikmatan semu yang dihasilkannya. Inilah anggapan kalangan konservatif di Rusia hari-hari ini bahwa hanya dengan komunisme yang totalitarian lah bangsa Rusia bisa kembali gagah bersatu menghadapi tantangan masa kini dan masa depan.

Kekeliruan itulah yang digarisbawahi oleh Ronald Wintrobe dalam Political Economy of Dictatorship (1998) sebagai berhenti mengenang kediktatoran sebagai penghasil kebaikan tanpa menelusuri lebih lanjut betapa kebaikan-kebaikan itu bersifat sesaat dan menjadi sumber dari keburukan-keburukan besar untuk masa sesudahnya. Begitulah: Era gelap Sukarno dan terutama Suharto seolah-olah bisa dikenang secara romantis sebagai “Zaman Normal” yang menyemaikan kebaikan. Orang lupa-alpa bahwa justru itulah masa yang membentuk dan mewariskan krisis yang kita hadapi hari-hari ini.

Begitulah: Sentralisme era Sukarno dan Suharto justru gagal membangun basis bagi integrasi yang sejati. Ia mengajarkan bahwa integrasi tak bisa dicapai dengan mendayagunakan represi secara eksesif, massif, terus-menerus. Ia mengajarkan bahwa penyeragaman dan sentralisasi ternyata merupakan pengikat, bukan pembebas. Yang dihasilkannya adalah integrasi semu yang keropos. Secara sosial, masyarakat seolah-olah saling toleran tetapi dalam toleransi yang berhenti sebagai kamuflase. Toleransi itu tak mendarah daging menjadi kerelaan untuk mengakui bahwa kebenaran bisa juga dimiliki oleh pihak lain. Yang dipeliharanya adalah bom waktu yang belakangan meledak satu per satu.

Bagi saya, merebut masa depan Indonesia -- negara besar dengan masyarakatnya yang majemuk dan penduduknya yang padat -- adalah mau mengakui fakta-fakta itu dan bertobat untuk tak mengulanginya. Di sini muncul sejumlah keharusan: desentralisasi dengan mengembangkan otonomi daerah; refomurlasi sistem politik secara menyeluruh yang perlahan tapi pasti mengganti titik tumpu sistem itu dari satu pusat kuat yang mengendalikan segala sesuatu secara penuh, menjadi kekuatan individu, komunitas, dan lokalitas.

Jalan merebut masa depan bukanlah dengan berbalik kembali ke otoritarianisme yang sentralistis tetapi mengembangkan otonomi partikel-partikel kecil sambil memberinya pagar, sistem, aturan, kerangka, arena permainan yang membuatnya saling menyokong menjadi sesuatu yang lebih besar. Inilah hakikat demokrasi itu. Indonesia mesti menjadi hasil akhir dari pergulatan partikel-partikel kecil di dalamnya, bukan sesuatu yang diformat standar dan seragam atas nama kemauan besar yang tak bisa dibantah dan dilawan.

Maka, gejala ke arah penguatan kembali sentralisme belakangan ini adalah kabar buruk. Ia bukan hanya membangunkan kita dari mimpi indah tentang masa depan, tetapi juga diam-diam megundang kembali mimpi buruk yang mengganggu tidur kita selama usia panjang otoritarianisme.
Kesabaran Revolusioner

Menghadapi transisi demokrasi Indonesia yang alot dan berlarut-larut, banyak kalangan yang tergiur mengagendakan revolusi sebagai satu-satunya jalan keluar. Bagi mereka, masa depan yang lebih baik mustahil dicapai lewat proses transisi yang evolusioner. Ia hanya mungkin diraih lewat perubahan menyeluruh secara sangat cepat, sebuah revolusi.

Mereka percaya bahwa gejala-gejala ke arah revolusi sudah makin tampak. Yang biasa ditunjuk adalah hancurnya kepercayaan rakyat terhadap proses politik dan ekonomi formal yang sedang berjalan serta sudah terlampauinya ambang batas toleransi rakyat menghadapi lambannya proses dan buruknya hasil reformasi. Mereka menyebut aksi-aksi kerusuhan dan main hakim sendiri sebagai bukti betapa kemarahan rakyat sudah meluap dan tak mungkin terbendung. Mereka pun percaya, revolusi sosial sudah di ambang pintu.

Bagi saya, argumen semacam itu tak meyakinkan, mengidap sejumlah kesimpulan meloncat dan tak selesai, dan bahkan a-historis. Revolusi memang menjanjikan di ranah retorika -- sebagai hiasan essai atau pidato -- tetapi tak punya infrastruktur di tingkat empirik.

Belajar dari pengalaman sejarah revolusi di berbagai belahan dunia, serta membuka kembali studi-studi tentang itu - dari studi klasiknya Crane Britton (1938), E.H. Carr (1950), Barrington Moore Jr. (1966), atau Theda Skocpol (1979) hingga studi-studi yang lebih baru semacam Edmond J. Keller (1991), James DeFronzo (1996), Fred Halliday (1999), Misagh Parsa (2000), atau Jeff Goodwin (2001) - terlihat jelas bahwa tiap revolusi butuh infrastruktur. Revolusi bukanlah buah dari sekadar kemarahan yang tak terkelola. Ia tak tiba-tiba jatuh dari langit.

