Halaman 2

Saudara-saudara,

Sebagaimana saya nyatakan dalam wawancara dengan majalah Matra, beberapa bulan lalu, Gus Dur adalah orang yang sangat cerdas. Ini terbuktikan lewat bukti-bukti lisan maupun tulisan bernas, terutama sejak akhir dekade 1970-an dan awal dekade 1980-an. Hingga sekarang, kecerdasannya dalam menilai situasi belum terlihat terlalu surut sekalipun tak lagi se-kinclong, semengkilat, sebelum Gus Dur dilanda sakit. Ketika Gus Dur menggunakan kecerdasannya ini sebagai alat dalam politik, maka yang lahir adalah dua kualitas: kecerdasan intelektual jangka panjang yang luar biasa (kepandaian menemukan alasan besar untuk soal-soal kecil), dan kelicikan politik jangka pendek (kepandaian mematikan lawan politik tanpa senjata tapi dengan rasa sakit yang setara).

Maka kecerdasan Gus Dur membanggakan ketika berpidato serius tentang masa depan, tetapi amat sangat mengkhawatirkan ketika menjadi alat politik jangka pendek. Kekhawatiran bisa menggelembung menjadi-jadi tatkala Gus Dur dipaksa - atau mengikhlaskan dirinya - untuk terlampau sibuk melakukan kelicikan-kelicikan politik jangka pendek tanpa sisa waktu untuk mengaktualisasikan kecerdasan intelektual jangka panjangnya. Inilah yang kita saksikan sekarang. Sungguh ironis, ketika kita memiliki presiden seperti Gus Dur, jalannya pemerintahan justru begitu sengit ditandai oleh banyaknya hilir mudik politik dagang sapi; dan di saat yang sama pemerintahan berjalan tanpa paradigma. Ya. Sungguh ironis, ketika presiden yang berkuasa telanjur dikenal sebagai tokoh yang visioner ternyata kekuasaannya dijalankan dalam pemerintahan sehari-hari yang nyaris tanpa visi.

Saudara-saudara,

Hal kedua yang dihasilkan oleh gabungan sosok Gus Dur sebagai politisi dengan latarnya sebagai pemikir-budayawan-agamawan-humoris adalah harapan. Gus Dur datang di waktu yang menantang berhadapan dengan jumlah pekerjaan yang teramat banyak dan besar. Para teoritisi transisi demokrasi menyebut situasi sejarah yang dihadapi Gus Dur itu sebagai “awal dari sebuah transisi yang sesungguhnya setelah sebelumnya berjalan pratransisi dan liberalisasi terbatas.” Gus Dur berhadapan dengan sejarah yang tabiatnya sangat mirip dengan yang dihadapi oleh Gorbachev, Havel, Corry, Mandela, Walesa, dan sederet panjang nama lain.

Sosok Gus Dur menimbulkan harapan mengingat semestinya ia akan pandai membuat prioritas pekerjaan di tengah begitu banyak pekerjaan; cerdas memilih langkah awal yang hati-hati di tengah begitu banyak tawaran loncatan serampangan; cerdik membangun aliansi di tengah begitu banyak orang baru yang merasa bersih dan orang lama yang mengaku tobat. Gus Dur semestinya - sekali lagi, semestinya -- pantas diharapkan sebagai pembangun fondasi demokrasi. Secara teoritis, Gus Dur memiliki kapasitas yang memadai untuk - bersama-sama dengan kita - menuntaskan pembentukan “perangkat keras” bagi demokrasi: memperbanyak pelaku politik yang otentik, membangun istitusi baru dan memperbaiki yang lama, memperbaiki aturan lama dan membuat aturan-aturan baru yang demokratis, menyiapkan kerangka dasar bagi mekanisme kerja politik, ekonomi, dan kebudayaan. Pada saat yang sama, ia memiliki kapasitas memadai untuk juga bersama-sama kita mulai memperbaiki tabiat dan moralitas bangsa.

Amat disayangkan bahwa harapan itu terlalu cepat mengabur terutama dan pertama-tama lantaran problem-problem yang diidap sendiri oleh Gus Dur. Dari berharap, saya sendiri mulai terjatuh menjadi cemas. Jangan-jangan zaman besar sekarang ini benar-benar hanya akan melahirkan orang-orang kerdil. Lagi-lagi.

