Halaman 1
Membangun Kembali Panca Daya,
Merebut Kembali Kemanusiaan

Provokasi Awal Abad
Oleh Eep Saefulloh Fatah
Disampaikan di Taman Budaya Surakarta,
Sabtu, 1 Januari 2000



Saudara-saudara sekemanusiaan,

Jumat 31 Desember 1999 adalah sama dengan Jumat-Jumat lain yang pernah dan akan kita temui. Pun, Sabtu 1 Januari 2000 adalah Sabtu yang sama biasanya dengan setiap Sabtu yang kita sua. Tapi mengapa kita merasa perlu ada di sini? Meminjam inti penjelasan Rendra, yang bersama Ken Zuraida mengundang Saya membuat provokasi ini, setidaknya kita bisa menyebut dua alasan.

Pertama, waktu adalah zat yang berada di luar kekuasaan kita. Waktu ada bukan karena kita melainkan bersama kita. Maka kita ada di sini dalam suasana pergantian tahun, abad, dan alaf, sebagai sebuah upacara untuk mengikhlaskan betapa kecil kuasa kita sebagai manusia. Pada saat sama, dengan rendah hati kita menyadari sungguh-sungguh betapa mahadahsyatnya kuasa Tuhan.

Kedua, sekalipun waktu, rentang waktu, dan proses yang bergulir di dalamnya berada di luar jangkauan kita, selalu ada keharusan untuk memberinya makna. Hari ini kita ada di sini untuk bersama-sama memberi makna. Bagi saya, kerja pemberian makna ini sama sekali bukan ikhtiar untuk menunjukkan kegagahan melainkan justru untuk memikul amanat Tuhan secara rendah hati sebagai pemimpin dunia (khalifatullahi fil ardh).

Karena itu saya merasa gembira diberi kesempatan membuat sebuah provokasi awal abad hari ini. Saya memang tak ingin mengutarakan sebuah pidato, melainkan mendesakkan sebuah provokasi. Saya khawatir sebuah pidato bakal gagal menanamkan semacam kesadaran pada kita untuk segera berbenah. Tapi, mudah-mudahan sebuah provokasi tidak.

Saudara-saudara sekemanusiaan,

Saya akan berbicara tentang apa yang saya inginkan di abad baru ini. Dan adalah kebetulan, waktu di pihak Saya. Ketika berbicara sekarang, saya dalam usia yang masih relatif muda. Ada banyak saudara yang hadir di sini yang usianya lebih bahkan jauh lebih tua dari saya. Tapi justru waktu tidak di pihak Anda. Abad ke-21 adalah masa “pensiun” Anda. Sementara bagi kami yang berusia jauh lebih muda, abad ke-21 adalah “lapangan pekerjaan” yang nyata. Maka saya ingin bicara tentang apa yang saya inginkan sebagai manusia yang ingin mengisi lapangan pekerjaan nyata itu. Usia saya membuat saya mau tak mau mesti bicara sebagai pelaku utama dan bukan pemeran pembantu, apalagi penonton.

Saudara-saudara sekalian,

Menurut saya, pekerjaan terbesar kita sepanjang abad baru ini pertama-tama bukanlah menghadapi ancaman rezim yang kuat, militerisme yang permanen atau kekuasaan yang terlampau kokoh sekaligus cacat tuli buta, yang akan terus bertahan lama. Cukup banyak gejala bahwa awal abad ke-21 disemarakkan dengan gelombang besar demokratisasi di mana-mana. Jika abad ke-20 dipandang oleh Kofi Anand, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, sebagai abad yang memilukan yang dipenuhi konflik, perang, pembunuhan dan ceceran darah, maka abad ke-21 adalah kebangkitan makna baru kemanusiaan.

Kita menjelang datangnya abad ke-21 ini dengan revolusi luar biasa dahsyat di bidang teknologi, terutama teknologi transportasi dan informasi. Ini tidak saja menjadikan dunia sebagai sebuah perkampungan kecil yang terasa lebih kecil dibandingkan kampung saya Cibarusah di Bekasi. Revolusi itu juga melahirkan gelombang pendefinisian baru persoalan-persoalan kita; dari persoalan puak, etnik, umat agama tertentu, dan persoalan negara-bangsa, menjadi persoalan bersama umat manusia. Ini mendatangkan kesadaran kemanusiaan baru di mana-mana. Dalam kerangka inilah, demokratisasi menggelombang menjadi gerakan global.

