RESENSI

Suara Pembaruan, 2000
Provokasi Eep: Bongkar Tirani di Kepala

Judul: Provokasi Awal Abad (Membangun Panca Daya, Merebut Kembali Kemanusiaan)
Penulis: Eep Saefulloh Fatah
Penerbit:  PT Remaja Rosdakarya, Bandung
Tebal: xv + 91 halaman.

Tirani yang selama ini di kepala kita masing-masing ibarat kanker yang menutup mata hati, dan menjadi penyakit kronis di seluruh jasad kita. Karena tirani di kepala kita masing-masing sebagai anak bangsa, kita hanya bisa melakukan fitnah, mencaci maki, dan melukai saudara sendiri. Begitu juga sebagai massa, kita hanya bisa menjarah, membakar, dan membunuh saudara sendiri.

Tirani di kepala kita masing-masing pula membuat kawan-kawan, anak-anak muda, sesama anak bangsa hanya bisa membantai saudara sendiri. Hari-hari ini, akibat tirani di kepala masing-masing konflik dan perang saudara, serta pembunuhan sesama anak negeri terus berlangsung. Persoalan kian menjadi berat tatkala dominasi kekuasaan telah menjadi hegemoni.

Jika kita ingin menjadi bangsa yang besar, tirani di kepala kita masing-masing itulah yang harus dibongkar. Artinya, sebagai sesama anak bangsa kita harus segera menyadari dan membangun kembali diri kita masing-masing. Itulah provokasi yang dilontarkan Eep Saifullah Fatah, dalam buku Provokasi Awal Abad (Merebut Panca Daya, Merebut Kembali Kemanusiaan, suatu provokasi yang mencerdaskan.

Buku hasil renungan akhir abad, di Candi Cetho di kaki Gunung Lawu itu mengajak kita untuk saling menasihati dan menyadarkan dalam hal kebenaran. Dalam pandangan intelektual muda yang produktif dalam berkarya itu, masalah mendasar bangsa ini sebenarnya terletak di kepala masing-masing anak bangsa. Tanpa sadar sebenarnya kita telah memelihara tirani di kepala masing-masing. Tanpa disadari, tirani telah membuat kita hanya sebagai kerumunan massa yang gampang diperalat oleh elite-elite politik.

Kalau kita ingin menjadi bangsa besar, kita harus segera membongkar tirani di kepala kita masing-masing. Caranya, kita harus merumuskan memanifesto diri sendiri, yaitu membangun kesadaran sebagai subjek kehidupan dan perubahan bangsa. Hanya dengan memanifesto diri sendiri kita bisa menjadi warga negara yang mampu berhadapan dengan siapa pun.

Kita harus bercermin, bahwa banyak perlawanan yang gagal akibat mengabaikan kekuatan diri sendiri. Dengan memanifesto diri sendiri, setiap anak bangsa akan menjadi subjek perubahan bangsa. Kekuasaan apa pun dapat dilawan jika kita berhasil mengubah diri menjadi warga negara yang cerdas.

Cara Memanifesto Diri

Lalu, bagaimana cara memanifesto diri sendiri tersebut? Sebagai bangsa, sesungguhnya kita masih mempunyai lima aset, atau lima kekuatan (panca daya) yang hebat untuk dikembangkan.
Pertama, kekuatan spiritualisme. Sayangnya, selama ini, kekuatan spiritualisme makin menjauh, sehingga sebagai bangsa kita hanya menjadi "permainan" pihak lain.

Untuk itu, kekuatan spiritualisme harus dibangun kembali untuk menghadapi segala tantangan.
Kedua, kekuatan sejarah. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati sejarahnya. Untuk menjadi bangsa yang besar, perumusan kembali sejarah, yang selama ini ditulis secara tidak jujur, dan penuh rekayasa harus segera dibenahi.

Ketiga, kekuatan kemajemukan. Bangsa Indonesia sebenarnya cukup berhasil membangun kemajemukan. Sayang, akhir-akhir ini sistem feodalisme, kolonialisme, dan otorianisme telah memporak-porandakan kekuatan tersebut. Untuk itu, penataan kembali kemajemukan bangsa harus segera dilakukan.

Keempat, kekuatan hati nurani. Untuk menuju Indonesia yang gilang-gemilang, kita harus meletakkan penggalangan hati nurani. Karena, hanya dengan penggalangan hati nurani, feodalisme, kolonialisme, dan otoritarianisme, yang telah melukai dan memenjarakan bangsa Indonesia, tak akan mampu bangkit kembali. Harus disadari, jaringan hati nurani, adalah kekuatan yang sangat besar yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kekuatan partai mana pun.

Kelima, kekuatan anak-anak muda. Abad ke-21 merupakan abad anak-anak muda yang cerdas. Karena itu, agar Indonesia menjadi negara yang besar maka anak-anak harus mampu merebut dan membangun masa depan dengan gemilang.

Singkatnya, Indonesia akan menjadi bangsa yang besar, jika kita berhasil membangun panca daya di atas. Dengan kekuatan tersebut, kita dapat membangun, merancang, dan menjalani sejarah yang kita bangun sendiri, tanpa ada yang berani menindas, dan bertindak semena-mena (halaman 17).

Buku ini pantas dibaca oleh siapa pun. Paling tidak, buku ini mengajak kita untuk menciptakan kesadaran sebagai anak bangsa. Di tambah, goresan puisi WS Rendra yang melukiskan penderitaan ibu pertiwi, semakin menambah kekuatan isi buku ini.

(Arvita Yulia)