Saudara-saudara,

Yang juga dilahirkan oleh gabungan antara sosok Gus Dur sebagai politisi dengan latarnya sebagai pemikir-budayawan-agamawan-humoris adalah bahaya. Ternyata gabungan yang luar biasa langka itu semakin hari semakin mewujud menjadi bahaya bagi transisi menuju demokrasi. Baiklah, ada baiknya saya merinci secara seksama kemungkinan bahaya yang saya maksud.

Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan Gus Dur betah menjadi pemimpin di garis perbatasan, pemimpin marjinal. Ia sangat mungkin - dan bukti soal ini sudah cukup banyak - untuk tidak mau secara ikhlas melangkah tegas di antara garis agamawan dan kepala negara; pemikir dan pengelola konflik; atau bahkan humoris dan kepala pemerintahan. Ketika dituntut berperan sebagai pengelola konflik di Ambon, misalnya, Gus Dur justru datang sebagai pemikir penganut “pemerintahan terbaik adalah yang melakukan sedikit hal”. Ketika sebagai kepala pemerintahan dituntut mempertanggungjawabkan pemecatan Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi misalnya, ia justru datang sebagai humoris. Bahkan ketika sebagai kepala negara dituntut menghadapi gelombang kritik masyarakat, ia justru berlaku seolah-olah panglima perang.

Lalu, bahaya semacam itu berlanjut secara mengkhawatirkan dalam bentuk lahirnya penyikapan-penyikapan Gus Dur yang tidak pantas. Ia suka terlalu serius untuk soal yang tidak besar; sebaliknya ia sering terlalu santai untuk soal-soal sangat besar. Menghadapi kritik, demonstrasi menggugat pemerintahannya, dan interpelasi dari DPR - sebagai misal soal-soal yang tidak besar - Gus Dur begitu serius dan makan hati. Bahkan, seperti dikatakan oleh para pengeritik-kerasnya, Gus Dur seperti mengidap paranoia. Tapi, dalam menjawab kebutuhan manajemen konflik Ambon, Papua, dan Aceh (juga Riau) - soal-soal sangat besar - Gus Dur justru sangat santai.

Saya ingin menyebut kecenderungan itu sebagai gaya “anak manja makan nangka”. Si anak manja tak pernah mau repot dengan getah dan maunya mencomot nangka yang sudah bersih yang bisa langsung dilahapnya. “Ideologi” anak seperti ini sederhana dan menguntungkan dirinya: “Bagimu getahku, bagiku nangkamu.” Dalam konteks Gus Dur, gaya dan “ideologi” ini sangat terlihat tegas dalam gaya pemerintah menangani kasus Ambon.

Ketika Gus Dur dan Megawati datang ke Ambon beberapa bulan lampau, di tengah penantian masyarakat Ambon akan kemampuan pemimpin pemerintahan mengelola konflik dalam masyarakatnya, Gus Dur justru hanya mengatakan bahwa orang Ambon mesti menyelesaikan sendiri konflik di antara mereka. Pada saat itu, Gus Dur mempraktikkan secara sangat fasih “ideologi” bagimu getahku dan bagiku nangkamu.

Inilah nangkanya: Jika pemerintahan Gus Dur berhasil mengatasi soal ini maka terkonfirmasilah dan terkuatkanlah citra moralnya sebagai pemimpin lintaskelompok, pemikir ideologi toleransi, penggagas pluralisme Indonesia, harmonisator, dan di atas segalanya demokrat. Tapi nangka itu mau dimakannya dengan meminta agar masyarakat Ambon yang sedang bertikai membersihkan dulu getahnya: Selesaikan konflik di antara kalian oleh kalian sendiri. Padahal, di manapun, pada tingkat paling minimal pemerintah semestinya berfungsi sebagai pemberi garansi rasa aman kolektif bagi masyarakatnya dan menjadi kekuatan pengelola konflik. Dua fungsi pokok itu ditinggalkan Gus Dur ketika datang ke Ambon.

[Bersambung...]