ARSIP REFLEKSI

(12)
Korban Kemanusiaan                                             
29 November 1998


Jumat petang (27/11/98), dalam perjalanan pulang dari diskusi di Universitas Mercu Buana, saya berpapasan dengan rombongan demonstran di sekitar Jembatan Semanggi.  Ratusan demonstran yang memadati jalan tol terhenti oleh beberapa lapis aparat keamanan. Tak pelak lagi, beratus-ratus meter di belakang demonstran, terbentuk kemacetan. Pada pagi hari yang sama saya juga membaca berita: Rombongan demonstran mahasiswa dari Bandung tanpa izin membawa delapan bus kota Damri, bahkan dua di antaranya ditinggal begitu saja di Purwakarta lantaran mogok.

Dua episode gerakan mahasiswa -- menutup tol lalu membikin macet, dan  membajak bus Damri -- membuat saya disergap rasa cemas. Sudahkah para  mahasiswa itu menghitung dengan cermat risiko yang ditanggung masyarakat luas karena gerakannya? Sudahkah mereka berhitung secara teliti korban-korban kemanusiaan yang -- disengaja maupun tidak -- jatuh lantaran gerakan mahasiswa?

Berhitung tentang korban kemanusiaan tidak sama artinya dengan  menghitung korban manusia. Menghitung korban kemanusiaan tidak cukup dengan instrumen statistika tapi juga butuh hati nurani. Karena itu menghitungnya jauh lebih sulit dibanding menjumlah korban manusia. Ketika seorang laki-laki tewas tertabrak mobil di jalan raya, ada korban manusia dan korban kemanusiaan yang jatuh. Korban manusianya adalah sang lelaki itu. Tapi korban kemanusiaannya tak hanya si lelaki tapi juga istri dan anak-anaknya yang tiba-tiba masa depannya menjadi  gelap gulita lantaran ditinggal pencari nafkah utama. Contoh ini      memperlihatkan bahwa konsep korban kemanusiaan lebih luas dan tinggi  tatarannya ketimbang ''sekadar'' korban manusia.                      

Karena itu jangan lupa bahwa gerakan protes dan perlawanan politik  pertengahan November 1998 -- yang berpuncak pada Insiden 13 November -- tak hanya memakan korban manusia tapi juga korban-korban kemanusiaan. Korban manusia gerakan itu mudah saja dideretkan dengan bantuan statistika: belasan meninggal dunia, ratusan luka-luka, dan seterusnya. Namun korban kemanusiaannya bisa tidak terhitung, berada dalam jumlah jauh lebih besar dan dahsyat.                            

Ratusan mahasiswa, pelajar, anggota masyarakat, dan aparat keamanan yang tewas atau luka-luka jelas merupakan korban-korban kemanusiaan. Tapi jangan lupa, banyak juga korban-korban kemanusiaan yang lain. Masyarakat yang tercekam rasa cemas luar biasa di depan pesawat televisi adalah korban-korban kemanusiaan. Mereka tiba-tiba saja merasa tak nyaman dan tak aman ada di Jakarta. Masyarakat yang tak bisa mencari nafkah untuk menghidupi -- mencari makan untuk hari itu, bukan untuk berinvestasi -- adalah korban-korban kemanusiaan. Korban-korban kemanusiaan juga berjatuhan di kalangan aparat keamanan. Aparat keamanan yang hidungnya dipijat-pijat demonstran sambil diteriaki kata-kata kasar, adalah korban-korban kemanusiaan. Aparat yang wajahnya disiram air mineral, bahkan diludahi demonstran pun merupakan korban-korban kemanusiaan. Aparat yang topinya ditarik-tarik secara berirama oleh para demonstran yang menyanyikan lagu-lagu perjuangan, adalah korban-korban kemanusiaan.                         

Anak dan istri aparat yang masa depannya langsung gelap setelah suami mereka ditabrak VW Safari Anas Alamudi hingga patah kaki, adalah korban-korban kemanusiaan. Pernahkah kita berpikir bahwa persoalan korban penabrakan itu tak selesai dengan pengobatan belaka. Aparat militer yang patah kaki pasti tidak akan bisa melanjutkan karier kemiliterannya dengan baik. Dan ini adalah berita buruk bagi keluarganya yang pernah punya harapan bahwa hari esok mereka akan lebih baik.                                                           

Jangan lupa juga bahwa di sekitar anggota Pam Swakarsa yang dibantai massa ada banyak korban kemanusiaan. Anak, istri, atau keluarga mereka yang kehilangan tiang penyangga hidup, adalah korban-korban kemanusiaan yang harus kita bayangkan.                                