Kita di Indonesia, belakangan, terutama semenjak satu dekade terakhir, tampaknya mulai menyesuaikan diri dengan perkembangan itu. Proses keruntuhan Orde Baru, yang hingga kini belum usai seluruhnya, menandai penegasan penyesuaian diri kita terhadap perkembangan global itu. Dalam kerangka ini, sulit dalam waktu dekat kita membayangkan adanya rezim, militerisme, dan kekuasaan kuat kohoh bisu tuli, yang akan mampu bertahan lama, bernafas panjang, tanpa mengalami interupsi.

Tapi saudara-saudara sekemanusiaan,

Justru di situlah masalahnya. Indonesia menjalani proses demokratisasi itu dengan modal sosial politik yang rentan; dalam situasi yang mencemaskan. Dan inilah yang ingin saya katakan sebagai masalah terbesar kita sepanjang abad baru ini.

Masalah terbesar sepanjang abad ke-21 pertama-tama memang bukan ancaman kekuasaan kokoh kuat bisu tuli yang menindas sambil berusia panjang. Masalah terbesar kita pertama-tama adalah tirani yang telah tertanam di kepala kita masing-masing. Ya, sebuah tirani, yang oleh Michael Berenstein dalam buku pengenalan dinosaurus untuk anak-anak, Raja Dinosaurus: Tyrannosaurus Rex dimaknai sebagai "penguasa yang lalim dan sewenang-wenang". Di kepala kita diam-diam, hampir sepanjang abad ke-20 yang baru saja lewat, telah ditanam tirani itu.

Jadi bukan rezim otoritarian yang pertama-tama mengancam kita melainkan otoritarianisme yang telah ditanam di kepala kita masing-masing, dan boleh jadi diam-diam kemudian kita miliki dan pelihara sendiri-sendiri. Ia boleh jadi telah menjadi penyakit kronis di kepala kita, menutup hati kita, dan karena itu mempengaruhi seluruh jasad kita.

Adalah karena ada tirani di kepala kita masing-masing maka kita seperti dilanda oleh ketakutan berbuat untuk diri sendiri segala apa yang kita maui. Tirani di kepala kita lah yang memproduksi hantu yang kita takuti masing-masing, yang memperkecil daya kita.

Karena tirani di kepala kita itulah maka kita bisa melukai bahkan membunuh saudara kita sendiri. Adalah tirani itu yang membuat kawan-kawan, anak-anak muda di berbagai kota, sanggup membantai saudara sekemanusiaannya hanya lantaran perbedaan asal sekolah. Tirani di kepala kita itulah yang hari-hari ini membuat kehidupan kita dipenuhi oleh konflik, perang saudara, dan pembunuhan. Tirani itulah yang ada di kepala saudara-saudara kita di sebuah kecamatan di Halmahera yang dalam prosesi detik-detik pergantian abad kemarin ke hari ini, konon, telah membantai hampir 400 orang saudaranya sendiri.

Adalah tirani di kepala kita yang membiarkan kekuasaan zalim demi kekuasaan zalim bisa menari-nari dan terus menabuh genderangnya di atas penderitaan kita. Adalah tirani itu pula yang membuat kita seolah-olah merasakan otoritarianisme, kediktatoran, sebagai nikmat lezat. Tirani di kepala kita itulah yang sebetulnya membuat sistem yang menindas secara politik dan ekonomi serta menghasilkan ketidakadilan, bisa terus bekerja.

Saudara-saudara sekalian,

Ya. Tirani di kepala itulah yang membuat kita selama ini hanya menjadi massa dan bukan warga negara. Sebagai massa kita hanya bisa meneror, bukan mendesak. Sebagai massa kita hanya berkerumun, bukan berbaris. Sebagai massa kita kerap kali hanya bisa membangun kemarahan dan bukan perlawanan.

Sebagai massa kita hanya bisa menjarah, membakar gedung-gedung, membunuh saudara sendiri, tetapi tidak bisa menetapkan siapa yang semestinya jadi pemimpin dan siapa yang mestinya pergi dari kursi kekuasaan. Sebagai massa kita menjadi objek dan bukan subjek.

Ya. Di atas segalanya, sebagai massa kita tidak bisa menentukan sejarah kita sendiri. Paulo Fraire, seorang penggagas besar kemanusiaan, pernah mengatakan "seorang manusia adalah yang bisa menentukan sejarahnya sendiri". Maka sebagai massa kita sebetulnya melucuti sendiri keutuhan kemanusiaan kita. Sebagai massa kita tak bisa menentukan sejarah kita sendiri. Kita selalu saja dijadikan objek mobilisasi, diperalat, hanya sekadar untuk melengkapi sejarah orang-orang kerdil yang menindas dan merasa besar.

[Bersambung...]