Terlepas dari berbagai perbedaan sosial, politik, demografi, dan kebudayaan dari tiap kasus revolusi, secara umum revolusi butuh infrastruktur berikut: pembangkangan massa yang diorganisir, keretakan dan pembangkangan elite yang dikelola, adanya motif padu untuk revolusi, terjadinya krisis negara berupa melemahnya instrumen negara dalam memfungsikan regulasi, dan adanya permisivitas lingkungan dunia (DeFronzo 1996:10-22). Tanpa -- setidaknya sebagian besar dari -- infrastruktur ini, revolusi berhenti menjadi pidato.

Selepas otoritarianisme Orde Lama dan Orde Baru yang bernafas panjang, kita justru menghadapi absennya infrastruktur itu. Ada masyarakat yang marah tapi tak tersedia masyarakat revolusioner. Motif kemarahan tersedia, bahkan melimpah ruah, tetapi tak pernah menjadi motif padu untuk revolusi. Ada gelombang kemarahan tetapi tak pernah bergerak maju menjadi perlawanan yang teroganisir. Ada ledakan sosial di mana-mana tetapi tak ada jaringan atau mata rantai yang menghubungkannya. Tak ada organisasi revolusi. Tak ada kepemimpinan revolusioner di berbagai tingkat. Ada pembangkangan elite tetapi dalam skala kecil dengan motif kepentingan jangka pendek yang kental. Krisis negara terjadi pada berbagai level tetapi tak menggoyahkan kemampuan regulasi instrumen-instrumennya sehingga pemerintahan tetap bisa hidup bertahan. Maka, revolusi bukanlah jalan keluar tetapi nyanyian pelipur lara.

Jalan yang menjanjikan adalah apa yang ingin saya sebut sebagai “kesabaran revolusioner”. Inilah gabungan dari keberanian menetapkan tujuan-tujuan akhir yang revolusioner (berbeda secara menyeluruh dan mendasar dari yang terbentuk di masa lalu dan tersedia saat ini) dengan kerelaan mengakui secara jujur infrastruktur perubahan yang tersedia dan bisa dibentuk.

Kesabaran revolusioner adalah gabungan dari semua kualitas berikut: keberanian dan kemampuan menetapkan tujuan-tujuan agung -- tujuan-tujuan revolusioner -- yang hendak dicapai sejak mula; kerelaan mendata modal dan rencana langkah secara seksama; keikhlasan untuk bersabar menjalani langkah demi langkah maju yang sudah disusun secara seksama pula; meraih satu per satu hasil tanpa terjebak ketergesaan; keikhlasan dan kemampuan menyusun dan menggunakan metode yang tepat untuk setiap medan, keadaan, dan waktu yang berbeda; dan rasa awas yang terus terjaga untuk membikin tak tersesat, mengalami disorientasi, menjauh dari tujuan agung yang dicanangkan sejak mula.

Kesabaran revolusioner bukanlah sebuah oxymoron, persetubuhan dua kata yang saling membunuh. Mengambil khasanah sejarah awal pembentukan Republik Indonesia merdeka, dengan melakukan sejumlah penyederhanaan yang tak terhindarkan, ia adalah sebuah kapasitas yang mengkomplementasikan tujuan-tujuan revolusioner seorang Sukarno dengan kesabaran dan ketekunan seorang Hatta.

Maka di sini, “kesabaran” adalah sebuah energi kinetik yang aktif, bukan energi potensial yang diam, tak bergerak, menunggu. Sementara “revolusioner” menunjukkan hasil akhir yang hendak dicapai, bukan waktu perubahan. Kesabaran revolusioner adalah perlengkapan untuk mengubah mimpi menjadi cita-cita, cita-cita menjadi kerja nyata, dan kerja nyata menjadi hasil baik.

Menggunakan jalan kesabaran revolusioner berarti mengakui bahwa proses demokratisasi tak saja mensyaratkan “pemberdayaan struktural”, yakni pembentukan kemampuan untuk melawan dan membebaskan diri dari struktur yang mengungkung dengan jalan struktural. Ia pun mensyaratkan “pemberdayaan sosial”, dalam wujud mempertinggi kemampuan interaksi, membangun organisasi dan jaringan, serta pada akhirnya mengakumulasikan modal sosial bagi demokrasi. Lebih dari itu, ia pun mensyaratkan “pemberdayaan kognitif”, dalam bentuk penyadaran, pendidikan, dan penanaman kesadaran orang per orang untuk berjuang bagi kepentingannya, menjaga haknya, menjaga hak orang lain dan orang banyak, bertumpu pada diri sendiri, dan melawan setiap kali haknya dicederai.

Untuk merebut masa depan politik Indonesia yang lebih baik, tantangan bagi jalan ini antara lain adalah ketiadaan arah, ketergesa-gesaan, lepasnya kontrol, kurangnya rasa awas, dan kecenderungan untuk bergantung pada pemimpin, orang besar, Ratu Adil.

Saya percaya, peradaban adalah hasil akhir dari kesabaran panjang berbilang tahun. Tetapi, ia bukanlah kesabaran untuk membiarkan transisi yang berlarut-larut dan tak tentu arah, melainkan kesabaran untuk melakukan evaluasi dan menata ulang perubahan yang sedang berjalan dan mendesakkannya ke arah yang semestinya. Sekali lagi, ia bukanlah kesabaran pasif yang diam dan menunggu melainkan kesabaran aktif. Ia adalah energi yang bergerak maju dari dari potensial menjadi kinetik. Saya percaya, inilah jalan untuk merebut masa depan politik Indonesia itu.

Columbus, 28 November 2002