Dalam konteks terakhir itu, saya juga ikut menjadi korban kemanusiaan. Saya dengan ngeri dan dengan nurani teriris harus mendengar dan membaca bagaimana brutal dan biadabnya cara-cara pembantaian terhadap sejumlah anggota Pam Swakarsa itu di Cawang. Benar bahwa saya tidak setuju pengerahan Pam Swakarsa, apalagi ketika mereka dipersenjatai  bambu runcing. Tapi jauh lebih tidak setuju lagi dengan model penghakiman rakyat melalui pembantaian sadistis terhadap siapapun bahkan apapun -- manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan.                  

Saya ingin mengajak kawan-kawan sebangsa dan setanah air untuk mulai berpikir serius tentang korban-korban kemanusiaan yang bisa tak terbilang, tak sekadar data statistik jumlah korban manusia. Gerakan mahasiswa, misalnya harus menghitung benar korban-korban kemanusiaan yang bisa jatuh lantaran gerakan. Menurut saya, gerakan mahasiswa yang baik bukan hanya gerakan yang pandai mencari dan mengartikulasikan isu-isu yang atraktif dan pandai memobilisasi massa sebanyak-banyaknya, namun terutama yang pandai meminimalisasi korban-korban kemanusiaan.                                            

Jangan lupa bahwa tingkat tertinggi yang bisa dicapai gerakan mahasiswa adalah manakala ia berhasil merebut simpati dan dukungan rakyat sehingga mengembang menjadi gerakan rakyat. Karena itu, ketika mahasiswa menduduki bandara, misalnya, mestinya mereka menghitung benar berapa banyak korban kemanusiaan yang jatuh secara tidak proporsional, karenanya.

Ketika mahasiswa menutup jalan tol, semestinya mereka menghitung berapa banyak korban kemanusiaan yang dijatuhkan: buruh di Tanjung Priok dan keluarganya yang tidak bisa makan hari itu karena kontainer tertahan di jalan tol, masyarakat pengguna angkutan umum yang tertahan berjam-jam padahal urusan mereka bukan sekadar bepergian tapi mempertahankan kelangsungan hidup mereka dan keluarga.                

Ketika mahasiswa membajak delapan bus kota dari Bandung, mestinya mereka menghitung seberapa besar gangguan yang mereka bikin untuk masyarakat Bandung lapisan bawah -- pengguna bus kota yang paling utama -- lantaran hilangnya delapan bus dari kota Bandung.            

Jika gerakan mahasiswa tidak pandai menghitung korban-korban kemanusiaan itu, maka boleh jadi gerakan mahasiswa akan ditinggalkan, bahkan dibenci oleh rakyat yang konon kepentingannya sedang mereka perjuangkan. Saya khawatir, masyarakat Jakarta akan melihat rombongan demonstran seperti mereka melihat gerombolan pelajar: Tak mendatangkan rasa aman melainkan rasa terancam.                                    

Di tengah suasana politik yang amat ingar-bingar sekarang ini, meminimalisasi korban-korban kemanusiaan bukan hanya menjadi pekerjaan gerakan mahasiswa tapi semua institusi publik atau masyarakat sekaligus institusi negara. Kita tanpa kecuali mesti pandai  meminimalisasi korban-korban kemanusiaan sehingga transisi yang kita sedang jalani bukan saja terlihat gagah namun juga elegan. Celakanya, kita hampir tanpa kecuali - entah ia 108 partai politik yang sudah terbentuk, komunitas-komunitas oposisi, maupun pers yang   sedang dilanda demam kebebasan -- baru saja memasuki akil baligh politik. Bukan kedewasaan politik.                                    

Adalah pers yang akil baligh, misalnya, yang ngotot memberitakan bahwa Muzammil Joko Purwanto, mahasiswa Geografi FMIPA UI Angkatan 1998, adalah korban tembakan aparat keamanan, padahal ia tewas lantaran terjatuh dari kereta. Adalah oposan yang akil baligh pula -- mereka adalah sejumlah oknum alumni UI -- yang secara tak beradab mau ''merebut'' jenazah Muzammil, menyediakan bunga, dan hendak mengaraknya untuk kepentingan politik mereka.                         

Namun, bagaimanapun saya tetap berharap bahwa para aktor politik yang sedang akil baligh itu tetap memiliki kejernihan berpikir. Saya percaya hanya dengan akal sehat kita bisa membangun demokrasi yang sehat.